Kolom Eko Kuntadhi: LILIN YANG MELELEH

Akhirnya bendungan itu jebol. Perempuan hebat berwajah teduh itu tak bisa menahan gejolak hatinya saat membacakan surat dari suaminya di hadapan wartawan. Isaknya tertahan.

“Jika untuk kebaikan berbangsa dan bernegara, alangkah ruginya warga DKI dari sisi kemacetan dan kerugian ekonomi akibat adanya unjuk rasa yang menganggu lalu lintas,” begitu salah satu surat Ahok, yang dibacakan Veronica pagi tagi.

“Saya khawatir banyak pihak yang akan menunggangi jika para relawan berunjuk rasa, apalagi benturan dengan pihak lawan yang tidak suka dengan perjuangan kita.”

“Mari kita tunjukkan bahwa Tuhan tetap berdaulat dan memegang kendali sejarah setiap bangsa. Kita tunjukkan bahwa kita orang yang beriman kepada Tuhan Yang Masa Esa pasti mengasihi sesama manusia, pasti menegakkan kebenaran dan keadilan bagi sesama manusia.”

Ahok dan keluarganya memutuskan untuk menarik memori banding yang telah dikirimkan tim kuasa hukumnya. Dia befikir tentang keriuhan yang selama ini terjadi akibat kasus yang membelitnya. Dia berfikir tentang Jakarta yang macet jika demo akibat kasus itu susul menyusul. Dia berfikir tentang kerugian warga.

Dia juga berfikir tentang suasana bathin masyarakat. Agar kasusnya tidak menjadi bahan tunggangan para politisi yang memanfaatkan isu agama untuk kepentingannya. Dia berfikir tentang Indonesia.

Bagi Ahok mensejahterakan masyarakat Jakarta dan Indonesia adalah tujuannya. Bahkan jika untuk mendapatkan keadilan untuk dirinya berakibat warga Jakarta tidak nyaman, dia memilih untuk tidak menggapainya. Dia memilih diam, sepanjang tidak ada warga yang dirugikan. Baik akibat macet maupun karena perpecahan.




Ketika Veronica Tan membacakan surat itu, ada rasa pedih yang tertahan. Rasa pedih seorang perempuan, ketika suaminya, yang sepanjang waktunya digunakan untuk memikirkan rakyat Jakarta, kini justru menjadi pesakitan. Akibat ulah orang-orang lebay.

Saya mengapresiasi langkah Ahok menarik memori banding. Sebuah pilihan yang sangat layak dihormati. Sebuah alasan yang membuat rasa hormat kita jadi malah semakin menumpuk pada lelaki yang kini bermalam di Mako Brimob, Depok.

Pada sisi lain, pilihan itu sangat tepat. Selain Ahok, tim Jaksa juga mengajukan banding. Tentu saja memori Jaksa dimaksudkan untuk menguji kembali putusan hakim yang agak berlebihan itu.

Dalam sidang Jaksa menuntut Ahok dengan pasal 156, dengan tuntutan 1 tahun penjara dengan masa percobaan 2 tahun. Padal 156 bukan soal penodaan agama. Dalam kacamata Jaksa, kasus ini bukan penodaan agama.

Tapi, entah kenapa hakim malah menjatuhkan hukuman overkill, dengan menggunakan Pasal 156a dan penjara 2 tahun. Putusan itu, selain mengusik rasa keadilan, juga menampar profesionalisme kejaksaan.

Rasanya tepat jika JPU mengajukan banding. Bila tidak, dengan keputusan hakim ini JPU seolah lembaga yang tidak becus menyusun tuntutan hukum. Jadi, ini soal kredebilitas lembaga kejaksaan. Soal putusan yang terkesan lebay dan berlebihan. Saking berlebihannya bahkan menampar wajah Kejaksaan.

Akhirnya, Ahok memilih untuk menarik memori bandingnya. Tapi sidang banding akan terus berlanjut. Seperti yang diajukan oleh JPU kemarin.

Penarikan memori banding oleh Ahok seperti menunjukan sebuah sikap, bahwa perjuangan keadilan untuk dirinya, tidak lebih penting daripada kemaslahatan umum. Tidak lebih penting dari kenyamanan hidup bersama.

Ahok memposisikan dirinya seperti lilin, yang meleleh tapi cahayanya mampu menerangi lingkungan. Seperti simbol jutaan lilin yang dibakar para relawan untuk memprotes keputusan hakim yang terasa lebay.

Kita yakin keadilan akan terus mencari jalannya sendiri. Hidup tanpa keadilan adalah barbar. Hanya dengan menegakkan keadilan, kita masih layak disebut beradab….

https://www.facebook.com/rapplerid/videos/955131201257033/









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.