Kolom M.U. Ginting: JK dan Jokowi

M.U. GintingSejak semula sebelum Pilpres dan sebelum JK ditetapkan sebagai Cawapres Jokowi, JK pernah bilang: ”Bisa hancur negeri ini jika Jokowi jadi presiden.” Ungkapan ini tentu masih tercatat diingatan banyak orang, terutama publik yang sering membaca informasi dan mengikuti perpolitikan negeri ini. Kita masih ingat juga bagaimana sikap JK ketika menjadi Wakil Presiden di era SBY; ada ’dua istana’ ketika itu, Istana Presiden dan Istana Wakil Presiden. Fenomena ’dua istana’ ini tak terlihat lagi ketika JK menjadi Wakil Presiden Jokowi. Tetapi ucapan JK yang ’tajam’ itu tentu belum dilupakan oleh rakyat Indonesia, termasuk bagi Jokowi dan JK sendiri. 

Kalau kita bisa umpamakan dalam mengendalikan sebuah pesawat terbang, pilot dan co-pilotnya ada perbedaan sejak semula, tetapi selama pilotnya yang mengendalikan dan tak terganggu dalam mengendalikan pesawat itu, tidak akan ada perubahan drastis arah pesawat itu dalam mencapai tujuannya. Perbedaan di mana saja selalu ada dan perbedaan juga adalah mutlak. Hakekat perbedaan itulah yang paling penting diketahui.

Apa yang perlu diingat oleh rakyat Indonesia dan juga pemimpin-pemimpin sejati negeri ini ialah bahwa kita sekarang hidup di era kontradiksi pokok dunia ialah perjuangan antara dua kepentingan; yaitu kepentingan nasional kontra kepentingan internasional neolib yang mau capai ‘global hegemony’ world power.

neolib vs rakyat
Sumber: FERIZAL RAMLI’S BLOG

Munculnya gerakan nasionalisme di Eropah sekarang ini, juga mencerminkan dua kepentingan itu, seperti Brexit. Karena ini adalah kontradiksi pokok dunia, maka semua kontradiksi lainnya akan mengabdi ke kontradiksi besar ini. Kalau ada pertengkaran ’kecil’ soal ekonomi, kita harus menghubungkan dengan kontradiksi pokok itu, kalau tidak begitu, kita akan bingung saja tak bisa menilai apalagi menarik kesimpulan. Kasus ’Pappa minta saham’, Blok Masela, atau teror Thamrin, harus dilihat dari perjuangan dua kepentingan itu, dan memang tak ada perjuangan lainnya yang lebih besar. 

Belakangan terlihat usaha delegitimasi di sektor ekonomi. Kalau lupa menghubungkan persoalan-persoalan ini dengan kontradiksi pokok itu, maka tak akan bisa menilai dengan tepat.

”Jantung kekuasaan Jokowi disusupi oleh kelompok neoliberal,” kata pengamat politik Ray Rangkuti.




Pernyataan ini tak perlu diragukan kebenarannya, mengingat kekuatan neolib sudah setengah abad bercokol di negeri ini. Program Nawa Cita Jokowi yang sesuai dengan Trisakti Bung Karono, adalah anti neoliberal dan dengan sendirinya kekuatan neolib ini tak bisa terang-terangan menentang kekuasaan dan tak bisa memaksakan politik neoliberalnya terang-terangan. Yang mungkin ialah ’penyusupan’ itu. Dan sudah jelas terlihat belakangan dari segi ekonomi. Terlihat juga dari artikel di atas bagaimana ekonomi ini sangat ketat menyibukkan Jokowi dalam rangka strategi jitu dari segi ekonomi yaitu: ”Strategi untuk melakukan deligitimasi di sektor ekonomi”.

Kita masih akan melihat dan menyaksikan pertengkaran ‘kecil’ ini akan berkembang dan berakhir. Siapapun yang menang di sini, belum merupakan kemenangan penuh atau sempurna. Karena itu kontradiksi pokok masih terus. Tetapi kali ini lebih serius dari Blok Masela atau ‘Papa minta saham’ atau ‘teror Thamrin’ sekalipun. Rakyat banyak harus membantu Jokowi dalam ‘kontradiksi kecil’ ini.

Saya katakan ‘kecil’ karena ini adalah bagian kecil dari kontradiksi pokok tadi.

 








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.