Kolom Asaaro Lahagu: Sidang Ahok Ke-16, Pembelaan-pembelaan Mengejutkan Saksi Ahli Ahok

Dalam sidang Ahok ke-16 kemarin, ada beberapa pembelaan mengejutkan dari BAP saksi ahli yang dibacakan dan juga pernyataan saksi ahli lainnya. Pembelaan-pembelaan itu cukup mengejutkan karena nyaris tak terkuak selama ini.  Para saksi ahli layak disebut saksi ahli karena kemampuan mereka memunculkan sesuatu dari kesaksiannya. Apa saja pembelaan yang mengejutkan itu?

Pertama, ahli hukum pidana Universitas Jenderal Soedirman, Noor Aziz Said, menjelaskan bahwa tidak ada unsur kesengajaan untuk menodai agama yang menjerat Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Menurut Noor, ada yang tidak logis dengan penggunaan pasal 156a KUHP dalam kasus Ahok.

“Dalam kasus ini, unsur di muka umum (adalah) tempat pelelangan ikan, unsur membenci atau menghina dalam kasus ini (adalah) mengharapkan sekali agar umat Islam memberi suara kepadanya dalam Pilkada, maka tidak logis kalau Ahok bermaksud memusuhi atau membenci umat Islam,” kata Noor dalam BAP yang dibacakan oleh pengacara Ahok.




Saya tertarik esensi dan substansi pembelaan Noor Aziz ini. Ia langsung mencerahkan nalar saya. Selama ini ada tuduhan masif, sistematis dan terstruktur kepada Ahok yang memusuhi atau membenci umat Islam. Jika dilihat tujuan pidatonya yang menyerempet surat Al-Maidah ayat 51 itu, maka tujuan Ahok sangat kental sekali yakni ia sangat mengharapkan agar umat Islam memberi suara kepadanya dalam Pilkada.

Bagaimana mungkin Ahok membenci Islam sementara ia sendiri sangat mengharapkan umat Islam memilihnya? Tidak logis jika Ahok dikatakan membenci umat Islam. Inilah penjelasan mengejutkan dari ahli saksi Noor Aziz itu.

Ke dua, Rais Syuriah Nahdatul Ulama (NU) KH Masdar Fardis Mas’udi mengatakan Surat Al-Maidah ayat 51 tidak bisa dipisahkan dari Surat Al-Mumtahanah ayat 8. Kedua ayat ini harus dilihat secara holistik atau keseluruhan terkait criteria pemimpin nonmuslim yang tidak boleh dipilih.

“(Surat Al-Mumtahanah ayat 8) bahwa yang tak boleh dipilih sebagai aulia adalah orang nonmuslim yang memerangi kamu dan mengusir kamu dari negeri kamu. Kalau sekedar beda agama nggak masalah,” kata Masdar ketika menyampaikan pendapatnya.

Lagi-lagi saya tercerahkan penjelasan Masdar ini. Ternyata ada ayat lain yang harus dipegang ketika menyebut Surat Al-Maidah ayat 51 itu. Nah ini mengejutkan. Menurut Masdar, kalau hanya memegang Al-Maidah 51 dan tidak memegang ayat lainnya itu berarti mempercayai yang satu dan mengingkari yang lain.

Ketika Surat Al-Maidah ayat 51 dipahami, maka umat Islam wajib menunjukkan Islam yang rahmatan lil alamin. Artinya, umat Islam tidak boleh mendiskriminasi orang berdasarkan SARA. Harus ada surat lain yang harus dipegang saat menyebut Surat Al-Maidah. Inilah pembelaan yang menurut saya mengejutkan.

Ke tiga, ahli hukum pidana dari Universitas Udayana Bali, I Gusti Ketut Ariawan, mengatakan sangkaan penodaan agama yang disematkan kepada Ahok seharusnya diselesaikan dengan Undang-undang PNPS nomor 1 tahun 1965, bukan padal 156a KUHP. Mengapa? Karena latar belakang munculnya PNPS 1965 itu adalah berkaitan dengan kondisi di Indonesia dimana ada semacam penindasan terhadap kaum minoritas.

Dari penjelasan Gusti, saya menjadi tercerahkan. Ahok yang ditindas karena double minoritas dan tersangkut pada kalimat “Jangan dibohongi pakai Surat Al-Maidah ayat 51” itu, cukup diselesaikan dengan Undang-Undang PNPS  karena kaum minoritas di negeri ini juga dilindungi dalam undang-undang itu. Ahok terpaksa menyebut Surat Al-Maidah ayat 51 itu karena ia selama ini dijegal dengan memakai ayat itu.

Namun pada kenyataannya, dalam kasus Ahok itu, pasal 156a KUHP yang digunakan. Padahal penggunaan pasal itu sangat represif dan tidak melindungi kaum minoritas. Jadi hal yang mengejutkan di sini adalah penegasan Gusti bahwa penggunaan pasal 156a KUHP untuk menjerat Ahok sangat tidak tepat.

Ke empat, anggota Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Hamka Haq langsung menyalahkan MUI yang langsung mengeluarkan sikap keagamaan tanpa lebih dahulu melakukan konfirmasi atau tabayun.

“Dalam Islam itu, ada praduga tidak bersalah. Nah, seseorang kalau melakukan sesuatu, tidak hanya diukur dari kesengajaannya, tetapi diukur juga dari mengapa dia lakukan itu, tidak bisa dijawab oleh video,” kata Hamka.

Hamka juga menyentil MUI bahwa sikap keagamaan yang mereka keluarkan adalah karena adanya tekanan. Dengan tidak adanya tabayun, maka bisa disimpulkan bahwa sikap keagamaan yang dikeluarkan MUI itu karena adanya tekanan. Menurut Hamka, sebagai lembaga terhormat, MUI tidak boleh kalah dengan tekanan-tekanan. MUI seharusnya mandiri, dan bertindak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku.

Lalu, mengapa pembelaan Hamka ini mengejutkan? Karena selain Hamka menasehati para pengambil keputusan di lembaga MUI dan menegaskan bahwa fatwa tidak berlaku dalam tata hukum di Indonesia, tetapi juga ucapan Hamka yang mengatakan bahwa ucapan Ahok yang menyebut jangan dibohongi pakai suatu ayat, itu bukan penistaan agama.

Ke lima, ahli Psikologi Sosial, Risa Permana, membeberkan makna tepuk tangan warga saat Ahok berpidato di Kepulauan Seribu pada tanggal 27 September 2016. Menurut Risa, tepuk tangan warga berarti penerimaan warga terhadap apa yang disampaikan Ahok. Tepuk tangan itu menyimbolkan hubungan erat antara Ahok dan warga.

Dari kesaksiannya, Risa mengejutkan publik dengan mengatakan bahwa pilihan polisi memakai transkrip ucapan Ahok sebagai salah satu bukti adalah tindakan gegabah.  Menurut Risa, menyebut penilaian kesalahan terdakwa dengan hanya transkrip kurang tepat, sebab tidak menunjukkan keadaan sebenarnya. Tuduhan kepada Ahok itu tidak valid karena kalimat yang diambil hanya sedikit saja dan tidak diikutsertakan transkrip reaksi masyarakat dan kondisi sekitar.




 

Kesimpulannya adalah, pembelaan-pembelaan saksi ahli yang meringankan Ahok kemarin, sunguh-sungguh berbobot. Karena berbobot, ia mengejutkan nalar kita. Kesaksian itu juga langsung menggugurkan kevalidan sikap keagamaan MUI, kesaksian Rizieq, Ma’ruf Amin, dan para ahli saksi lainnya yang didatangkan oleh JPU.

Mengapa?

Karena dari fakta-fakta persidangan, terkuak bahwa dalam kasus Ahok itu aroma bau politik yang berbungkus agama sangat kental. Itulah sebabnya Jokowi menegaskan harus dipisahkan benar antara agama dan politik. Begitulah kura-kura.






One thought on “Kolom Asaaro Lahagu: Sidang Ahok Ke-16, Pembelaan-pembelaan Mengejutkan Saksi Ahli Ahok

  1. Dari saksi ahli ini terlihat jelas bahwa diskusi atau debat semakin luas dan mendalam sehingga mendatangkan pengertian-pengertian baru yang lebih mendekati kebenaran atau lebih ilmiah, yang diperoleh dari pendalaman penafsiran agama dan pendalaman dari segi hukum. Ini sudah lebih dipercaya sebagai pendekatan kebenaran akademis, artinya kebenaran tercapai karena tidak ada lagi kebenaran dilandasi argumentasi ilmiah dari segi kebalikannya.

    Tentu saja akan masih tetap terbuka kemungkinan bagi penentang untuk lebih mendalami lagi argumentasinya menyatakan kebenaran yang berkebalikan, artinya menyanggah kebenaran yang sudah berlaku. Tetapi selama argumentasi kebalikan ini tidak ada, selama itu pula berlaku kebenaran yang sudah dipaparkan diatas meja dalam sidang pengadilan ke 16 itu.

    ‘Kontradiksi adalah tenaga penggerak perubahan dan perkembangan’.

    Terlhat jelas dari kontradiksi ‘Ahok’ ini bagaimana pengetahuan bertambah karena pendalaman dan perluasan argumentasi dari banyak segi, sehingga tercapai kebenaran yang lebih ilmiah dan bisa dipercaya, oleh masyarakat dan oleh sidang pengadilan untuk bikin putusan yang meyakinkan dan adil.

    Kontradiksi ‘Ahok’ ini telah bikin jasa besar bagi perkembangan pengetahuan bangsa ini, terutama dari segi agama dan dari segi hukum, dan kalau ditambah lagi akhirnya menyangkut kepentingan nasional NKRI atau kepentingan internasional memecah belah kesatuan NKRI dengan menggunakan perbedaan agama dengan memanfaatkan figur yang namanya Ahok.

    Secara internasional kita bisa menyaksikan figur-figur yang disasar dalam melawan perjuangan kepentingan nasional seperti Nigel Farage Brexit termasuk sekarang Theresa May, presiden Trump, Putin, Marine Le Pen, Duterte, dan tentu saja di Indonesia Jokowi dengan memanfaatkan ‘peluru Ahok’.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.