Kolom M.U. Ginting: MACET

M.U. GintingJakarta macet, tetapi seluruh dunia juga punya problem macet. Terutama negeri berkembang yang jadi pemasaran kendaraan negeri maju fabrik mobil. Masanya begitulah sekarang di negeri berkembang ini. Kebanggaan punya kendaraan, lebih banyak lebih diinginkan masyarakat  yang sudah mampu beli. Makin mahal makin disukai lagi.

Produksi mobil semakin bergairah bikin mobil baru. Kenderaan semakin banyak karena jiwa/ semangat berkenderaan itu. Tanah dan jalan terbatas atau sudah maximal tak bisa lagi diperluas. Tiap tahun hanya tambah sempit dan tambah macet. Bikin kendaraan umum dan mengurangi mobil ke kota adalah cara terbaik dan masuk akal yang sudah dicita-citakan pengurus kota sejak adanya mobi dan problem mobil, sudah lama cita-cita ini.

Ada kota yang relatif berhasil relatif, tidak sepenuhnya, karena 2 soal tadi. Tanah sudah terbatas dan penambahan kenderaan tambah terus tak ada hentinya. Sekali lagi, karena di negeri berkembang berkenderaan masih jadi kebanggaan dan ukuran kesuksesan, atau ukuran kualitas hidup. Di negeri maju soal ini bukan lagi jadi ukuran begitu.

Karena itu, pemikiran ke kenderaan kolektif atau mengurangi kenderaan/ mobil adalah mungkin. Kuncinya pemikiran masyarakat, atau tingkat kesedaran tadi. Apakah bisa melaksanakan ide kenderaan kolektif atau mengurangi kenderaan di kota selama tingkat pemikiran tidak berubah atau belum berubah?

macet-14Persoalan pokok untuk mengurangi atau mengubah kemacetan ialah adanya perubahan KESEDARAN masyarakat yang ada di kota itu. Kuncinya, MENGUBAH KESEDARAN yang membikin kenderaan/ mobil tambah, dan ketidakinginan naik kenderaan kolektif bagi sebagian masyarakat yang sudah mampu beli mobil. Jumlah orang ini semakin banyak di negeri berkembang, dan golongan orang-orang ini jugalah yang sangat mendorong produksi mobil secara besar-besaran di negeri maju atau negeri produksi mobil dunia.

Ini jugalah yang menjadi sebab utama mengapa di negeri berkembang seperti Indonesia persoalan macet hanya tambah ‘seru’ tiap tahun dan sebaliknya tiap tahun negeri produksi mobil atau motor tambah keuntungan semakin besar.

Negeri maju yang memproduksi kenderaan ini lebih sukses mengatasi kemacetan karena juga punya duit untuk bikin kereta bawah tanah atau kreta/ kendaraan kolektif yang lebih nyaman dimana negeri berkembang tak bisa bikin, karena tak punya duit. Di samping itu, kesedaran lingkungan yang sudah sangat lebih tinggi di kalangan rakyat banyak di negeri maju. Banyak yang memilih naik sepeda atau kenderaan kolektif karena adanya pikiran MENGURANGI POLUSI. Hal mana belum bisa terpikirkan di negeri berkembang seperti kota Jakarta.




Solusi yang ditawarkan Baswedan jelas bagus, tetapi tanpa menyinggung soal KESEDARAN tadi, amatlah susah untuk mengurangi kemacetan yang sudah jadi problem negeri berkembang seluruh dunia tanpa penyelesaian.

Hanya saja, bahwa persoalan ini diangkat ke permukaan menjadi tema Pilgub DKI Jakarta, menjadi sebuah thema perlombaan bagi Cagub-cagub untuk mengkedepankan ide-idenya dalam proses Pilgub ini. Siapa yang punya ide paling bagus dan bisa dilaksanakan, patutnya dialah yang menjadi pemimpin Jakarta. Jadi, prinsip Pilgub ialah memilih yang terbaik bagi pembangunan Jakarta.

Kemacetan adalah salah satu persoalan abadi yang belum bisa teratasi selama ini. Masalah ini akan terus tidak bisa diatasi biar siapapun jadi gubernurnya, sepanjang TIDAK MENYINGGUNG PENINGKATAN/ PERUBAHAN KESEDARAN MASYARAKAT itu, soal yang telah menjadi tembok dan benteng utama berlanjutnya KEMACETAN.




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.