Kolom Eko Kuntadhi: TIRAI

Sepanjang tahun orang mempertontonkan kemewahan. Mereka yang miskin menyaksikan sambil menelan ludah. Tidak ada tirai yang menutupi pertunjukan kemewahan itu. Semua begitu telanjang.

Etalase toko gemerlap. Tidak ada tirai hijau yang menutupi, agar orang-orang miskin tidak iri hatinya. Orang berbelanja, keluar masuk mall. Semua dapat disaksikan dengan terang. Anak-anak kecil dari slum-slum kumuh hanya bergembira saat hujan. Mereka mengais rezeki dari ojeg payung.

Mobil-mobil mengkilap lalu lalang di jalan. Pengendaranya asyik memainkan gadget ketika berhenti di lampu pemberhentian. Anak-anak jalanan melihatnya saban hari. Tidak ada tirai yang menbatasi pandangan mereka, agar mereka tidak sakit hatinya dan membayangkan betapa beruntungnya orang di dalam mobil itu.

Anak-anak kita tertawa dengan pakaian indah. Tangannya menggenggam es krim Baskin n Robins. Anak lain, dengan pakaian dekil menyaksikan itu. Ah, betapa lezatnya es krim itu. Tidak ada tirai yang nenutupi pandangannya hingga meleleh liur mereka.

Kemewahan yang sering kita tampilkan, tanpa sengaja, sepanjang tahun, disaksikan siapa saja. Tanpa tirai pembatas. Orang-orang miskin menyaksikan semuanya. Hanya menelan ludah. Dan mengutuki nasib mereka.

Sinetron dan tayangan televisi menyajikan kehidupan glamour. Penduduk di ujung pulau terpencil menyaksikan sambil menahan sakit : kapankah giliran mereka bisa hidup seperti itu?




Lalu datanglah Ramadhan. Kita menahan haus dan lapar. Tapi kita memaksa orang menutup warung makan agar tidak terbit air liur kita. Agar ibadah kita lebih sempurna.

Kita meminta warung-warung itu lebih beretika dengan menyediakan penghalang agar pandangan kita tidak terganggu dengan keasyikan orang menyuap nasi dan menyeruput teh manis.

Kita berpuasa, dengan menghardik mereka yang makan di siang hari. Di luar Ramadhan, kita tidak pernah dihardik orang miskin, saat menikmati makan di restoran mewah. Meski mereka mungkin belum makan di siang itu.

Sepanjang tahun, kemewahan ditampilkan tanpa tirai pembatas. Orang-orang miskin hanya mampu menontonnya. Dan saat Ramadhan, orang yang terbiasa dengan kemewahan ini tiba-tiba harus puasa. Harus menahan lapar dan haus.

Lalu mereka berteriak. “Tutup warung kalian. Atau berikan tirai agar kami tidak iri dengan makanan kalian…”








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.