Kolom Hevi S. Tarigan: Bencana, Antara Persaudaraan dan Perbedaan

 

Semua manusia pernah mengalami bencana. Ada yang rumahnya tersapu banjir, ada yang barang berharganya hilang, ada yang diselingkuhi pasangan, penyakit, ada pula yang dilaporkan ke polisi sebagai penista. Ya, ada bencana alam, tetapi ada juga bencana yang timbul oleh diri sendiri.

Begitu pula semua manusia tentu pernah mengalami suka cita: hujan deras tetapi rumah tak kebanjiran, maling tidak pernah masuk ke rumah, hubungan dengan pasangan tetap utuh meski banyak cobaan, ataupun tubuh selalu sehat.

Kadang-kadang ada juga manusia yang merasa senang ketika orang lain mengalami duka derita dan bencana, senang melihat penduduk suatu negara mengungsi ke wilayah lain karena perang, senang menyaksikan usaha orang bangkrut, senang ketika musuhnya dilaporkan ke polisi dan berlarut-larut mengalami proses pengadilan, serta banyak lagi lainnya.

Ada hal-hal yang terbentuk setelah kita lahir, seperti kepribadian dan kepercayaan terhadap nilai-nilai tertentu. Pembentukan pasca lahir ini membedakan kita dari orang-orang lainnya. Namun, ada juga hal-hal yang sudah ada di dalam jiwa kita, bahkan saat kita masih di dalam kandungan ibu, baik kita dilahirkan oleh seorang ibu bersuku Karo, Batak, Jawa, Tionghoa, Arab, dsb; gemuk, kurus, pendek, tinggi, dsb.

Apa yang ada di dalam hati nurani kita itu sama dengan yang ada di hati miliaran manusia lainnya.

Bencana, seperti badai salju di Eropa saat ini, banjir beberapa minggu lalu di Thailand Selatan, gempa beberapa waktu lalu di Tanah Karo, kebakaran di Pasar Senen yang baru saja terjadi, semestinya membuka lebar-lebar pintu hati nurani kita, kemanusiaan kita, kesamaan kita, bahwa ternyata kita sama-sama lemah, sama-sama tidak berdaya.

Tak peduli setinggi apa pun kekuasaan kita. Berkuasa sewilayah RT, berkuasa senegara atau berkuasa atas jutaan umat, ternyata tidak berarti apa-apa saat menghadapi bencana. Hal-hal yang sehari-hari kita junjung tinggi karena bisa membedakan kita dari orang lain – kekuasaan, ras, suku, budaya, agama, dalam sekejap menjadi tidak bernilai.

Dengan demikian, ada banyak hikmah yang dapat kita petik dari datangnya bencana. Bukan hanya betapa kecilnya kuasa diri kita, tetapi juga betapa kita ini pada dasarnya adalh sama dengan siapapun. Karena itu, bencana juga merupakan kesempatan untuk bersikap sama kepada siapa pun.

Bila saya menghormati keluarga saya, maka saya juga mesti menghormati tetangga saya, saudara saya di mana saja. Bila saya menolong saudara saya, misalkan di Kabanjahe, maka saya juga mesti siap membantu saudara yang di daerah lainnya. Kalau saya membela saudara seiman saya yang sesama manusia, mengapa saya tidak membela manusia lain yang tidak seiman?

Apakah kita membela kesamaan iman atau membela kemanusiaan? Jika ada dua orang kelaparan, yang satu dari agama dan suku yang sama dengan saya, dan yang lain beragama berbeda, siapakah saya ini sesungguhnya jika hanya memberi kepada dia yang sama dengan saya?




Bencana yang kita alami masing-masing mestinya sanggup mengetuk empati kita, rasa kesetiakawanan, dan rasa persaudaraan yang selama ini telah dipenjarakan oleh kerakusan akan kekuasaan dan sikap mementingkan pandangan politik, sosial, ekonomi, bahkan keyakinan.

Hati siapa yang tidak menangis mendengar dan melihat betapa ada sebagian pihak yang malah menebalkan tembok penjara perbedaan itu dikala bencana melanda. Entah itu sikap hanya mau menolong mereka yang segolongan maupun sebaliknya menolak mereka yang tidak sekelompok dengannya.

Padahal, bila dicermati, kita semua sangat berpotensi menjadi korban dari bencana yang terus menerus bisa terjadi seketika. Mestinya terus menerus kita atasi sikap ketdakpedulian, ketidakadilan, kebodohan, kemiskinan, penindasan, kesewenang-wenangan, dan keserakahan itu.

Mari, kita wujudkan empati kita dalam langkah-langkah konkrit tanpa mengedepankan diri dan kelompok kita sebagai yang ‘ter’ dan yang paling. Bisa berupa bantuan dana, barang, layanan kesehatan, konseling, sumbangan pemikiran perencanaan lingkungan, dan yang tak kalah pentingnya: sikap menghormati dan rasa cinta terhadap sesama manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.