Cerpen: SEPUCUK SURAT DARI MEDAN

Oleh: Sobat Ginting (Bandung)

 

 

Sobat GintingPerkenalkan, aku Tatang Sundara. Anak tukang cafe di Kampus ITB Bandung. ITB dan Bandung padanan kata yang telah melegenda di alam sejagad. Bandung dengan julukan Paris van Javanya, dikenal sebagai sebuah kota yang  sejuk,  aman damai dan tentram, plus masyarakat Sundanya yang  terkenal  ramah. Sedangkan ITB adalah sebuah  Perguruan Tinggi  Teknik kesohor,  yang telah mencetak banyak putra bangsa ini menjadi manusia-manusia kelas wahid. Namun demikian, sangat kontra dengan keberadaan diriku ini. Dilahirkan di Bandung, persisnya di sebuah rumah di lingkungan kampus  ini. Namun kampus ini tak dapat kumiliki, karena orangtuaku seumur-umur hanya bisa menjadi penunggu sebuah cafe di kampus ini, sedang aku sendiri harus kuliah di PTS lain.

Walah.. maklum IQ jongkok. Sedikit mendingan dengan adikku Nita, meski  sama-sama IQ jongkok, tapi dia punya kelebihan, punya paras yang dapat mempesona setiap lelaki.

“Aduh!” keluhku sambil menyandarkan punggung ke kursi  reyot.

Akhir-akhir ini memang udara Bandung mulai panas. Maklum para pejabat membabat semua pepohonan di pinggir jalan. Menurut mereka mall-mall lebih penting dari lingkungan, sehingga sering terjadi tanah longsor, banjir dan udara terasa sangat panas.

“Bi … bi Inem, buatkan Tatang jus alpukat!”

“Ii.. iya, den. Tunggu!” jawab bi Inem gelagapan.

Sambil menunggu jus alpukat, aku melamun  jauh dan jauh. Iri rasanya menatap mahasiswa-mahasiswa Teknik Sipil bercengkrama dengan mahasiswi-mahasiswi cantik di pojok cafe. Pikirku, alangkah beruntungnya mereka dilahirkan sebagai anak-anak orang kaya, tampan lagi cerdas. Tidak sepertiku, anak tukang cafe yang tiap hari bergelut  dengan  dapur, kuali, panci, penggorengan dan piring-piring kotor.

Nasib … nasib. Dari tadi aku belum melihat ibu dan Nita. Pada ke mana semua, ya? Oh itu ibu tergolek sedang ngorok di dipan dekat pintu cafe. Pastilah sudah kelelahan bekerja dari pagi. Kadang-kadang aku kasihan melihat ibu yang semakin beranjak tua. Subuh-subuh sudah harus bangun, pergi berbelanja bahan-bahan cafe ke Pasar Balubur. Lalu nyuci, nyiapkan sarapan, baru bisa beberes pekerjaan cafe. Begitu dan begitu selalu sudah puluhan tahun, semenjak ayah meninggal ditabrak beca. Maklumlah orang susah, meninggalnya juga ditabrak beca. Tidak seperti para pejabat yang meninggalnya di hotel mewah sedang bercengkrama dengan gadis  ABG, atau seperti  anggota  DPR yang meninggalnya  jatuh dari pesawat, keren kan?

“Mana  jusnya  bi, lama amat?” bentakku tiba-tiba.

“Iiini, den. Tadi bibi beresin piring kotor dulu, jadinya lama,” jawab bi Inem masih dengan gelagapan.

“Nita ke mana, ya bi, kok dari tadi nggak kelihatan?”

“Ndak tahu, den. Katanya belajar di rumah teman.”

Aduuh, adikku yang semata wayang ini makin hari makin ganjen saja, centil bukan main. Ada saja alasannya untuk menghindar, supaya  jangan disuruh nungguin cafe. Padahal kalau dia yang jaga, cafe laris bukan main. Maklum adikku yang cantik tak kepalang ini, bagaikan kembang yang lagi mekar-mekarnya. Berjubel mahasiswa minta pesanan kalau dia yang melayani. Itu sebabnya dia selalu kabur dengan alasan macam-macam.

Pikiranku semakin jauh menerawang tak tentu arah. Mikirin umur yang hampir kepala tiga, kuliah yang hampir-hampir DO, tapi tak pernah disamperin cewek cantik. Terlalu lama aku melamun, hingga  jus  alpukat buatan bi Inem belum juga kuminum. Tapi, srrruup…! Sekali teguk, amblass!

“Hei, surat dari mana ini?!” teriakku sendirian.

Nampaknya belum ada orang yang melihat surat ini. Melihat tulisannya naluriku mengatakan bahwa pastilah surat dari seorang cewek. Dugaanku  benar, ternyata surat  seorang cewek dari Medan. Surat itu sebenarnya ditujukan kepada ibu, tapi karena sangat penasaran, kuputuskan untuk membukanya, dan kubaca:

Medan, Medio Juni 2016

Kepada Yang Terhormat,

Ibu Euis Komala

Penghuni Cafe Campus

sobat ginting 3Wassalam Alaikum Ibu Euis! Sebelumnya saya berdoa, semoga ibu dan keluarga senantiasa dilindungi Alloh Swt. Saya pikir, tidak usahlah ibu membuang waktu berlama-lama, memikirkan dan mengingat-ingat tentang siapa saya sebenarnya. Karena akan percuma saja, ibu tidak akan pernah tahu, siapa saya. Padahal saya adalah seseorang yang tiap hari lalu-lalang di depan mata ibu. Empat tahun lebih saya selalu berada di depan mata ibu, sehingga keberadaan ibu lahir bathin, sangat saya hapal sampai ke detail-detailnya.

Saya tahu bahwa ibu punya tahi lalat di sudut kerling mata ibu sebelah kiri. Tapi tidak apa-apa ibu, justru itu yang membuat ibu tambah manis, seperti ABG 17 tahun ke atas. Saya juga tahu bahwa ada jarit kebiru-biruan di betis kanan ibu. Tapi tidak apa-apa ibu, terima saja semua itu sebagai berkah dari Alloh.

Bagaimana ibu, sudahkah sembuh penyakit reumatik yang ibu derita dulu? Saya ingat, tiap hari dulu ibu mengeluhkan penyakit itu. Kata ibu, penyakit itu dikarenakan ibu selalu kedinginan, karena tiap-tiap  pagi buta harus berjam-jam mencuci wadah-wadah cafe di sumur umum. Tapi saya percaya, doa orang sebaik ibu pasti dikabulkan Alloh. Sayapun dari tempat jauh ini selalu berdoa untuk kesembuhan ibu. Atas dasar itu saya  percaya bahwa ibu sudah sembuh dari penyakit laknat yang menahun itu.

Apa kabar dengan anak ibu, mahasiswa yang ganteng itu, bu? Saya tahu, dia sebenarnya pintar, namun tidak lulus-lulus karena bakat lamanya itu, yaitu selalu bolos kuliah dan kebiasaannya menggoda setiap cewek cantik yang datang makan-minum ke cafe ibu. Kalau tidak salah umurnya sekarang  sudah 27 tahun, dan saya percaya dia sudah menikah, paling tidak sudah punya pacar.

Sampe di baris ini, aku berhenti membaca karena penasaran, pastilah anak ibu yang mahasiswa  yang ganteng – akulah yang dia maksud.

Lalu kuteruskan membaca: Bagaimana dengan anak gadis ibu yang cantik jelita itu, ibu? Nama Anita Rozalinda, menurutku sangat pantas untuk perawan secantik dia. Aku pikir ibu sangat beruntung memiliki anak gadis secantik dia. Tiap hari kuperhatikan, kalau dia yang melayani cafe, sudah pasti mahasiswa berjubel mengantri pesanan. Paling tidak  mahasiswa IT selalu mengerubungi cafe, walaupun hanya sekedar menikmati senyum manis Anita yang aduhai. Sering kulihat para mahasiswa itu tidak jadi masuk kuliah, karena keasikan bercanda-ria dengan Anita. Memang benar-benar, anak ibu itu bagaikan kembang kampus yang sedang mekar-mekarnya. Mengundang decak kagum bagi setiap orang yang memandangnya.

Oh … ibu Euis, sudah terlalu panjang aku ngobrol ngaler-ngidul. Aku yakin kata-kataku ini semakin membuat ibu tambah penasaan saja, tapi sekali lagi aku katakan bahwa ibu tidak akan pernah tahu siapa aku sebenarnya. Supaya reumatik ibu tidak kambuh karena penasaran, maka baiklah aku memperkenalkan diri.

Aku ini bukan si gembala sapi, tapi aku adalah seorang anak perempuan yang kurang beruntung. Dilahirkan dari keluarga suku Karo nun jauh di Dataran Tinggi Karo, sebuah desa yang tak masuk di peta, bilangan utara pulau Andalas. Sebagai keluarga suku Karo, aku dididik dengan disiplin tinggi, jujur, hidup sederhana dan menjadi pekerja keras. Dengan bersusah payah orangtuaku menyekolahkanku sampai SMA di Kabanjahe-Tanah Karo. Berkat panen jagung dan cabe yang tidak seberapa, ditopang dengan kerja keras tanpa batas, aku bisa lulus dan bercita-cita melanjutkan ke ITB Bandung, tempat dimana cafe ibu berada.




Di awal tahun akademis 2003-2004, aku bersikukuh mengikuti testing SPMB dari Medan, walaupun dilarang orangtua. Diam-diam aku memilih jurusan idamanku, Teknik Informatika, karena terinspirasi kecanggihan komputer jangkrik satu-satunya yang ada di kantor kelurahan di kampungku. Aku sendiri tidak mengerti kenapa lulus, padahal sainganku adalah orang-orang pintar sejagad nusantara ini, yang notabene adalah orang-orang pintar dan kaya, tidak sepertiku, orang desa, melarat lagi. Kelulusanku masuk ITB malah menjadi dilemma. Orangtuaku marah-marah karena ketiadaan biaya. Sementara orang lain berani bayar jutaan rupiah supaya masuk, sedang aku malah dimaki-maki orang tua. Dibilang sombonglah, anak tak tahu dirilah, ngaca dong, ngaca kalau mau jadi anak kuliahan, kata ibu di suatu pagi.

Untunglah mantan guru SD-ku datang melerai pertengkaran kami, sekaligus berhasil menyadarkan kedua orang tuaku, sehingga tercapailah solusi yang sangat menyenangkan hatiku. Singkat cerita, ayah terpaksa menjual anak sapi kesayangannya, dan ibu harus merelakan sepetak dari kebun cabenya, amblas dilego tengkulak dari kota, demi cita-citaku, kuliah di ITB. Itulah kisah awalnya, sehingga aku tiba di Tatar Parahyangan, tempat domisilinya kampus perjuangan ITB impianku, sekaligus berjumpa dengan ibu Euis Komala  pemilik cafe tumpuan hidupku.

Di hari pertama mengikuti perkuliahan, hatiku berbunga-bunga, serasa mimpi masakan anak dusun bisa  kuliah di ITB. Tapi itulah realita, hasil dari perjuangan yang keras, air mata dan doa.

Ibu Euis yang terhormat, seperti sudah kukatakan tadi, rasanya aku ini adalah anak yang paling melarat di Bandung ketika itu. Jangankan Hp atau Laptop seperti teman-teman sekuliah, sekedar pengganjal perut untuk kuliah tiap pagipun selalu terancam. Sering aku berpikir, sampai kapan bisa bertahan hidup, dan memperjuangkan cita-cita yang mustahil  ini.

Biasanya setiap jam 10.00, ketika memasuki jam perkuliahan kedua, perutku mulai melilit-lilit kelaparan. Pandanganku berkunang-kunang, karena perutku belum terisi seteguk airpun sejak dari pagi. Kadang-kadang aku tidak tahan berdiri, sehingga aku harus duduk berlama-lama dibawah pohon rindang untuk menahan rasa lapar yang menyiksa.

Hari ini seperti biasa, aku berangkat kuliah jalan kaki dari Sukajadi ke ITB. Karena keterpaksaan itu, aku tidak makan apa-apa. Ketika kuliah pertama usai, aku mulai sempoyongan menahan rasa lapar. Tanpa sepeserpun duit di kantong, aku memberanikan diri masuk ke cafe ibu. Kulihat cafe begitu ramai dan dilayani oleh seorang gadis cantik. Lama-lama kutahu namanya Anita dari salah seorang pengunjung cafe. Disela-sela kerumunan orang ramai, aku menyelinap menghampiri etalase kaca yang berisi kue lumpia, dadar, kue kroket dan goreng-gorengan kesukaanku. Tanpa pikir panjang kujulurkan tanganku meraih kue-kue itu. Tak tanggung-tanggung, sekali comot lima buah sekaligus. Kugenggam erat-erat di tangan kiri, dan satu diantaranya langsung kutelan bulat-bulat. Tapi … auzubillah … mulutku terasa terbakar hangus, karena rupanya kue-kue itu baru diangkat dari tungku.

Setelah lolos dari aksiku yang pertama itu, aku makin berani melakukannya. Aku mulai belajar strategi mencuri yang baik, sehingga aku selalu lolos dari penglihatan ibu.

Tak terasa aku sudah menginjak semester ke enam di tingkat tiga. Selama tiga tahun ini aku selalu sarapan pagi dengan cara itu. Merampas  bala-bala, gehu, kue kroket, lumpia, bahkan aku melahapnya di depan mata ibu, tapi malang bagi ibu – untung bagiku, ibu tak pernah dapat memergokiku. Terus terang aku katakan bahwa kue-kue buatan ibu Euis, lezat bukan main, sehingga aku sehat-sehat saja menikmatinya, sekalipun dengan cara mencuri.




Ibu, ada suatu peristiwa yang tak akan pernah kulupakan seumur hidupku. Ketika itu aku sudah semester delapan di penghujung perkuliahan. Semalam-malaman aku memaksakan tenaga mengetik skripsi sampai jam tiga subuh, dan paginyapun harus tetap pergi kuliah. Seperti biasanya, hanya angin malam yang mengisi perutku sampai kembung. Niat jahat itu tetap kulakukan, makan siangnya harus mencuri dari cafe ibu.

Tetapi, keadaan cafe pada hari itu terasa lain, tidak seperti biasanya. Nita tidak kelihatan, dan ibu pada hari itu tidak sibuk seperti biasanya. Ibu berdiri di ujung meja dengan tatapan kosong ke arah pintu. Aku jadi penasaran dan menyelidik lebih teliti. Wajah ibu lain dari biasanya, dan mata ibu seperti melotot ke arah pengunjung yang mulai ramai mengunjungi cafe. Kulihat ibu membiarkan bi Inem sibuk sendiri melayani pengunjung.

Di tengah keramaian itu aku mulai menyelinap menghampiri etalase  kue-kue. Kuperhatikan ibu tetap berdiri di ujung meja itu, sehingga aku pikir keadaan lagi aman untuk beraksi. Kujulurkan tanganku ke arah kue-kue itu, dan sudah sempat kucomot empat kue lumpia, tapi tiba-tiba …sekali lagi auzubillah… jantungku berdegup kencang, tamatlah riwayatku sekali ini. Mata ibu mendelik ke arahku, seperti memergoki. Aku pasrah tak berkutik, berdiri mematung di depan kue-kue itu, sementara tanganku tetap terjulur, tak berani menariknya. Lama ibu seperti memelototiku, dan aku sudah siap menerima amarah, umpat dan caci-maki, karena aku pikir ibu sudah mengetahui aksiku selama hampir empat tahun ini.

Tapi aneh, dan sangat aneh. Ibu tidak berkata apa-apa, malah akhirnya pergi ke dapur mengambil kemoceng dan mengipas-ngipas di sekitar piring-piring makanan. Baru aku menyadari bahwa pada saat itu, sebenarnya ibu bukan sedang memelototiku, tapi sedang asyik memperhatikan lalat yang terbang berputar-putar di sekeliling piring-piring makanan. Hari itupun aku masih selamat dari petaka yang hampir mencelakakan itu.

Ibu Euis yang kusayang, sebulan setelah peristiwa yang menakutkan itu, aku diwisuda, tanpa dihadiri siapa-siapa. Aku dinyatakan sebagai mahasiswa teladan dan lulus dengan predikat suma cum laude, sempurna dengan  indeks prestasi 4.00.

Seiring dengan itu selesailah sudah segala perjuangan, penderitaan, kenang-kenangan manis – tapi memalukan dengan cafe ibu sumber kehidupanku. Jauh di lubuk hati aku berucap sendiri, terima kasih ibu Euis, adikku Nita, bang Tatang dan bi Inem. Tanpa kalian sadari, kalian telah memberi aku makan sehingga tetap hidup dan dapat menyelesaikan kuliahku. Aku yakin setiap perbuatan baik, walaupun tidak disadari, diatas sana akan tetap diperhitungkan sebagai pahala oleh Alloh Swt, dan pasti akan dibalas dengan barokah yang berlimpah-limpah. Selamat tinggal Bandung kota perjuangan, Selamat tinggal ITB almamater tercinta, selamat tinggal cafe ibu Euis.

Ibu, begitu aku sampai di Medan, tak lebih dari seminggu, aku langsung ditawari dengan sebuah jabatan menggiurkan. Sebagai General Manager pada sebuah perusahaan elektronik Jepang dengan gaji pertama 5 juta perbulannya. Sungguh tak masuk akal, anak desa, melarat dan penipu sepertiku, menyandang kedudukan tinggi,  terhormt dan mendadak kaya.

Sampai hari ini ibu, aku sudah bekerja tiga tahun di perusahaan bonafide ini. Aku sudah dapat membelikan lagi empat ekor anak sapi buat bapak, dan kebon cabe ibu telah ditebus kembali, malah telah diperluas dua kali lipat.

Ibu Euis yang kusayangi, maafkan aku ibu, aku sudah merugikan ibu  empat tahun lamanya tanpa sepengetahuan ibu. Namun demikian selama ini aku tak pernah lupa mencatat berapa harga kue-kue yang kucomot dari cafe ibu. Tiap hari aku mencuri rata-rata lima kue dengan harga 1000 rupiah per biji, sehingga menurut perhitunganku adalah 5000 x 4 tahun sama dengan Rp.7.340.000. Bersama dengan surat ini aku membayarkannya lewat pos wessel sejumlah itu, ditambah 10 juta uang kadeudeuh sebagai pertanda kasihku buat ibu sekeluarga. Jadi terimalah 17.340.000 rupiah dari aku yang tak pernah ibu kenal. Tak lupa teriring permohonan maafku yang tak terhingga, semoga ibu dan anak-anak selalu dalam lindunganNya. Terima kasih telah berlelah-lelah membaca suratku ini. Salam hormatku- Francisca Rozario.

Weleh … weleh … tanpa kusadari duapuluh menit sudah aku terpaku membaca surat itu. Tutur kata yang manis, tanpa tendeng aling-aling, terus terang dan berani mengakui kesalahan. Aku pikir  adalah langka manusia seperti itu di jaman edan ini. Naluri kelelakianku sempat berujar, alangkah berbahagia lelaki yang dapat mempersuntingmu. Mengapa bukan aku yang mendapatkanmu,  padahal empat tahun lebih engkau lalu lalang di depan mataku. Dasar bukan jodoh, umpatku sambil  berlalu  ***

Senja kala di kampung Nangbelawan-Tambak Siroga (Dataran Tinggi Karo), Medio Juni 2016




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.