Kolom M.U. Ginting: Pura-pura Tak Tau Soal Etnik (Kasus Danau Toba)

M.U. GintingBupati Simalungun JR Saragih meneteskan air mata karena merasa Suku Simalungun tidak digubris dalam upacara pesta Karnaval Kemerdekaan Pesona Danau Toba di Parapat (Kabupaten Simalungun), dimana Menteri Pariwisata mengenakan pakaian adat Batak Toba. Suku atau etnis sudah menjadi pembicaraan ‘biasa’ dalam perjalanan kehidupan manusia Abad 21, tepatnya setelah kontradiksi pokok dunia berubah dari pertarungan 2 blok menjadi pertarungan untuk keadilan, tercermin jelas dalam perjuangan ekonomi dua kepentingan; yaitu kepentingan nasional kontra kepentingan luar atau neolib.

Ini berlaku di seluruh dunia, di semua nation, di semua daerah dan di semua pelosok dunia. Orang bisa berkata bahwa dari dulu juga ada perjuangan untuk keadilan. Betul, tetapi dalam tingkat perkembangan tertentu dari sejarah, hanya satu kontradiksi yang berdominasi, artinya yang menjadi kontradiksi pokok. Dalam era perjuangan untuk kemerdekaan, itulah yang pokok, artinya perjuangan melawan penjajah untuk merebut kemerdekaan. Soal etnis tidak ada yang ingat, tidak tersentuh atau tak ada waktu ke sana karena menghadapi penjajah.

Dalam era perang dingin atau pertarungan dua blok (Barat dan Timur) juga tidak ada yang menonjolkan soal etnis/ kultur, karena semua persoalan ‘besar’ yang ada harus mengabdi atau diabdikan kepada kontradiksi pokok itu, mengabdi pada Barat atau Timur.

Setelah kontradiksi pokok itu berubah, sekarang dengan perjuangan untuk keadilan sebagai kontradiksi pokok. Lagipula, masalah etnis pada dasarnya adalah masalah keadilan. Maka dengan sendirinya soal ini akan selalu terikutkan, walau kita bicara soal apapun, terutama di negeri multi entis seperti Indonesia. Soal-soal nasional tidak akan menemukan solusi yang memuaskan kalau tak diikutkan masalah-masalah yang menyangkut etnis dan soal keadilan bagi etnis-etnis dan daerahnya. Pemilik asli Indonesia adalah etnis-etnis daerah dan kulturnya yang beragam itu.

danau toba 4
Sebuah hotel di Parapat (Kabupaen Simalungun) menyambut tamunya dengan pakain adat Simalungun. Selain berada di dalam wilayh administrasi Kabupaten Simalungun, Parapat dari sejak Pre Kolonial dan Kolonial adalah tanh ulayat Suku Simalungun.

Pandangan dunia terhadap masalah etnis juga berubah sangat drastis, dan masih terus dalam penyelidikan yang semakin meluas dan mendalam, terutama di kalangan akademisi orang-orang Barat. Tetapi, dan yang paling menarik, ialah bahwa juga di kalangan akademisi negeri-negeri berkembang yang multi-etnis itu sendiri. Saya katakan ‘paling menarik’ karena akademisi negeri berkembang ini bisa melihat dari segi pandang kultur mereka sendiri.

Barat melihat dari fakta-fakta nyata dan dari sudut pandang Barat tak terelakkan. Akademisi Barat terutama antropolognya banyak mengadakan penyelidikan yang sangat mendalam, menulis fakta-fakta dan kesimpulan yang bagus atas dasar fakta-fakta di lapangan yang ditemukan sendiri.

Perkembangan yang patut kita ikuti setelah kontradiksi pokok dunia berubah, dan sangat menarik meneliti tingkat-tingkat perubahan pemikiran soal etnis dan kulturnya a.l. saya tuliskan di bawah ini:

Tahun 1996 buku Prof Ruth Lapidoth Autonomy: Flexible Solutions to Ethnic Conflicts, a.l menulis:

“To use more political language, it is ‘the self assertion of ethnic groups, ranging from primary cultural, religious, and educational endeavors, via political organization, to ultimate step of struggling for territorial or state power’.”

Ini menggambarkan kenyataan dalam proses perjuangan antar etnis, atau ‘ethnic competition,  sering dipakai istilahnya dalam dunia akademisi internasional. Kenyataan ini tidak tergantung kesedaran manusia, mau atau tidak mau kita menerimanya atau mengakuinya.

Juga tahun 1996 Prof. Denis Dwyer dalam bukunya Ethnicity and Development, menulis:

“Development programmes frequently are controlled and administered at the higher levels by members of the politically dominant ethnic group; and most of the fruits of such development flow into the pockets of a tiny ethnic elite or at best, are distributed in a limited manner within the same ethnic group”

Pernyataan ini juga masih menggambarkan kenyataan apa adanya, dan saya pernah menuliskan gejala ini sebagai ‘internal colonialism’, dari pernyataan klasik bahwa penjajahan adalah dominasi, dan dengan sendirinya juga dominasi adalah penjajahan. Dalam hal ini, ‘penjajahan internal’ bukan dari negara luar.

Tahun 2003, Svante Ersson dan Erik Lane memasukkan 3 faktor dalam demokrasi, yaitu faktor yang ke dua dia katakan adalah ethnicity and religion. Tahun 2003 dialah salah satu yang mulai memperhitungkan soal kesukuan dalam masalah demokrasi.

Tahun 2006, orangnya Erik Lane juga menulis lebih tegas dalam bukunya ‘Globalization and Politics’:

“The focus is almost exclusively at ethnics and not nation …. Thus, people are so intimately connected with a culture that they are, so to speak, constituted by the culture in question or embedded in such a particular culture.”

Juga a.l. Jerry Muller Catholic University, Americans, writes Muller:

“Find ethnonationalism discomfiting both intellectually and morally. Social scientists go to great lengths to demonstrate that this is a product not of nature but of culture. …”

Dan selanjutnya dia meneruskan:

“Whether politically correct or not, ethnonationalism will continue to shape
the world in the twenty-first century.”

Tahun 2009, Dominique Moisi membagi dunia dalam peta perasaan atau kultur, dalam bukunya, The Geopolitics of Emotion: How Cultures of Fear, Humiliation, and Hope are Reshaping the World. Moisi melihat emosi, perasaan dalam tiap kultur, tiap etnis dan nation. Dari situlah juga muncul Quiet Revolution atau interovert revolution terus ke kemunculan Revolusi Mental.

Inilah beberapa gambaran perkembangan dalam proses yang berurutan dari tahun ke tahun sejak permulaan perubahan kontradiksi pokok dunia, dari kontradiksi antara Blok Barat dan Timur, sampai kontradiksi pokok sekarang sebagai perjuangan untuk keadilan. Jelas kelihatan perubahan pikiran manusia penulis-penulis itu sendiri, dalam melihat kenyataan dalam perkembangan kontradiksi antar etnis/ kultur mengikuti perkembangan dan perubahan kontradiksi dunia.




Dalam persoalan etnis dimulai dari ‘tak berani menuliskan’ atau dimulai dari mentabukan, seperti pengalaman kita sendiri, sukuisme sangat tabu, dan sekarang dunia sudah melihat betapa mahal manusia membayar dengan politik pentabuan itu.

 


[one_fourth]Mentabukan Soal Etnik Karena Ada Maksud Gelap[/one_fourth]

Ethnic Competition adalah kenyataan, masalah terbuka atau tertutup, menuju kursi kekuasaan di daerah atau secara nasional. Ditutupi tentu ada maksudnya, namanya juga kompetisi (dalam mencapai tujuan kompetisinya masing-masing). Terbuka, ya punya kelebihan tersendiri. Terbuka adalah dasar kejujuran, artinya semua yang lain bisa melihat, menilai dan pilih, karena terbuka dan argumentasi terbuka, terus terang dan jujur. Jamannya juga era keterbukaan dan era partisipasi publik.

sirabit dates 1
Penari dari Suku Karo yang akhir-akhir ini paling keras menolak dikatakan Batak maupun Batak Karo meskipun gerejanya sudah sempat diberi nama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) di tahun 1941 (Sebelumnya Belanda memberi nama gereja ini Karo Kerk yang artinya adalah Gereja Karo. Kata Batak ditambahkan ketika missionaris Belanda ditawan oleh Jepang di Perang Dunia II dan Gereja Karo diserahkan pengurusannya ke HKBP).

Kalau di pesta Danau Toba itu persoalan ethnic competion atau ethnic self-assertion ini ditutup-tutupi atau pura-pura tak tahu saja, susahlah mencari solusi persoalan yang ditumbulkan oleh ethnic competition itu sendiri. Berpura-pura tidak tahu kalau Parapat adalah daerah Suku Simalungun, berpura-pura tidak tahu perbedaan pakaian adat Toba atau pakaian adat Simalungun, berpura-pura tidak tahu kalau dalam hal itu berlaku ethnic self-assertion siapa menang siapa kalah, berpura-pura tidak tahu kalau ada percobaan membatakkan etnis-etnis Simalungun, Karo dan Pakpak dalam rangka self-assertion tadi.

Kalau semua ini tak diakui, semua akan jadi gelap dan dari kegelapan tak ada cahaya. Dan tak mungkin ada solusi kalau hanya berpura-pura tak tahu atau menutup-nutupi ethnic competition yang sudah di depan mata. Atau dengan dalih pesta Danau Toba menutupi ethnic competition dan ethnic self-assertion yang dahsyat itu.

Kompetisi ini tak mungkin diselesaikan oleh Menteri Parawisata, tetapi mungkin oleh etnis-etnis itu sendiri, dengan meletakkan soal-soal di atas meja dan mengikutkan publik.








One thought on “Kolom M.U. Ginting: Pura-pura Tak Tau Soal Etnik (Kasus Danau Toba)

  1. Saya sebagai orang yang sudah “go” Internasional sejak usia muda yang baru empat tahun terachir menginjakkan kaki lagi di Sumatera Utara sudah mengalami banyak sekali kisah-kisah kompetisi ethnic disini. Kompetisi kompetisi ini sangat jelas terlihat di Universitas Sumatera Utara. Yang saya observasi, pada awalnya kompetisi itu kelihatannya seperti kompetisi antar agama. Semakin lama saya mengalaminya ternyata kompetisi pada lapisan yang paling dalam adalah kompetisi antar ethnic. Saya yang sudah bergaul dan mengajar siswa yang berasal lebih kurang 60 negara selama lebih dari 30 tahun sangat terkejut ketika saya mengobrol dengan seseorang dari suku Mandailing juga seorang Doktor Linguistik dan dikomentrai oleh seorang Doktor Linguistik yang lain dengan berkata: Wow! Hebat orang Karo dan orang mandailing bisa berkawan dan bercengkerama! begitulah kira kira arti komentarnya. Itu terjadi didalam kampus. Sangat menyedihkan!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.