Kolom Antonius Bangun: SERUMAH DENGAN TUHAN

Antonius GintingSeketika, dari terang berkilau, aku turun, masuk ke rumahku, fana.

Aku tidur meski dadaku terasa sesak. Terdengar suara berisik dan agak ramai. Tidak seperti biasa hari-hariku, hanya suara isteri dan kedua anakku, mengucapkan selamat pagi, dan permisi berangkat sekolah. Sepertinya, saat ini banyak orang di sini. Ada apa?

Kemudian kudengar isteriku berteriak: “Papi, papi… ini datang pendeta, nora beserta adik-adikndu dan ponakan-ponakan.” Aku berpikir, kenapa dia selalu harus berteriak kalau mau berbicara? Kemudian kudengar lagi: “Dengarlah, mereka mau berdoa agar papi sembuh. Dengarkan ya, papi.”

Lalu kudengar adik-adikku menyapa sambil menyebut nama masing-masing.

“Bang, ini Sisca. Kami datang melihat abang, mau berdoa agar abang cepat sembuh.”

Berbarengan terdengar suara Nius, Tavip dan Henry disertai isteri dan anak-anak mereka. Semua menyapa, menyatakan kehadirannya, dengan suara yang keras.

Aku sangat senang dan sayang mereka semua. Aku segera bangkit duduk, tapi tidak bergerak. Aku masih tetap tertidur. Kujulurkan tanganku hendak merangkul, tapi itu pun tidak bergerak. Kubuka mataku, aku tidak melihat. Mengapa begini? Mengapa tidak bergerak, tidak bisa melihat? Aku harus bisa. Aku coba lagi bangkit, coba lagi kekal 2dan tetap tidak bisa. Aku sangat sedih, kenapa semuanya tidak bisa kugerakkan? Kenapa aku tidak melihat.

Dadaku sesak dan sakit, serasa ada lendir di paru-paruku. Sangat susah menarik dan menghembuskan nafas. Aku batuk sekuat-kuatnya, tapi lendir itu masih tetap di sana. Sakit, sakit… sekali. Aku berteriak: “Tuhan, Tuhan… Aku mau ketemu mereka, aku mau bercengkerama dan memeluk mereka. Kenapa tidak bisa Tuhan? Aku sayang mereka.” Aku berteriak, berteriak sembari menangis.

Terasa ada elusan di pundak, di kepala dan bagian tubuh lain, dan aku mendengar Sisca berdoa: “Tuhan, aku sangat dekat dengan abangku ini, kami lama tinggal serumah di tempat ini sehingga menjadi yang paling dekat. Tapi karena itu juga kami pun sering bertengkar dan saling sakit hati. Tuhan, aku sudah melupakan dan memaafkan semua kesalahan abangku, dan pada saat ini juga, di depan Tuhan dan suadaraku semua, aku memohon maaf atas semua salahku kepadanya. Kiranya kasih karunia Tuhan tidak terhambat kepadanya. Turunkan mujizatMu, sembuhkan abangku, Tuhan. Silva dan Tasya ingin abang melihat dia tamat sarjana atau bahkan sampai mereka berumah tangga. Amin.”




Aku menangis terharu, ternyata adikku sangat sayang. Semua mereka sayang, tidak ada benci dan dendam, sudah memaafkan dan tidak mau mengingat perselisihan. “Ya, Sisca, abang pun tidak mau mengingat perselisihan kita, semua sudah sirna dan abang memaafkan kalian, adikku”. Aku sangat terharu, menangis tersedu. Aku berteriak memohon kepada Tuhan: “Sembuhkan aku, Tuhan. Mereka butuh aku. Mereka tidak bisa tanpa aku. Sembuhkan aku, Tuhan. Sembuhkan aku, Tuhan. Sembuhkan, Tuhan…. Seketika aku terangkat ke sinar terang, berkilau teduh. Semua indah, nyaman dan tenang. Suara merdu mengalun syahdu.

Sangat lembut aku merasakan sentuhan tangan di bahu dan kepalaku. Sayup-sayup aku mendengar suara doa. Seketika, dari terang berkilau, aku turun, masuk ke rumahku, fana. Sekarang makin jelas aku mendengar secara bergantian Silva dan Tasya berseru kepada Tuhan.

“Tuhan, berikanlah yang terbaik kepada kami dan kepada papi. Kami tahu sudah lama dia kesakitan dan sangat menderita. Kami sudah rela. Saat ini kami berjanji kepada papi di depan Tuhan: Kami akan menjadi anak yang baik, takut akan Tuhan. Kami akan menyelesaikan pendidikan kami dengan prestasi yang gemilang. Kami menyayangi mami dan semua keluarga. Kami akan membina rumah tangga bahagia. Terima kasih Tuhan, kendakMu jadilah”.




Aku terharu dan menangis. Tidak harus bersandar kepada manusia, tetapi bersandar dan berserahlah selalu kepada Tuhan. Apalah kekuatanku. Tubuhku lemah. Apa yang bisa kuperbuat.

“Tuhan aku serahkan keluarga dan anakku ke TanganMu. Jadilah kehendakMu kepadaku. Anakku, Tuhan menyertaimu.”

Aku terangkat ke sinar terang, berkilau teduh. Semua indah, nyaman dan tenang. Suara merdu mengalun syahdu. Tuhan memanggilku, marilah anakku, tinggalkan rumahmu, fana. Masuklah ke rumahKu. Makin menjauh, makin menjauh, jauh sekali, aku tinggalkan rumahku, fana. Aku menuju SERUMAH DENGAN TUHAN.

Jakrta, 6 Agustus 2016
Antonius Bangun

Selamat jalan abang kami tercinta, Dermawan Bangun, menuju rumah Tuhan. Menderita KOMA, lebih tiga bulan tidak sadar, tidak melihat, tidak bisa bicara, terkadang sedikit sadar, hanya bisa meneteskan air matanya, akibat stroke kedua.
Dimakamkan di Sandiego Hills, 5 Agustus 2016.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.