Kolom Asaaro Lahagu: JK Getol Serukan Rekonsiliasi kepada Pendukung Ahok, Ketakutan?

Setelah Ahok sukses ditumbangkan dan bahkan dipenjarakan, Jusuf Kalla (JK) berbalik 90 derajat. Dari orang yang bungkam saat masjid dipolitisasi, menjadi orang terdepan yang menyerukan agar masjid dijadikan sebagai pengingat perdamaian. Rekonsiliasi pun digaungkan di mana-mana mulai oleh Anies Baswedan, Sandiaga Uno hingga Ketua GNPF MUI, Backhtiar Nasir.

JK sendiri terus berinisiatif untuk melakukan rekonsiliasi. Hanya sehari setelah Pilkada, Anies dengan naik helikopter Erwin Aksa (keluarga JK) bertemu dengan Ahok untuk melakukan rekonsiliasi. Cepatnya Anies bertemu dengan Ahok, bisa jadi karena adanya dorongan JK kepada Anies, anak kesayangan JK. Tujuannya untuk melakukan rekonsiliasi.

Sejak pertemuan Anies-Ahok, berbagai kalangan yang sebelumnya menyerukan permusuhan, kini menyerukan rekonsiliasi. Namun begitu banyak orang yang sinis mendengar kata rekonsiliasi apalagi rekonsiliasi ala JK. Pertanyaan-pertanyaan mendasar pun muncul. Mungkinkah rekonsiliasi terwujud setelah cara-cara paling kotor dan keji dalam peradaban Indonesia telah dilakukan untuk menjegal Ahok? Bisakah rekonsiliasi terwujud jika ada pihak yang ditekan melalui gerombolan massa, lalu dihukum oleh palu hakim yang rakus akan promosi jabatan?

JK kini mungkin puas karena tujuannya di DKI telah tercapai. Ke depan, Anies yang akan dijadikan bonekanya akan disetir untuk mengatur pembagian kue lezat ekonomi di DKI dengan APBD Rp. 70 triliun. Untuk menikmati APBD itu agar lebih nikmat, transparansi dan akuntabel ala JK, butuh suasana damai, silent, tenang. Suasana kondusif akan tercipta jika pembagian kue ekonomi di DKI dilakukan dengan rata. Lalu apa sebetulnya motif JK menyerukan rekonsiliasi itu?




Ada udang motif ekonomi di balik kepiting rekonsiliasi.

Para pendukung Ahok adalah kebanyakan masyarakat ekonomi kelas menengah atas, berpendidikan tinggi, mempunyai jaringan-jaringan distribusi kue ekonomi yang luas baik di dalam maupun di luar negeri. Dan, yang perlu diambil hatinya oleh JK adalah para pendukung Ahok yang berasal dari warga keturunan Tionghoa. Warga keturuan Tionghoa adalah kaum minoritas namun menguasai perekonomian Indonesia.

Kenyataan itu memaksa JK mengeluarkan pernyataan bahwa situasi ekonomi Indonesia berbahaya. Mengapa? Menurut JK, sebagian besar orang kaya di Indonesia adalah warga keturunan yang beragama Konghucu maupun Kristen. Sedangkan orang yang miskin sebagian besar Islam.  Hal itu  yang menurut JK sangat berbahaya dan harus ada usaha bersama untuk mengatasinya.

Apa arti dari pernyataan JK itu? Jelas JK mengakui bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia berbahaya karena bisa memicu kecemburuan sosial. Yang kaya karena memiliki modal, akan terus kaya. Sementara yang miskin akan terus miskin, karena terbelit oleh lingkaran setan kemiskinan. Kesimpulannya adalah yang kaya akan menguasai yang miskin. Inilah yang berbahaya. Ada kecemburuan sosial yang memicu kerusuhan dalam berbagai bentuk.

Di sisi lain, JK mengakui bahwa situasi berbahaya itu harus diatasi dengan usaha bersama. Artinya, usaha bersama itu jelas harus melibatkan orang-orang kaya itu juga. Tanpa usaha bersama yang didukung orang kaya, maka mengatasi kemiskinan dan keterbelakangan itu di sebuah negara manapun tak bisa dilakukan oleh pemerintah manapun.

JK pasti paham bahwa sebetulnya Ahok tengah mewujudkan keadilan sosial di DKI Jakarta. Justru Ahok yang paham permainan orang kaya, bisa masuk dan memaksa mereka untuk berpartisipasi membangun masyarakat yang berkeadilan. Namun, karena Ahok terlalu ekstrim mengunci kue lezat APBN DKI Jakarta dan membuat kering-kerontang kantong lawannya, maka JK berusaha mengambil alih pengendalian kue lezat itu lewat Anies. Sebagai bukti, orang JK Sudirman Said, masuk tim sinkronisasi untuk mengeroyoknisasi APBD DKI Jakarta.

Akan tetapi saat mengambil alih pengendalian kue lezat ekonomi itu dari Ahok yang double minoritas, JK menyakiti hati pendukung Ahok dengan permainan politik SARA paling kotor dalam peradaban Indonesia. Para pendukung Ahok yang berasal dari warga keturunan Tionghoa terlanjur sakit hati atas julukan-julukan kafir dan sebagainya atas diri mereka.

JK paham bahwa untuk membangun pemerintahan yang kuat dan mau butuh dukungan WNI keturunan. Pun dalam mengembangkan kemaharajaan bisnisnya, JK sendiri mau tidak mau harus berelasi dengan WNI keturunan. Bisa dibayangkan jika warga keturunan Tionghoa memboikat relasi bisnis dengan JK dan tak mau lagi mendukung pemerintah maka kerajaan bisnis JK dan pemerintahan bisa goyah.  Mengapa?  Karena warga keturuan Tionghoa telah menguasai ekonomi Indonesia dan bahkan dunia.

Menurut Sterling Seagrave dalam bukunya: “Sepak Terjang para Taipan”, WNI keturunan Tionghoa adalah bagian dari 55 juta Tionghoa rantau yang berasal dari provinsi-provinsi pesisir Tionghoa selatan Kwangtung dan Fukien, tempat asal bagian terbesar Tionghoa rantau (overseas Chinese).

Tionghoa rantau atau pesisir adalah kerajaan tanpa perbatasan, tanpa pemerintahan nasional dan tanpa bendera. Mereka mendominasi kekuatan ekonomi di hampir setiap negara di Pasifik mulai dari Taiwan, Korea Selatan, Philipina, Thailand, Vietnam, Malaysia, Singapura hingga Indonesia, kecuali Jepang dan Korea Selatan.

Seorang bankir Singapura pada tuhun 1990 menaksir kekayaan cair Tionghoa rantau mencapai 2 triliun dolar atau setara dengan 130 Ribu triliun rupiah sekarang, belum termasuk asset-aset yang tersebar di seluruh permukaan bumi. Tionghoa rantau meraih kekayaan ini secara diam-diam, sebagai imigran atau pelancong di negeri-negeri asing yang tak ramah.

Tionghoa rantau adalah sebuah kelas menengah yang multinasional yang makmur dan segetelintir superkelas di puncaknya. Mereka lihai berbissnis serta cakap beroganisasi dan juga cermat memanfaatkan perlindungan politik untuk mendapatkan konsesi-konsesi monopoli dari pemerintahan yang sulit.

Sekarang, di pesisir Pasifik, tak ada kegiatan ekonomi tanpa keterlibatan Tionghoa rantau. Dalam banyak kasus, sebuah pemerintahan macet jika orang Tionghoa menyetop pasokan kebutuhan hidup. Tak ada satu tempatpun yang tak ada orang Tionghoanya. Mungkin ini alasan yang membuat JK getol menyerukan rekonsiliasi. JK dilanda ketakutan jika ekonomi dimampetkan oleh warga keturunan Tionghoa.




WNI Tionghoa pintar mengalirkan uang besar ke satu negara ke negara lain mencari rumah-rumah baru. Aset-aset Tionghoa rantau bagai properti tak bertuan, gelisah dan terus mencari tempat-tempat persembunyian yang baru. Begitu deras uang yang tumpah, sehingga peluang-peluang yang luar biasa bermunculan. Di mana ada peluang baru, di sana Tionghoa rantau bersiaga untuk menangkapnya.

Para investor Barat dan Jepang memanfaatkan Tionghoa rantau untuk memperoleh akses ke pasar-pasar Asia Tenggara. Tionghoa rantau menjadi kaya raya karena sangat cerdik dalam membangun industri. Mereka mempunyai keahlian langka soal menabung dan menanam modal. Selain itu mereka juga mempunyai solidaritas etnis yang luar biasa.

Mereka mempunyai jaringan-jaringan bawah tanah, pragmatisme politik, informasi hebat dan kemampuan cepat dalam menyesuaikan diri.

Tionghoa rantau sangat menghormati upaya gigih mencapai kekayaan individu. Karena itu menguntungkan keluarga dan komunitas mereka. Tionghoa rantau juga sangat lihai dalam memindahkan kekayaan-kekayaan pribadi ke tepian untuk menghindari penyitaan. Sekarang ini ditaksir 60% uang dunia berada di tepian atau di tempat persembunyian. Banyak di antaranya uang Tionghoa rantau.

Jika JK akhirnya getol menyerukan rekonsiliasi, itu karena ada udang di balik batu. Artinya, JK ingin kembali mengambil hati warga WNI keturunan Tionghoa untuk berpartisipasi membangun Indonesia dan tidak memboikot perusahaannya. JK ingin mengulang kesuksesan Tax Amnesty yang kebanyakan diikuti oleh WNI keturunan. Jelas JK ingin mengambil hati warga keturunan agar duit mereka di Singapura yang besarnya sekitar 3 Ribu Triliun Rupiah itu dari total 11 Ribu Triliun Rupiah di seluruh dunia dibawa masuk ke Indonesia.

Apakah rekonsiliasi ala JK bisa menyembuhkan luka paku begitu saja yang telah ditancapkan selama Pilkada DKI itu terutama di kalangan warga keturuan Tionghoa? Setelah Ahok ditumbangkan dan bahkan dipenjarakan, ada banyak kesimpulan dari WNI keturunan Tonghoa atas situasi bangsa ini hingga 50 tahun ke depan. Bangsa ini ternyata masih rasis dan butuh ratusan tahun untuk menyadarkannya.







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.