Kolom M.U. Ginting: DARI NEGATIF KE POSITIP

2 gadis Karo sedang latihan menari di kampungnya, Kandibata (Kecamatan Kabanjahe), Karo Pegunungan. Sebelah kanan adalah Depari Angle, foto model Sora Sirulo.

 




Direncanakan sidang Ahok diadakan 13 Desember 2016. Sidang ini pasti akan rame pengunjung dan pemerhati, karena bukan hanya penduduk Jakarta yang sudah terbelah karenanya tetapi juga penduduk seluruh Indonesia. Jadi, sidang ini memang hebat, kalaupun bukan yang terhebat. Hakim yang akan bikin putusan juga memang harus ‘hebat’, karena pastilah sudah tahu apa akibat yang mengikuti kalau Ahok bebas, atau juga kalau Ahok divonis bersalah. Salah satu dari 2 golongan penduduk Indonesia yang 250 juta yang sudah terpecah jadi 2 itu, akan maju dengan keyakinan masing-masing.

Kalau Ahok kalah yang pro Ahok akan keluar menuntut ‘keadilan hukum’. Sebaliknya, kalau Ahok menang, penentang Ahok akan keluar berduyun juga menuntut keadilan, seperti Demo 411 atau 212. Bahkan bisa lebih parah lagi dari demo-demo itu, walaupun ini hanya hipotes (belum tentu benar). 

Tuduhan, atau Ahok sudah dijadikan tersangka, ‘penista agama’ karena dilihat dari kata-katanya atau bahasanya di pidatonya di Kepulauan Seribu [Rabu 30/9]. Saat itu, Ahok bilang:

Saya ingin cerita ini supaya bapak ibu semangat. Jadi nggak usah pikiran, ‘ah… nanti kalau nggak kepilih pasti Ahok programnya bubar’. Nggak, saya sampai Oktober 2017. Jadi jangan percaya sama orang, kan bisa aja dalam hati kecil bapak ibu nggak bisa pilih saya, ya kan. Dibohongin pakai Surat Al Maidah 51, macem-macem itu. Itu hak bapak ibu, jadi bapak ibu perasaan nggak bisa pilih nih, ‘karena saya takut masuk neraka’, dibodohin gitu ya. Nggak apa-apa, karena ini panggilan pribadi bapak ibu. Program ini jalan saja,”(detik.com).

Terjemahan surat Al Maidah 51:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); dikutip dari moslemtoday.com

 

Ahok seperti biasanya (‘ceplas-ceplos’ kata orang) berpikir sederhana dan bikin kesimpulan sederhana juga mau mengatakan bahwa ‘bapak ibu’ enggak bisa pilih saya kalau mengingat kata-kata dari ayat 51 janganlah mengambil Yahudi atau Nasrani jadi pemimpinmu, “dibodohin gitu ya” kata Ahok.

Sekiranya Ahok ngomong lebih sederhana lagi seperti misalnya: ‘Bapak ibu tidak usah memilih saya karena saya orang Nasrani dan supaya sesuai dengan bunyi ayat 51’ . . . ceritanya akan lain dan saya pikir pastilah lebih menarik juga . . .

Tetapi ini hanya berandai-andai . . .  Sekarang nasi sudah jadi bubur . . . Apakah memang sudah tidak ada harapan yang positif dari peristiwa ‘bubur’ ini dan kita akan pecah dan tengkar untuk selama-lamanya?

Seorang ibu petani garam di Karang Asem (Bali) sedang mengolah garam dari ladang garamnya. Foto: Ni Nyoman Murdewi.

Karena memang sudah jelas apapun keputusan hakim yang harus ‘hebat’ itu pastilah akan tetap pecah dan terbagi 2 juga. Karena putusannya hanya bersalah atau tidak bersalah. Tidak ada keputusan ‘netral’ seperti keputusan lalu dibikin ‘tersangka’ untuk meredakan sementara gaduh perpecahan itu. Tetapi keputusan ‘sementara’ yang agak ‘netral’ itu tetap hanya sementara. Keputusan definitif tetap nanti keputusan hakim di persidangan Ahok: yaitu Fitnah atau Tidak Fitnah. Dan keduanya bikin kecelakan baru atau kelanjutan konflik yang belum selesai itu atau tak akan pernah selesai itu.

Bahwa keputusan hakim akan melewati berbagai tafsir bahasa dan tafsir hukum,  di situlah dilemanya. Siapa yang menafsirkan bagaimana dan semua tafsiran pasti akan ditentang seperti keputusan apapun akan jadi persoalan, yang tidak bisa dihindarkan.

Dari segi tafsir bahasa (gramatika) simpel bisa terlihat jelas kalau ayat 51 itu hanya sebagai alat atau kata pelengkap, alat yang dipakai untuk menipu yang lain. Dari segi perasaan atau ketersinggungan bagi pendengar apalagi kalau dalam pidato Ahok istilah ‘dipakai’ dihilangkan, pastilah bikin tidak enak didengar. Juga kalau mencampur aduk politik dengan religion/ agama selalu bisa bikin kacau, atau bikin persoalan jadi lebih rumit tak pernah punya penyelesaian.

Pemimpin spiritual terkenal Dalai Lama pernah juga mengeluh soal dimanfaatkannya agama oleh orang-orang yang suka menipu orang banyak, beliau bilang bahwa di dunia sekarang ini “religion has become an instrument to cheat people”- dikutib dari timesofindia.indiatimes.com. Di sini Dalai Lama memakai istilah agama (religion) jadi alat atau instrument untuk menipu orang, Ahok memakai istilah ‘ayat 51’ yang dipakai orang tertentu juga untuk menipu orang lain supaya tidak memilih dia dalam Pilgub.

Raja Ampat.

Ada kemiripannya memang kata-kata Ahok dibandingkan dengan kata-kata Dalai Lama, sama-sama memakai agama (religion) sebagai alat untuk menipu orang lain. Itulah dunia kita sekarang menurut Dalai Lama. Memang dulu tidak begitu, dunia sudah berubah, bukan lagi jaman agama kayak dulu, dimana rakyat Indonesia selalu damai-damai dan akur-akur saja hidup bersama dengan berbagai agama yang berlainan.

Sekarang ada yang namanya Divide and Conquer, untuk memecah belah negara mana saja seluruh dunia seperti Syria/ Irak dengan tujuan SDA nya,  mengeruk dan merampok Triliunan dolar tanpa modal sepeserpun. lihat lengkapnya di sini:

  1. Terorisme, Narkoba dan Korupsi
  2. Trisakti

Selanjutnya Dalai Lama mengatakan:

“They (some educated people) pray to God but the purpose of their prayer is to make their corrupt life more successful.”

Ini juga sangat sesuai dengan kejadian di negeri kita. Orang-orang yang selalu korupsi umumnya adalah educated people atau yang punya kedudukan/ jabatan dibandingkan dengan kaum tani atau buruh pekerja biasa di Indonesia. Tujuan pray to God orang-orang ini tak lain ialah supaya lebih sukses lagi bikin korupsinya atau kehidupan korupsinya atau dengan perkataan lain mau menipu orang lain juga dengan sembahyangnya. Kesimpulan Dalai Lama ini banyak cocoknya dengan keadaan negeri kita sekarang.  

Satu lagi yang juga menarik dikatakan Dalai Lama:

“In western countries, secularism means being negative towards religion while in India it means respect of all religions, and India can promote religious harmony and ‘ahimsa’.” (Ahimsa means ‘not to injure’).

 Sama halnya dengan India, kita di Indonesia juga bisa menerapkan ‘ahimsa’, respek terhadap agama apa saja, sesama penganut agama yang berlainan. Ini memang sudah pernah menjadi tradisi negeri dan rakyat kita sejak lama, sudah ratusan tahun, sejak datangnya berbagai agama ke negeri kita dari Barat maupun dari Timur. Kita tidak pernah cekcok karena itu. Mengapa belakangan jadi cekcok karena berbeda agama?

Bisakah kita kembali ke situasi harmonis (‘ahimsa’) yang sudah pernah ada selama ratusan tahun itu?




Kalau kita meneliti kekacauan dan konflik berdarah di Syria dan Irak, sebagai sebab utamanya ialah teroris ISIS. Bahwa ISIS didirikan oleh Trio Obama-Clintorn-Ford juga bukan rahasia lagi. Seperti juga dikatakan oleh Trump sendiri bahwa Obama adalah the founder of ISIS. Tujuan utama pesta ISIS ini ialah Triliunan dolar dari SDA Syria dan Irak (minyak) yang masih mengalir sampai sekarang selama keamanan di kedua negeri itu belum pulih. Artinya, selama sumber minyak itu masih di tangan orang asing, bukan di tangan orang Syria atau Irak.

Soal terorisme seorang profesor dari Ottawa University Chossudovsky bilang: 

“The so-called war on terrorism is a front to propagate America ’s global hegemony and create a New World Order. Terrorism is made in USA, The global war on terrorism is a fabrication, a big lie”.

 

Di Indonesia, menurut panglima TNI, biaya terbesar untuk membiayai terorisme di Indonesia datang dari Australia, Malaysia dan Brunei. Sedangkan usaha pecah belah di Indonesia kata panglima datang dari AS dan Australia. Kapolri dalam menghadapi Demo 212 menyatakan dengan tegas adanya usaha makar yang berlindung di balik 212. Usaha makar atau terorisme atau pecah belah punya tujuan yang sama dan dari sumber yang sama yaitu ‘Panitia’ Divide and Conquer internasional atau the global hegemony the New World Power menurut definisi Chossudovsky, yang juga bergerak di Syria dan Irak.

Pengetahuan umum soal terorisme dan soal Divide and Conquer ini sudah semakin meluas dan bisa jadi alat yang bagus bagi publik dunia untuk menghindari usaha pecah belah dari luar yang pada umumnya memanfaatkan kontradiksi yang ada dalam satu negeri. Pengetahuan kita dalam soal inilah yang akan banyak menunjukkan jalan dan akan membimbing sikap kita menemukan jalan penyelesaian dalam soal yang kita hadapi sekarang ini (Soal pengadilan Ahok). Selain itu, keyakinan kita yang sudah teruji dalam perjuangan kemerdekaan yaitu Panca Sila dan keutuhan NKRI.

Publik Indonesia belakangan ini sudah banyak tambah pengalaman dan juga pengetahuan, terutama sejak Peristiwa Kepulauan Seribu. Tambah pengetahuan lebih luas dan lebih mendalam dalam soal demo sebagai hak demokrasi, soal makar, soal Divide and Conquer internasional, soal terorisme, dan tak kalah pentingnya juga ialah cebiran mulut yang lebih ‘ahimsa’ (lebih harmonis tidak menyinggung perasaan).

Semuanya ini telah memberi pelajaran dan pengalaman yang ternyata memang sangat berguna dalam menjaga kestabilan dan hidup berdampingan secara damai dan saling menghormati walaupun berbeda agama atau ras atau suku. Peristiwa Kepulauan Seribu telah dan akan bikin Bhinneka Tunggal Ika, Pancasila dan NKRI lebih mantap dalam kehidupan nyata kita, tidak hanya sebagai teori, lambang atau semboyan semata-mata.

Karena itu, apapun hasil yang akan diputuskan oleh pengadilan 13 Desember nanti, tidak perlu lagi mengganggu kedamaian diantara kita. Walaupun semuanya memang tergantung pilihan kita, karena pilihan luar atau keinginan dari ‘panitia’ Divide and Conquer seperti di Syria dan Irak, sudah jelas, dan kita sudah sangat mengerti.

Inilah kemungkinan perubahan dari sesuatu yang negatif ke sesuatu yang positif. Kita banyak belajar.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.