Kolom M.U. Ginting: Jawaban atas Twit SBY “Kapan rakyat & yg lemah menang?”

 

Perubahan, perubahan, change, change . . .  Perubahan akan jalan terus, dan hanya itulah yang tetap. Lain-lainnya semua berubah he he . . . Jadi, kalau kita bilang tidak ada yang tetap, ternyata ada, perubahan itu sendiri. Bagaimana dengan keilmiahan energi yang tetap? He he . . . alam yang tetap . . . terlalu filosofis untuk diteruskan di sini.  

Kita kembali ke tweetnya SBY: “Negara kok jadi begini. Juru fitnah & penyebar ‘hoax’ berkuasa & merajalela. Kapan rakyat & yg lemah menang?”

Yang dimaksudkan pak SBY tentu media sosial, media publik dunia, media yang sudah jadi media raksasa dunia tak ada bandingannya sampai detik ini. Media Raksasa ini muncul karena adanya perkembangan teknik informasi secara digital. Kalau era lalu kita merasakan kekuasaan mutlak mogul media, penguasa duit banyak. Media mereka ini sepihak, tujuannya hanya menyerakahi duit dunia, duit untuk hegemomy, dan hegemony/ kekuasaan untuk cari duit.

Duit, kekuasaan, duit lagi. Duit dipakai untuk ganti kekuasaan negara lain, duit bikin kekacauan dan terorisme untuk runtuhkan kekuasaan negara lain. Dari situ ke duit lagi, seperti mengacau dan menggulingkan Soekarno demi akses ke duit (SDA) jalan mulus, atau bikin ISIS cari triliunan dolar dari minyak Syria dan Irak.

Media mogul lama ini jadi nomor 2 besarnya sekarang dibandingkan media raksasa media sosial. Tetapi dalam soal duit, media mogul ini masih nomor 1. Artinya masih punya kekuasaan untuk bikin segala macam penyimpangan, mengimbangi media raksasa media sosial itu, yang pada dasarnya menggambarkan hati nurani rakyat banyak yang jujur dan tulus.

Tentang peyimpangan media mogul itu, sudah banyak contoh internasional. Bikin hoax, atau fake news. Contoh fake terakhir ialah ‘the golden shower’ Trump di Moscow. Sandiwara the golden shower tidak bisa diciptakan tanpa banyak duit keluar, biayanya besar, mengikutkan anggota Kongres dan badan intel AS. Fake satu ini telah bikin konflik ‘besar’ antara Trump dan badan intelijen AS terutama CIA yang kepalanya bakal diganti oleh Trump setelah masuk Gedung Putih.

Berlainan dengan Kepala FBI yang tidak tertarik atas fake satu ini, yang malah lebih tertarik kepada email Hillary Clinton yang lebih ‘mencurigakan’. Karena itu juga Trump kemungkinan akan terus memakai kepala FBI ini dalam admistrasinya yang akan datang ini, berlainan dengan kepala CIA, sudah ada ditunjuk penggantinya.

Fake the golden shower yang juga menunjukkan mengencingi ranjang hotel yang tadinya dipakai oleh Obama, karena Trump sangat benci dan dendam terhadap Obama, katanya. Fake ini sudah banyak ditelanjangi di medsos dan juga ratusan atau ribuan peneleti dan analisa pribadi/ ahli disiarkan di banyak media yang tidak berada di bawah kontrol media mogul itu. Paling tidak bisa dilawan tentunya medsos itu, karena jumlahnya jutaan dan di seluruh dunia pula. Inilah salah satu keuntungan media sosial media raksasa itu, yang tidak mungkin ada pada jaman lalu, dimana media berkuasa hanya media mogul itu, media penguasa duit.

Apakah kita harus menyesali dan mengumpat kedatangan media raksasa ini yang pada dasarnya adalah media yang memihak publik dunia yang jujur?

Kalau jaman lama sebelum internet, orang-orang pada ngomong fake atau hoax di sudut jalan sana, atau di kampung sana, atau ngomong apa saja di ruang ganti pakaian atau di permandian umum di tepi sungai. Ketika itu, hanya orang-orang yang ikut dalam kejadian itu saja yang mengetahuinya. Tetapi, sekarang, omongan di tepi sungai itu bisa dibaca oleh seluruh dunia, karena internet.

Perbedaan omongannya atau hoaxnya tidak ada, itu itu juga, fitnahnya itu-itu juga. Tetapi mengapa sekarang ditakuti? Itulah perubahan yang ditakuti. Padahal, sejak adanya manusia sudah ada hoax, atau fitnah itu, seperti pembicaraan di tepi sungai itu. Pembaruan tadi, karena semua bisa baca. Itulah yang jadi pemikiran sekarang ini. Menyambut perubahan dan pembaruan dan bisa memanfaatkannya, atau menghujat perubahan dan pembaharuan itu karena hanya melihat negatifnya.  




Banyak sekali yang tidak menyambut perubahan dan pembaruan itu, banyak yang menghujat. Memang betul, karena setiap perubahan dan pembaruan pada awalnya hanya beberapa orang yang setuju, kemudian separuh dunia, dan selanjutnya mayoritas menyetujui . . . Begitulah perubahan dan perkembangan di kalangan publik. Mungkin itu jugalah yang dikatakan bahwa perubahan ada positif dan negatifnya. Sebelum pengikutnya mayoritas, dianggap negatif, kalau pengikutnya sudah mayoritas, jadinya positif.

Satu yang pasti ialah bahwa perubahan itu tidak bisa lagi ditarik ke belakang. Karena itu, jalan pikiran yang paling berguna ialah bagaimana memanfaatkan positifnya perubahan. Seperti medsos yang raksasa itu. Bukankah bisa dimanfaatkan menyiarkan informasi yang berguna bagi publik? Itulah sekarang yang harus dilakukan oleh semua orang yang prihatin atas perubahan positif dunia demi publik negeri ini juga.

Bayangkan betapa indahnya dunia ini kalau semua info bagus dan memberi semangat bisa sampai ke semua pelosok dunia. Dan, itu sudah bisa sekarang! Pertanyaan Pak SBY “Kapan rakyat & yg lemah menang?” agaknya sudah bisa terjawab.

Catatan: Di bawah ini redaksi mempersembahkan sebuah musik/ lagu tradisional Karo yang disebut Nyanyian Pelipur Lara (Pemasu-masun) yang sebenarnya sekaligus Nyanyian Keluh Kesah (Bilang-bilang).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.