Kolom W. Wisnu Aji: Pilkada Bukan Eksistensi Agama Tapi Upaya Menata Sistem

kampanye
Ahok saat menandatangani Deklarasi Kampanye Damai. Foto: Suara.Com.



wijayanto 8Demokrasi Indonesia sedang mengalami ujian kedewasaan akhir-akhir ini. Nuansa Pilkada DKI yang terasa Pilpres membuat komponen bangsa tersedot di Pilkada DKI. Ada upaya penarikan simbol agama untuk eksistensi kelompok tertentu dalam memenangkan Pilkada DKI. Padahal, kita sudah sepakat sistem Pilkada bukan untuk eksistensi agama, tapi upaya menata sistem lebih baik melalui seleksi kepemimpinan.

Fenomena memanasnya dinamika Pilkada DKI merupakan bukti kemunduran peradaban di negeri ini. Ada upaya penarikan pengaruh melalui pemanfaatan simbol agama hanya demi eksistensi agama untuk kepentingan politik di Pilkada DKI.

Pertempuran Pilkada DKI yang telah menggunakan alat-alat agama dalam pertarungan, bukti belum dewasanya kita memaknai kontestasi Pilkada dalam peradaban demokrasi. Upaya pendiskreditan kelompok tertentu yang sudah mengarah tirani mayoritas membuat demokrasi kita di persimpangan. Ini bukti lemahnya figur yang diusung untuk berkontestasi dalam Pilkada.

Pilkada DKI yang tujuan awalnya untuk membangun peradaban demokrasi melalui kontestasi gagasan demi penataan sistem lebih baik di Jakarta, telah ditarik pada perang simbolisasi eksistensi agama dengan menggunakan alat agama untuk menjatuhkan dan membusukkan lawan politiknya. Padahal, menurut KH Mustofa Bisri yang dikutip CNN Indonesia, Pilkada bukan memilih berdasarkan eksistensi agamanya. Siapapun berhak memenangkan Pilkada, baik dari agama apapun, suku apapun dan ras apapun.

Karena Pilkada tidak untuk memilih pemimpin secara permanen atau abadi, jadi jangan ditakuti, Pilkada dan kontestasi lainnya hanya dalam periodesasi 5 tahunan. Andaikan tidak sepakat dengan figur tertentu, kalahkan secara demokratis dalam Pilkada

Sedangkan menurut Fatwa Ulama Mesir seperti yang dikutip kompasmetro.com tentang kajian Al Maidah 51 menyatakan bahwa pemimpin non muslim dan pemimpin perempuan berhak memenangkan kontestasi dan berhak dipilih umat muslim karena yang dikritisi bukan figurnya maupun dari kelompok mana, tapi upayanya menata sistem jadi lebih baik setelah terpilih dengan kampanye-2mempertimbangkan bangunan sistem yang mensejahterakan bagi semuanya.

Fenomena yang dialami Ahok di Pilkada DKI dengan kasus heboh di Kepulauan Seribu merupakan “eskalasi intimidasi” dari eksistensi agama yang telah ditarik ke wilayah kepentingan politik. Dengan menggunakan Al Maidah 51 sebagai sarana untuk membusukkan kelompok tertentu merupakan bukti lemahnya strategi berkontestasi dalam pertarungan gagasan untuk memperbaiki sistem tertata lebih baik.

Pilkada DKI jangan lagi jadi sarana menarik peradaban mundur karena Pilkada DKI merupakan simbol etalase nasional dalam pembelajaran demokrasi yang berkualitas. Mari kita merenung bersama bahwa kontestasi Pilkada dengan tarikan kepentingan eksistensi agama akan berdampak buruk terhadap pembelajaran demokrasi.

Untuk itu, siapapun yang berkepentingan dalam Pilkada DKI cobalah edukasi pemilihnya dan konstituennya untuk memberikan transformasi pembelajaran demokrasi dengan memanfaatkan strategi perang gagasan perbaikan sistem yang dapat jadi ruang dialog bagi pemilih Jakarta mempertimbangkan figur yang dapat dipercaya menata sistem Jakarta lebih baik.

Silakan pengaruhi kekuatan kelompok pemilih Jakarta melalui eksistensi nilai agama dengan catatan pembumian gagasan melalui platform nilai agama yang mampu mencerdaskan dan mensejahterakan seluruh warga Jakarta. Jangan sampai hegemoni eksistensi agama sudah mengarah pada upaya tirani mayoritas yang berpengaruh pada pengecilan kelompok tertentu yang punya hasrat dan tujuan sama dalam wujudkan pembangunan sistem jadi lebih baik.




Sudah saatnya kita kembalikan Pilkada DKI dalam ruh demokrasi yang menggembirakan melalui kontestasi gagasan yang tranformatif. Poleslah figur kalian masing-masing melalui pembumian visi misi serta program perbaikan Jakarta yang mensejahterakan bukan untuk mengintimidasi kelompok tertentu.

Perang gagasan kontestasi Pilkada DKI juga sebagai upaya memperbaiki sistem dan kondisi Jakarta yang sedang fokus pada masalah banjir, macet, urbanisasi, transparansi birokrasi dan korupsi sistemik di Jakarta.

Kalau para figur pemimpinnya dan tim sukses sudah mampu mengarahkan Pilkada DKI dengan mentradisikan kontestasi gagasan, maka peran-peran partisipatoris warga Jakarta akan meningkat untuk menentukan figur pemimpinnya berdasarkan gagasan yang realistis perbaikan sistem, bukan berdasarkan emosional dengan simbol intimidasi eksistensi agama tertentu.

Sudah saatnya semua pihak yang berkepentingan, ulama, aktivis politik bahkan figur pemimpinnya untuk mengembalikan marwah Pilkada DKI sebagai pembelajaran demokrasi yang dapat jadi contoh bagi kontestasi kepemimpinan lainnya.

#SalamPencerahan

Dipublikasikan oleh:
CENTER STUDY REPUBLIC ENLIGHTMENT FOR PROGESSIF MOVEMENT (CS REFORM)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.