Kolom Bastanta P. Sembiring: Kerinduan Kinikaron di Natal GBKP Suban

 

Saya ingat kemarin lalu, bagaimana konsep saya dan teman-teman akan sebuah acara dengan nuansa Karo siadi (Karo tempo dulu) ditolak mentah-mentah. Banyak beranggapan itu kampungan (kuno) dan ada juga yang beranggapan tidak pantas ditampilkan di acara gereja.

“Ha, rabit datas?! Aku lang saja!” kata mereka.

Itu salah satu penolakan yang saya hadapi diantara penolakan dalam konsep-konsep lainnya.

“Ha-ha-ha… Kalau pakai stelan jas jelas saya kalah ganteng dengan Lee Min Ho,” cetusku menepis anggapan mereka.

“Kalau rabit datas, makin sexy dan makin cantik kalian kulihat. Kalau pakai gaun, hm… kayaknya cantikan Chelsea Islan, ya?” lagi kataku pada yang perempuan.

Saya ingat cerita pengalaman mama Juara R. Ginting bersama Sanggar Sirulo saat tampil di salah satu acara kerja tahun di Dataran Tinggi Karo Gunung. Dia mengalami hal serupa. Namun, setelah dia menjelaskan dari atas pentas dan orang-orang melihat penampilan mereka (Sanggar Sirulo-red), kini setidaknya di Sumut di acara-acara Karo dan acara lainnya, rabit datas dan tarian-tarian di luar gerak konsep baku sudah kembali populer.

Kelembutan, kelicahan, dan hentakan dalam kebebasan yang bersatu padu, menurut saya itu yang selama ini telah hilang dalam penampilan landek (tarian) Karo. Sanggar Sirulo kembai menghidupkannya.

Mengingat cerita di atas, kami pun tidak berkecil hati. Setidaknya masih ada hal yang bisa kami lakukan. Kami pun mulai rapat sambil ngopi dari malam hingga pagi menyusun konsep. Lucu juga sih, mau menampilkan sebuah tarian, tetapi tak pernah latihan gerak. Kebanyakan diskusi dan corat-coret di atas kertas di meja kedai kopi. Orang-orang pun mulai meragukan, apakah kami serius atau cuma koar-koar saja.

Ingat juga saat GR (gladi resik). Saat kesempatan kami untuk latihan, kami hanya memasang musik dan ketawa-ketawa sambil chatting. Sampai pendeta pun bertanya: “Sudah selesai? Hanya itu?”

Saya lihat raut wajahnya tercengang dan ragu, juga orang-orang yang berada di sana saat itu merasa aneh melihat kami.

Saya katakan kepada teman-teman: “Lihat! Masih GR saja mereka sudah tercengang kita buat, apalagi saat kita tampil nanti.”

Sepertinya, perkataan itu mampu membangkitkan mental teman-teman. Mengingat ini penampilan perdana kami, apalagi menampilkan hal di luar kebiasaan setidakya di daerah Jambi ini.

Para artist saat makan bersama

Memang sengaja kami saat GR atau sebelumnya latihan bersama dengan kelompok lain, tidak mau tampil serius. Pasalnya, ini masih dianggap konten yang sensitif. Kami takut tidak diijinkan tampil, mengingat sudah terdengar desas-desus yang tidak mengenakkan. Sehingga saya pun mencoba meyakinkan beberapa orang, demikian juga melalui medsos dengan beberapa artikel dan diantaranya mengutip artikel dari antropolog Juara R. Ginting yang berjudul, “Renungan Perumah Begu” (yang ingin dijelaskan melalui artikel tersebut ialah, bagaimana gerak dalam tari itu nantinya dinilai sebagai sebuah ekspresi seni, bukan kemulun (kerasukan).

Ditambah memang dalam tarian itu tidak dibutuhkan keseragaman. Yang dibutuhkan hanya ekspresi dan keselarasan gerak dengan irama musik. Tidak ada gerak-gerakan khusus yang perlu dipelajari. Jadi, cukup kita petakan di atas kertas sembari menyerup secangkir kopi hangat. Selesai!

Tibalah hari “H”-nya. Saatnya untuk tampil. Saya dengar kabar dari salah satu teman kalau satu dari personil kami tidak akan ikut tampil karena orangtuanya melarang. Sempat terlintas dibenak saya, “ini bakalan kacau”, mengingat teman yang tidak akan tampil ini punya sahabat karib dalam kelompok yang akan menolak untuk tampil jika yang satu tidak tampil. Belum lagi kondisi fisik kami yang kurang maksimal akibat kurang tidur dan kesibukan di bulan Natal.

Sesampainya di ruang ganti baru saya kembali tenang. Teman yang dikabarkan tidak bisa tampil malah sudah berganti kostum. Tinggal tunggu yang lainnya keluar. Nah… akhirnya mereka keluar dengan rabit datas walau tampak malu-malu.

Sudah gilran kami tampil. Eh… operator musik pun menghilang. Saya pun kembali panik dan teriak-teriak agar ada yang mencarinya sembari lari ke depan di posisi saya dan teman saya (Deni Singarimbun) akan muncul.

Membuat Tungkat Penalun tiruan.

Musik pun terdengar, tiga perempuan (Mirna Br Barus, Stefani Br Ginting, dan Reffi Br Tarigan) dengan kostum rabit datas lemah gemulai masuk ke tengah panggung dari pinggir ngelandekken (menarikan) dalin gendang, landek sada tan. Dari sisi panggung lainnya seorang pria (Firman Tarigan) dengan bertelanjang dada dan hanya dibaluti sebuah kampuh (sarung) dan erbulang-bulang (tutup kepsla Karo) beka buluh muncul. Ruangan tiba-tiba senyap. Saya lihat ekpresi keheranan dari penonton. Tetapi teman-teman di depan tampil seperti sekelompok penari profesional tanpa ada ekspresi gugup dan keraguan.

Tak lama, dua orang perempuan (Dk. Nd. Stefani dan Della Br Sembiring) masuk ke tengah panggung, dan barulah saya dan Deni Singarimbun muncul tiba-tiba dari belakang penonton yang membuat penoton tersentak, tidak menyangka akan ada muncul dari belakang.

Cerita dari tarian ini, menceritakan sebuah komunitas kecil Karo yang damai, yang berencana ingin membuat sebuah perayaan, namun tiba-tiba ada pihak-pihak yang memprovokasi sehinga semua menjadi kacau (lihat “Natal Sipemena” oleh: Bastanta P. Sembiring), namun akhirnya karena keteguhan hati dan iman percaya dari pemimpin mereka yang kemudian sanggup mengalahkan kuasa jahat dan mempersatukan komunitas kecil itu, akhirnya semua berjalan lancar.

Selesai penampilan itu yang nota bene masih dalam ibadah sehingga tentunya penonton ragu untuk bertepuk tangan. Melihat hal tersebut, liturgis pun mempersilahkan penonton bertepuk tangan dan, penampilan itu pun dibanjiri tepuk tangan dari penonton.

Usai acara, Ketua Runggun, Pendeta, dan yang hadir, kususnya orangtua sagat mengapresiasi dan meminta kami untuk tampil kembali.

“Jangan sampai kalian tidak tampil lagi. Ini harus!” kata mereka.

Bahkan saya dapat pelukan dari salah satu orangtua di belakang yang memperlihatkan ekspresi kepuasannya.

Satu hal yang saya baca dari percakapan dengan beberapa orangtua, ada sebuah kerinduan dari diri mereka untuk bangkitnya dan dapat menikmati kembali seni pertunjukan Karo. Ekspresi kepuasan dapat terbaca dari raut wajah mereka, membuat kami pun tidak ragu lagi untuk tampil berikutnya. Namun, harus ada yang baru supaya penonton juga tidak bosan.

Keesokan harinya, malam, kami pun kembali berkumpul. Seperti biasa corat-coret di atas kertas. Topik diskusi malam itu, harus ada yang berbeda.




Akhirnya cerita dirubah sedikit, ditambah pemakaian properti seperti tumbuk lada (senjata khas Karo) dan tungkat (tongkat), dsb. Harus cepat, karena waktu mendesak. Segera kami pun mempersiapkan apa yang diperlukan untuk penampilan ini. Satu lagi permintaan dari penonton agar ada intro sebelum kami menari. Teman-teman meminta saya ngerengget (bernyanyi ala Karo sperti: seriosa ala Karo). Membuat saya bingung harus apa.

Banyak menyarankan saya untuk masu-masu atau nuri-nuri. Tapi, sepertinya itu sudah biasa ditampilkan di gereja, apalagi saya dengar dalam ibadah Natal kali ini ada dari Mamre (kaum bapak) dan Moria (kaum ibu) mau ngerengget dari ayat-ayat Alkitab.

Hingga hari “H” tiba, saat tema-teman bertanya apa yang akan saya perbuat, saya belum bisa menjawab. Saya coba cari-cari referensi di youtube pun masih mentok di situ juga. Sampai akhirnya mau berangkat ke gereja saya ingat vidio yang pernah ditandai bang Edi Sembiring. Lama saya berpikir apa nanti tidak menimbulkan kesalahpahaman kalau saya melakukannya, mengingat ini bagian dari ritual Pemena (kepercayaan tradisional Karo). Lama saya berpikir.

Mengingat peran saya dalam tarian itu sebagai seorang guru (dibaca dukun) ya wajarlah sepertinya saya lakukan itu.

Tibalah saatnya untuk tampil. Sebelumnya saya berbicara, menjelaskan kepada yang hadir, kalau apa yang kami tampilkan nantinya adalah bagian dari kebutuhan penampilan dan tiada maksud lain. Dan saya pun mulai melantunkan mangmang persentabin yang awalnya seperti membuat penonton terkejut, namun setelah saya lanjutkan kembali tiba-tiba ruangan itu senyap sampai berlanjut ke tarian.

Sebelumnya, saat saya dan teman-teman duduk di bangku, terdengar oleh saya seseorang berkata: “Itu. Orang itu yang kubilang, yang tampil kemarin malam. Kayaknya mereka mau tampil lagi… […]…”

Dari logatnya, mereka bukan orang Karo dan bukan jemaat di GBKP dan bukan penduduk sekitar gereja. Natal saat itu juga adalah Natal Runggun yang hanya dihadiri Runggun Suban dan Bajem Merlung (Merlung di bawah naungan Runggun Suban), sehingga, ada beberapa kemungkina akan kehadiran orang-orang itu, mereka hanya kebetulan hadir atau mereka sengaja hadir untuk melihat sesuatu yang telah diceritakan oleh teman mereka.

Selain itu, tak jarang anak-anak mendatangi kami dan berkata kepada kami, “mantap kari bahan ya, bang!”

Demikianlah cerita di balik tampilnya tarian Karo dengan rabit datas dan mangmang persentabin. Bagi kami, ini adalah kerinduan dan keterbebanan kami untuk melestarikan dan menumbuhkan semangat Karo di tanah perantauan ini dan tiada maksud serta tujuan lainnya. Dan efeknya, setelah penampilan itu, saat saya mengunjungi beberapa rumah teman gendang tradisional Karo selalu terdengar, bahkan ada beberapa orang yang pesan keteng-keteng dan belobat untuk mereka pelajari.

Di bawah ini kami persembahkan sebuah irama mangmang Pertangisen Beru Dayang yang dinyanyikan oleh Juara R. Ginting dengan iringan musik Alm. Djasa Tarigan (Teks lagu karya Juara R. Ginting).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.