Kolom M. U. Ginting: Neoliberalisme vs Nasionalisme (Trump Juga Terancam Pemakjulan)

Seperti sudah populer diberitakan bahwa pertarungan Pilpres lalu (2016) antara Clinton dan Trump adalah petarungan antara neoliberalisme kontra nasionalisme. Nasionalisme diwakili oleh Trump dan yang kemudian menang. Seperti biasanya, yang kalah akan selalu cari alasan mengapa yang lain bisa menang. Kekalahan Clinton katanya karena tim kemenangan Trump kolaborasi dengan Putin. Inilah perkaranya sampai sekarang dan sudah beberapa teman Trump jatuh karena ini.

Kemenangan Trump bisa dikatakan karena sistem pemilihan electoral votes yang dimenangkan oleh Trump sebanyak 306 dari jumlah 538. Jadi sebenarnya sudah cukup meraih 270 elektoral votes untuk jadi presiden. Trump meraih 306, lebih dari cukup. Kalau dihitung secara person (jumlah orang) sekitar 2 juta lebih banyak yang memilih Clinton. Dan ini juga yang bikin marah Trump, katanya orang-orang Clinton menipu, karena hanya elektoral votes itu yang membuat dia menang. Maunya tadi atau menurut keyakinan dia, secara jumlah orang juga dia harus menang he he . . .

Memang daerah penduduk padat seperti California secara jumlah orang pemilih, Trump kalah. Daerah-daerah jarang penduduk tetapi jumlah elektoralnya banyak pula, Trump menang.

Dari segi ini sebenarnya tidak masuk akal kalau Rusia mampu membuat sesuatu untuk mengalahkan Clinton. Orang bisa dipengaruhi tetapi jumlah elektoral yang penduduknya jarang di pedesaan dan daerah industri yang sudah ‘berkarat’ (rust- belt, ditinggalkan perusahaan neolib) yang mayoritasnya pro nasionalist karena kebangkitan nasionalisme putih AS, tidak mungkin dipengaruhi oleh Putin. Dengan kata lain, kemenangan Trump adalah perubahan jaman + sistem elektoralnya yang menguntungkan Trump.




Kepala FBI Comey yang dipecat kemarin, pada mulanya sangat dipuji oleh Trump, karena Comey membongkar email Clinton yang membuka rahasia negara, dan akan dijerumuskan ke pangadilan. Banyak yang menduga, ini yang membuat kalah Clinton dalam pemilihan. Karena itu, ketika Comey mendengar namanya dipecat oleh Trump, Comey menganggap senda gurau. Dia menganggap dirinya pro Trump, kok bisa dipecat?

Ceritanya:
Belakangan diberitakan bahwa Comey minta biaya lebih besar dan anggota lebih banyak (jaksa dsb) untuk bisa meneruskan tugasnya menyeleidiki keterlibatan Rusia Putin dalam kampanye pemilihan presiden lalu. Persoalan ini katanya sudah ada briefing dengan Kongres, tetapi ternyata tidak ada atau belum pasti.

Seorang anggota Senat ketika ditanya mengatakan:

Senator Dianne Feinstein, asked if she was aware that Comey recently requested more resources, says “that’s my understanding. I didn’t hear him say it. But that’s my understanding that’s the case.”

Ultimately, and as has been the case for months, the narrative boils down to the NYT’s word (and that of its echo chamber, the WaPo), or rather the various “unnamed sources”, versus that of the president, and in this case the DOJ… and absent formal evidence and charges that Trump was indeed involved in some shady dealings with Putin, that’s how it shall remain, with few if any on either side of the ideological divide convinced by innuendo. lihat di SINI:

Comey juga dikabarkan minta tambahan resources ke DOJ (Departemen Kehakiman), ini juga dibantah.




The fired FBI director reportedly told Congress he had asked Rod Rosenstein, the deputy attorney general, for a significant boost in resources for the inquiry last week. Mr Rosenstein later wrote a letter providing the rationale for Mr Trump to fire Mr Comey.

He was told to write the memo by the president, who had already decided he wanted to get rid of Mr Comey, the Washington Post reported. After the dismissal, Mr Rosenstein threatened to resign after being portrayed by the White House as the prime mover in the decision to fire Mr Comey, the Post reported.

Kemungkinan beberapa kepala lagi akan bergulingan mengikuti pemecatan Comey.

Memang rame dan menarik mengutak-atikkan si ceplas-ceplos Trump, karena dia gampang mengatakan apa saja dan bikin putusan apa saja, spontan. Dan ini dimanfaatkan oleh musuh-musuhnya dalam dua kubu bertentangan itu: Neoliberalism kontra nasionalisme. Trump telah tertipu dengan 59 Tomahawk, sekarang Comey.

Perjuangan dua ideologi ini terlihat juga dalam politik luar negeri AS, yaitu garis Pence-Mattis-Haley atau Trump-Bannon-Miller. Perjuangan ini semakin gesit dan terlihat juga kekuatan Trump semakin terkonsolidasi, karena orang-orangnya semakin mengerti siapa musuhnya dan siapa temannya.

Ketika Pence dan Bannon ke Eropah, masing-masing membuat politiknya ke Uni Eropah. Tentunya orang-orang UE juga terima saja apa yang menguntungkan he he he.

Pemakzulan semakin dekat . . .  diharapkan musuh-musuh Trump . . . tetapi kelihatannya perjuangan ideologi ini masih panjang, atau apapun bisa saja terjadi atas Trump . . .







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.