Kolom M.U. Ginting: Raja Salman, Etos Kerja, dan Keragaman Suku

 

Kedatangan Raja Salman dari Saudi Arab ke Indonesia banyak bikin kegembiraan. Selain hubungan dagang yang akan berkembang termasuk investasi Saudi di Indonesia, tetapi juga dari segi lain, seperti sang Raja yang sangat memuji dan menghargai motto kerja Jokowi.

“Kerja, kerja, kerja  . . . .” kata sang presiden kita.

Ternyata, sambil senyum-senyum, sang raja mengakui dan memakai motto itu dalam kehidupan kerjanya. Jadi, ada kesamaan dengan raja he he. Raja Salman juga berfilsafat hidup seperti itu. Bagus juga ada persamaan dua pemimpin ini apalagi kalau sang raja bisa nanti menggairahkan pengusahanya investasi di negeri ini, sangat membantu mengurangi pengangguran.

Kerja, kerja, kerja . . . Kalau bagi orang Jepang atau China, kerja adalah sama dengan kehidupan atau kerja adalah kehidupan itu sendiri. Orang China terutama tidak mengerti hidup selain kerja.

Perlukah orang Indonesia menirukan orang-orang negeri China atau Jepang ini? Atau pertanyaan yang lebih menarik ialah, MUNGKINKAH? Terutama kalau dilihat dari struktur genetiknya atau DNA, atau kulturnya.  

Atau pertanyaan filosofis lainnya ialah: Mungkinkah kita bisa menikmati hidup kalau  memaksakan diri menirukan way of life manusia China atau Jepang itu?

Yang sudah pasti betul dan tidak meragukan ialah bahwa orang China akan sangat bahagia hidup dengan filsafat hidupnya itu, begitu juga berlaku bagi orang orang Indonesia. Dan harus dimengerti juga bahwa di Indonesia sendiri sangat banyak ragam kultur/ budaya/ suku dengan berbagai ragam filsafat hidupnya masing-masing pula. Bhinneka Tunggal Ika kita bilang.

Suku Batak

“Orang Batak di bawah sadarnya menghayati kehidupan sebagai perlombaan, dan dia ingin menang,” kata DR RE Nainggolah mencermati way of thinking dan way of life orang Batak, salah satu suku asli Indonesia yang ada di Sumut konkretnya Taput, Tapanuli.

“Sikuningen radu megersing, siagengen radu mbiring,” kata orang-orang dari Suku Karo yang artinya sama-sama menang atau sama-sama kalah, mana yang patutnya dipilih. Suku Karo adalah suku asli lainnya di Sumut, konkretnya Sumtim Tanah Karo.

Suku Karo

Dari filsafat hidupnya itu jelas bahwa orang Karo tidak akan bahagia hidupnya kalau dipaksa hidup seperti orang Batak yang di bawah sadarnya menganggap kehidupan sebagai perlombaan. Orang Karo tidak mengutamakan perlombaan atau persaingan. Sebaliknya juga orang Batak tidak akan bahagia kalau dipaksakah hidup seperti orang Karo yang mengutamakan saling menolong sehingga ‘menang bersama’ karena orang Batak lebih memilih perlombaan atau persaingan dan bisa menang, dan itulah nikmatnya kehidupan bagi orang Batak sesuai dengan perumusan DR RE Nainggolan di atas.  

Dari pemaparan diatas timbul berbagai pertanyaan:

1. Bagaimana menangani Bhinneka Tunggal Ika kalau semua suku hanya cocok hidup pakai filsafat masing-masing?

2. Herankah kita kalau pernah terjadi perang etnis yang memilukan di Kalbar, Kalteng, dan Maluku?

3. Masih mungkinkah sekarang bibit perbedaan ini dipakai orang luar untuk memecah belah Indonesia sehingga NKRI pecah?

Dalam buku-buku ilmiah yang ditulis oleh berbagai pengarang/ akademisi dunia soal ethnic revival (cultural revival) dunia sudah banyak sekali penjelasan mendalam soal kultur etnis-etnis atau nation-nation dunia itu. Dan juga soal usaha pecah belah yang diselenggarakan oleh kekuatan pencari untung dunia yang salah satu contohnya dapat lihat di SINI.




Pertanyaan pertama bagaimana menangani Bhinneka Tunggal Ika atau keragaman itu, sudah banyak juga uraian yang mendalam dan luas di kalangan orang-orang terkemuka bangsa kita dan orang-orang politikus negeri kita. Tetapi, jawabannya tidak tergantung dari bebagai jawaban dalam tulisan-tulisan itu. Yang sangat positif memberi semangat bagi kita orang Indonesia ini ialah bahwa sesama kita sekarang terutama setelah ‘huru-hara’ Jakarta dan Pilgubnya, sudah terjadi perubahan yang mengherankan tetapi menggembirakan yaitu: kita tidak suka lagi perang sesamanya dan sudah sampai ke kesimpulan bahwa semua perbedaan dan konflik bisa dicarikan solusi terutama dengan dialog dan diskusi terbuka dan transparan serta mengikutkan publik dan tidak mendengarkan lagi hasutan perpecahan dari luar.

Ini memang perubahan dan perkembangan yang sangat luar biasa! Tidak ada bandingannya di negeri lain.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.