Kolom M.U. Ginting: Sewaktu Nenek Moyang Kami Kalian Bunuhi, Di Mana HAM? (Kata Duterte di Laos)

M.U. GintingDalam kunjungan seharinya minggu lalu ke Indonesia [Kamis 8/9  – Jumat 9/9], Presiden Filipina (Rodrigo Duterte) dalam satu pembicaraannya dengan Presiden RI (Jokowi) mempersilahkan pelaksanaan eksekusi mati atas terpidana narkoba asal Filipina Mary Jane. Duterte menghormati putusan pengadilan Indonesia.

“Presiden Duterte saat itu menyampaikan, silakan kalau mau dieksekusi,” kata Jokowi- sebagaimana dilansir oleh DetikNews.

Presiden Duterte bukan orangnya yang bermuka dua. Tak mungkinlah dia membela kriminal narkoba di Indonesia dan di Filipina berjanji akan menghabiskannya. Di Filipina dia dipilih dengan suara mutlak 91% karena janjinya kepada rakyat Filipina akan memerangi narkoba dan kejahatan sampai tuntas. Sejak terpilih jadi presiden bulan Juni lalu, dia terus melaksanakan ‘perang narkoba’ dengan tegas, dan yakin bahwa kejahatan akan hilang dari bumi Filipina terutama kejahatan narkoba.

 

Rehabilitasi Bandit-bandit

Selama 2 bulan kekuasaannya sudah lebih dari 2.000 orang kriminal narkoba dimatikan dengan prinsip tegasnya,  surrender or die, termasuk dengan cara mengaktifkan rakyat setempat yang mengenal dan mengetahui betul penjahat dan kejahatan narkoba di lokasi mereka. Sudah lebih dari 600 ribu orang kriminal narkoba yang menyerahkan diri. Barak-barak militer digunakan tempat ‘rehabilitasi’ bandit-bandit ini. Mereka dipersilahkan merehabilitasi diri sendiri dengan prinsip surrender or die, sejenis ‘psikoterapi’ baru dan dari pengalaman Filipina ini terlihat paling mujarab dalam menghadapi penjahat.

Beberapa hari sebelum keberangkatannya ke Laos Summit ASEAN, terjadi ledakan di Davao. Saat itu, Duterte berkunjung ke Davao City, kota dimana Duterte pernah jadi walikota dan filipinaterkenal paling aman di seluruh Filiipina. Kota itu aman karena Duterte sudah menghabiskan semua penjahat ketika dia berkuasa di sana. Ledakan yang menewaskan belasan orang di pasar sore Davao itu, dimaksudkan untuk balas dendam terhadap Duterte dari pihak bisnis narkoba atau teroris Abu Sayyaf atas ketegasannya terhadap gembong narkoba dan terorisme. Bisa juga untuk tujuan yang lebih strategis panjang, menggertak Duterte untuk tidak buka mulut terlalu berani di Summit ASEAN di Laos 6-8 September itu.

Pada mulanya, setelah ledakan itu, memang Duterte berpikiran untuk menunda kepergiannya ke Laos dan juga Indonesia, karena dia menganggap ledakan itu sangat serius. Tetapi, sebaliknya dia berpikir lagi tidak akan menyerah di bawah ancaman teroris atau bisnis narkoba, dan memutuskan akan pergi juga menghadiri Summit Laos terus ke Indonesia untuk bertemu presiden Jokowi. Lebih dari itu, dia malah di Filipina bikin a state of lawless violence” seluruh Filipina dalam menghadapi semua bentuk kejahatan terutama bisnis narkoba dan terorisme Abu Sayyaf.




Betul memang, di Summit Asean Vientiane Laos itu Duterte mengomongkan apa yang dia harus omongkan dengan tegas dan terus terang. Sehabis pidato presiden AS Obama soal HAM, Duterte ngomong di hadapan semua pemimpin/ perwakilan Asean itu bilang: 

“Let me tell you about human rights,” the diplomat quoted Duterte as saying while displaying a picture of Filipinos killed by American soldiers about a century ago. “This is my ancestors being killed, so why now we are talking about human rights? We have to talk of the full spectrum of human rights,” katanya sebagaimana dirilis oleh Kantor Berita Reuters.

Tidak perlu diragukan memang, kalau bicara soal HAM harus bicara secara menyeluruh, tidak sepihak-sepihak atau hanya bagian yang dianggap menguntungkan politik instan. Seperti di Indonesia, banyak dari pihak HAM menentang hukuman mati bagi gembong narkoba. Tetapi, di mana HAM bagi generasi yang dirusak dan mati 40 – 50 orang tiap hari karena bisnis gembong narkoba? Pengepul HAM itu tak pernah memikirkannya.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.