Kolom Eko Kuntadhi: BUKAN KASUS BARTER-BARTERAN

Ada yang menghibur diri, bahwa putusan Ahok bersalah karena sebagai langkah pemerintah membersihkan orang-orang radikal yang kasusnya sudah masuk ke kepolisian. Maksudnya, kalau Ahok dipenjara, mereka juga, dong…

Menurut saya, cara berfikir itu bisa keliru. Ahok diputuskan dengan hukuman jauh di atas tuntutan Jaksa bukan untuk barter-barteran dengan kasus apapun. Kita harus stop melihat kasus Ahok seperti orang dagang, jual ini, beli itu.

Kita mestinya melihat kasus Ahok itu sendiri. Kasus pembubaran HTI juga kasus sendiri. Kasus Rizieq Shihab juga masalah yang berdiri sendiri. Jadi, sebagai rakyat kita menuntut penegak hukum terus menyelesaikan kasus-kasus yang sudah diproses.

Sebagaimana kasus itu saja bukan karena proses barter-barteran karena Ahok diputus bersalah. Jika bingkai di kepala kita selalu dihiasi dengan cara berfikir politis, maka akan timbul kecurigaan pada pemerintahan, yang ujung-ujungnya kepada Jokowi. Padahal sejak awal Jokowi sudah menegaskan jika sebuah kasus sudah masuk ranah hukum, eksekutif tidak bisa melakukan intervensi. Sebab memang begitulah seharusnya.

Logika ini akan makin ribet jika nanti dalam proses hukum ternyata Rizieq Shihab bebas, padahal dia juga dituntut dengan pasal penodaan agama. Lalu ada pertanyaan lagi, barter dengan apa? Atau HTI dimenangkan pengadilan dan bisa eksis kembali. Ini bukan tidak mungkin, lho. Wong ada hakim yang nge-fans sama Felix Siauw.




Cara berfikir ini justru diingini oleh kelompok yang ingin merongrong kekuasaan Presiden. Dengan cara berfikir ini, akibatnya para pendukung Ahok akan kecewa pada Jokowi. Karena di matanya sebagai Presiden Jokowi membiarkan bekas wakilnya itu dinyatakan bersalah.

Lha, kalau Jokowi mengintervensi pengadilan, itu justru yang salah besar. Apalagi menggunakan cara barter-barteran kasus.

Sekarang, kita lihat kasus Ahok. Jaksa Penuntut Umum menuntut Ahok dengan pasal 156, yang isinya ujaran kebencian pada satu kelompok masyarakat. Mereka tidak menuntut Ahok dengan pasal 156a, masalah penodaan agama. Artinya jika dibaca sebagaimana tuntutan jaksa, Ahok bukanlah penoda agama.

Titik masalah yang dipertanyakan publik di sini, kok bisa hakim kemudian memasukkan lagi pasal 156a dalam putusannya? Padahal Jaksa tidak menuntut pasal penodaan agama. Apalagi hukumannya jauh lebih berat dari tuntutan jaksa.

Penodaan agama sejatinya adalah pesoalan subjektif. Orang Islam ada yang mengatakan Ahok menodai agama tapi banyak juga yang tidak merasa agamanya dinodai. Mereka juga nonton video pidato di Kepulauan Seribu. Saya sendiri, sebagai muslim, merasa sah meyakini Ahok tidak menodai agama. Meskipun hakim sudah memutuskan bersalah. Karena sesungguhnya, unsur subjektifitas sangat kuat pada kasus ini. Jadi biarkan saya yakin dengan subjektif saya.

Ini jauh berbeda, dengan kasus korupsi, misalnya. Selama dibuktikan dia nyolong, ada duitnya, ada kerugian negara, ada oknumnya, hukumnya terang. Apalagi yang tertangkap tangan. Duduk perkaranya bisa diputus objektif. Apapun pembelaan tersangka, kalau sudah tertangkap tangan, ke laut aja deh lu…

Lalu bagaimana membuktikan sebuah kasus sebagai penodaan agama? Pasti bukan perkara mudah. Ahli-ahli agama saja berdebat panjang sebagai saksi di sidang Ahok kemarin. Kenapa berdebat? Karena sebelum menafsir penodaan, perlu tafsir yang tegas juga pada hujah agama yang merasa dinodai itu. Demikian juga hakim yang memutuskan perkara di pengadilan. Bukankah mereka juga orang beragama? Pertanyaannya, mungkinkah ada bias keyakinan beragama seorang hakim dalam memutuskan perkara penodaan agama, yang juga agamanya sendiri? Karena kasus ini adalah perkara yang tingkat subjektifitasnya sangat tinggi, faktor bias itu bisa jadi sangat kuat.

Salah seorang hakim yang memutuskan perkara Ahok, misalnya, dalam akun medsosnya terlacak sering men-share tausiyah Felix Siauw (tokoh HTI) atau Aa Gym. Kita tahu, di mana posisi pandangan keagamaan kedua tokoh ini dalam kasus Ahok. Artinya, jika share artikel itu mewakili fikiran orang yang men-share, maka kecenderungannya dalam melakukan penilaian terhadap kasus Ahok juga bisa tidak netral.

Langkah Ahok dan tim kuasa hukumnya untuk menguji kembali kasusnya dengan melakukan banding, rasanya adalah cara yang tepat. Jika banding belum memuaskan hasilnya, bisa ajukan kasasi sampai PK. Kita dukung Ahok untuk memperjuangkan haknya.

Lalu bagaimana dengan kasus Rizieq Shihab dan HTI? Ini jelas tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan kasus Ahok. Desakan pada aparat hukum untuk memproses kasus-kasus ini sampai tuntas, karena memang begitulah seharusnya. Desakan itulah yang harus terus dikumandangkan agar semua orang mendapatkan perlakuan setara di muka hukum.




Sedangkan kepada Rizieq Shihab, ulama yang sering berkoar-koar sebagai pejuang agama, kita imbau, berhentilah bermain sandiwara. Hadapilah kasusnya dengan jantan, bukannya ngeles terus dengan alasan sniper-lah, umroh-lah, sakit-lah, inilah, itulah.

Anda sering mencaci maki Ahok sebagai kafir. Tapi, dalam menghadapi sebuah konsekuensi dari tindakan, nilai Anda jauh di bawah Ahok. Ahok tidak pernah lari dari tanggungjawab. Tidak pernah absen memenuhi pangggilan polisi. Tidak pernah meminta pendukungnya untuk mengarak ramai-ramai ketika mau diperiksa polisi.

Setiap sidang, dia datang dengan kepala tegak. Dan, ketika diputuskan bersalah pun, kepalanya juga masih tegak. Padahal Ahok adalah orang yang sering Anda caci-maki sebagai kafir, Cina, kutil babi. Ahok mengajarkan kepada masyarakat, begitulah sikap seorang warga negara. Begitulah sikap seorang kesatria. Padahal Ahok adalah pejabat biasa.

Sedangkan Anda seorang ulama, sikap pejuang agama seperti apa yang mau diajarkan kepada umat? Apa mau terus-terusan main tebak-tebakkan : jago tembak sedunia sama, jago ngeles sedunia, kalau bertarung menang yang mana?







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.