Kolom Ita Apulina Tarigan: SINABUN MBUE KERTAHNA

ita-apulina-tarigan-3Kira-kira sebulan lalu, Mami Tengah kami meninggal dunia di Tigapancur. Tigapancur itu sebuah desa kecil di Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo. Dari Kabanjahe, perjalanan dimulai dari stasiun Tugu Bambu Runcing, lalu ikuti saja jalan hingga bertemu Simpang Empat. Belok ke kiri, arah ke Berastepu, salah satu desa yang ditemui adalah Tigapancur. Sejak erupsi Sinabung, Tigapancur lumayan terkenal karena merupakan salah satu tempat jurnalis dan petugas untuk memantau kondisi Gunung Sinabung. Walau demikian, desa ini tetap desa kecil yang sepi.

Rumah Mami Tengah ini menarik. Dibangun di pinggir tebing. Dapurnya langsung berhadapan dengan Gunung Sinabung. Belakang rumah tidak berpagar. Ada lereng yang curam, dulunya adalah ladang yang kami tanami cengkeh. Setelah cengkeh hancur dimakan hama lalu berganti tanaman vanili, vanili juga berakhir, akhirnya ladang berpindah tangan ke sepupu saya sampai sekarang. Seperti orang Karo umumnya, selain jeruk dia juga menanam cabe, kadang-kadang berbagai jenis sawi. Halaman depannya langsung berbatasan dengan jalan raya utama yang menuju desa-desa di kaki Sinabung.

sinabun-2
Gunung Sinabun terlihat dari belakang rumah Mami Tengah sebelum gundul seperti sekarang.

Di seberang jalan di depan rumah, tidak persis di depan sebenarnya, di belokan turun ke arah kiri ada bukit lumayan terjal yang subur. Inilah ladang Mami. Seingat saya, dulu sebelum rumah yang sekarang, rumah mereka tepat ada di atas sana, di tengah ladang. Rasanya tinggi sekali, karena dulu aku selalu ngos-ngosan berjalan dari bawah hingga mencapai rumah. Ada tanaman tebu, jambu air, kopi, cengkeh dan sayur-sayuran.
Dari rumah di atas bukit itu dulu, saya dan sepupu sering menatap bus yang datang dari arah Berastepu atau Batukarang. Kecil sekali kelihatannya seperti mobil-mobilan kayu, menyusuri jalan berkelok-berkelok di sisi Sinabung, lalu kami menebak merek busnya.

Agar bus yang nun jauh di sana terlihat jelas biasanya membutuhkan waktu hampir setengah jam untuk tiba di jalan raya yang ada di bawah kami. Selama menunggu, kami bisa melakukan banyak kegiatan. Misalnya: mencuri beras, garam dan ikan asin dari dapur Mami. Sayur-sayuran tinggal dipetik. Lalu kami menanak nasi dan merebus daun ubi dalam kaleng bekas sardin.

Sepupu saya jago sekali menyalakan api dari rumput kering dan ranting-ranting kecil tanpa menggunakan minyak tanah. Dia selalu kena marah di sore hari, karena Mama Tengah mengira dia mengajari saya melakukan pekerjaan berbahaya, yaitu bermain api. Betapa lahapnya kami selalu makan nasi yang ditanak dalam kaleng sarden, dituang panas-panas ke atas daun pisang yang kami tebas sendiri. Jika sedang membayangkan masa itu, kadang-kadang saya bisa mencium aroma daun pisang yang ditimpa nasi panas.

Suasana indah ini berangsur-angsur hilang ketika kami mulai beranjak dewasa, mulai bersekolah dan pergi satu per satu, entah karena menikah atau merantau. Saya tidak ingat kapan rumah di bukit itu berganti menjadi rumah di tepi jalan. Tahu-tahu, ketika cengkeh mulai berbunga, Bapak mengajak ke ladang yang curam. Saya sudah melihat Mama dan Mami di rumah yang sekarang. Ranting-ranting kering pohon jeruk dan kopi tersusun rapi di samping rumah di dekat pintu dapur. Berbaris rapi jeriken putih tempat air minum dan masak yang biasanya diambil dari kamar mandi umum.

Terakhir sekali berkumpul di rumah ini 12 tahun lalu, sebulan setelah Bapak meninggal, Mama Tengah baru sembuh dari sakit setelah opname sekian lama. Sewaktu pemakaman Bapak, dia masih di rumah sakit, semua menyimpan rahasia. Hari itu, kami berkumpul sinabun-4semuanya dan Mama Tengah kelihatan tabah. Tiba-tiba, dia menangis keras-keras dan memeluk kami berlima. Maklum, dia merasa iba kepada Mamak dan kami berlima, apalagi kami berlima perempuan semua. Tidak mungkin menjelaskan kesetaraan gender pada Mama Tengah, walau pada prakteknya dia termasuk pejuang kesetaraan gender. Buktinya, Mamak kami satu-satunya perempuan di keluarga Biring dia dorong kuliah hingga ke Banda Aceh. Hanya saja, mungkin kekhawatiran Mama bukan di soal sekolah tetapi bagaimana kami tetap bisa menjadi keluarga yang berwibawa walau Bapak sudah tidak ada.

Mami Tengah memang unik. Saat kami bergembira makan segala jenis makanan dan bercanda dia bilang, kalau Bapak datang menjenguk kami. Dia senang lihat kita gembira dan berkumpul, katanya kalem. Kami semua terdiam, sebab tidak seorangpun bisa melihat Bapak. Tiba-tiba, salah seorang sepupu mencandai Mami: Nande, orati Turangkundu ena, kai ia merhat!” Kami tergelak, sebab kami tahu secara adat Mami dan Bapak pantang berbicara. Mami hanya berguman pelan: “Mehado kin ko kerina.” (Sudah gila kamu semua, apa?). Tawa kami semakin berderai.

Penglihatan Mami membuat saya teringat senja itu setelah acara pemakaman Bapak. Sepulang dari acara pemakaman, dia bilang kalau melihat seseorang yang menutup kepala dan wajahnya dengan kain putih di dalam kuburan Bapak sebelum peti dimasukkan. Saya penasaran sekali. Sering saya dengar sepupu-sepupu bercerita tentang penglihatan Mami, tetapi baru sekali ini saya dengar langsung.

“Mami, menurut Mami siapa dia?’ tanyaku.
“Tidak tahu, tetapi akan ada lagi keluarga dekat kita pergi. Berdoa saja, tidak apa-apa,” katanya kalem.




Mami benar, tidak sampai seminggu Mama Tengah meninggal dunia. Dia sudah tahu kalau Mama akan meninggal, dia melihat tanda. Dia paling siap di antara semuanya. Tidak ada air mata di wajahnya yang mendung, walau matanya kelihatan lelah dan badannya lunglai. Dia tetap kalem berbicara, walau kami tahu kadang kata-katanya tercekat di leher.

Semua ingatan datang beruntun ketika belakangan ini Gunung Sinabung sangat aktif menyemburkan abunya. Foto-foto Sinabung bertebaran di lini masa media sosial. Nyaris tidak bisa saya kenali lagi, karena rupanya jauh sekali dari kenangan yang pernah saya yang tertinggal di kepala. Tetapi, lereng gunung, jalan yang meliuk-liuk di kakinya adalah tempat yang sama seperti masa lalu. Satu per satu peristiwa berloncatan di kepala. Kenangan indah ketika semuanya masih sederhana dan penuh kegembiraan dan kerja keras. Belerang putih yang dahulu membentuk jalur putih seperti kue bolu merekah tidak kelihatan lagi, tapi kenangan itu masih di sana.

Gunung Sinabung sudah memutih disaput abu sekarang. Seperti pemain kabuki berbedak putih tebal. Di foto-foto yang diupload, saya berusaha mengenali jalur belerang yang dulu selalu kami kagumi. Ingatan kepada jalur putih jalur belerang membuat nyanyian Mama Tengah yang dulu bernyanyi di pagi berkabut pada saat matahari mulai terbit terngiang di telinga. Dia memegang tangan saya menuju kedai kopi yang tak jauh dari kamar mandi umum. Sembari berjalan dia bernyanyi:

Matawari si pukul siwah
Deleng Sinabun mbue kertahna
Sada wari kena la kuidah
Timbang setahun kuakap dekahna







One thought on “Kolom Ita Apulina Tarigan: SINABUN MBUE KERTAHNA

Leave a Reply to MUG Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.