Fahri Hamzah Akan Dicegat di Cingkam Pass (Penatapen)

NGGUNTUR PURBA. KABANJAHE. Sekelompok demonstran mulai berkumpul di depan Kantor Bupati Karo dan membentangkan spanduk penolakan kedatangan Wakil Ketua DPR RI (Fahri Hamzah) menginjakkan kaki di Taneh Karo.

Menurut kabar yang iterima Sora Sirulo, jalan raya Medan–Berastagi mulai macet karena sekelompok pemuda Karo berkumpul di Penatapen, perbatasan Karo Gugung (Dataran Tinggi Karo) dengan Karo Jahe (Karo Hilir). Tempat ini di catatan-catatan kolonial dikenal dengan nama Cingkam Pass. Pass adalah sebutan Belanda untuk tepi dataran yang pertama sekali didapati dalam pendakian curam.

Penatapen (tempat menatap) memang adalah salah satu pintu masuk ke Dataran Tinggi Karo. Seperti pass-pass lainnya (antara lain: Buaya Pass, Sambo Ikan Pass, Bakancan Pass, Belingking Pass), di Penatapen ini ada tempat keramat yang dulunya diapaki oleh perlanja sira (pedagang garam) memberi sesajen ketika mereka tiba di tepian Dataran Tinggi Karo ini.

Di sanalah para pemuda Suku Karo menunggu Fahri Hamzah untuk menolaknya memasuki Dataran Tinggi Karo.

Mereka menolak Fahri Hamzah yang getol mengkafir-kafirkan orang-orang non muslim. Mereka menilai sosok yang satu ini tidak beradat dan tak berakhlak alias tak ada etikanya.

“Jangan sampai telapak kakinya menginjakkan kaki di Tanah Keramat ini. Akan hancur kesatuan merga Si Lima dan sangkep nggeluh Karo,” kata sebagian pendemo kepada Sora Sirulo.








One thought on “Fahri Hamzah Akan Dicegat di Cingkam Pass (Penatapen)

  1. Kalau orang Karo menyambut FH ‘secara introvert’ Karo, monggo saja, yang diuntungkan ialah FH sendiri, dapat ‘angin turutan’ politik. Tetapi kalau dia disambut dan didebat seperti dia diperlakukan di Pusat, atau belakangan di Manado, ada positifnya. Artinya orang Karo akan dapat pelajaran berharga, tambah pengetahuan setidaknya tentang orang politikus model FH, seperti halnya hiruk pikut Ahok yang telah mengangkat kesedaran dan pengetahuan publik sangat tinggi, bahkan dalam soal-soal hukum yang tadinya publik kebanyakan masih buta.

    Soal hakim sebagai ‘wakil Tuhan’ mungkin sekarang bisa diperluas diskusinya, meningkatkan definisi hakim tidak lagi seperti pada jaman lama dimana kekuasaan agama mutlak dan putusan hakim betul-betul sebagai putusan yang tak bisa diganggu gugat. Terakhir sudah ada tumbuh pikiran bahwa ‘putusan Tuhan’ oleh seorang hakim ini sepertinya tidak masuk akal sekarang ini, tidak mungkin lagi seperti seribu tahun lalu.

    Pemikiran baru ini ialah bahwa putusan hakim harus diakui atau dipercayai sebagai putusan yang adil. Tetapi kalau ditinjau lebih jauh, putusan yang adil ialah putusan yang benar. Dan putusan yang benar ialah putusan yang ILMIAH. Artinya harus bisa dibuktikan secara ilmiah, artinya seperti membuktikan suatu pernyataan ilmu yang ilmiah atau karena benar dalam dunia akademisi. Kebenaran itu sudah ilmiah kalau tidak ada lagi pembuktian dari segi kebalikannya.Tidak adanya lagi argumentasi kebalikan yang bisa dan mampu menentang keputusan yang mau diuji itu, berarti sudah benar secara ilmiah.

    Demikian juga putusan hakim yang dianggap putusan Tuhan itu harus bisa dibuktikan secara ilmiah seperti dalam dunia akademisi ini. Hakim harus bisa memberikan argumentasi putusannya secara ilmiah, tidak hanya otomatis menyangkal sebagai putusan Tuhan. Terlalu enak bagi hakim kalau masih diperlakukan seperti hakim 1000 tahun lalu!

    Sekarang jaman keterbukaan dan partisipasi publik secara luas, sehingga kebenaran dalam soal apapun bisa dicapai bersama publik yang luas dari segala macam lapangan ilmu dan profesi. Sudah mungkin mendapatkan kesimpulan yang benar dalam banyak soal, juga dalam soal keputusan hakim. Semua (publik) sudah paham betul bahwa keadilan harus mengandung kebenaran. Suatu putusan adalah adil karena benar, bukan karena ‘putusan Tuhan’. Dan kebenaran harus diuji secara akademis.

    Yang lebih menyolok lagi ialah bahwa hakim-hakim yang memutuskan keadilan Ahok, bukan dituntut kebenaran ilmiahnya, malah sudah dinaikkan pangkatnya atau dipromosi. Ini karena jasanya menjatuhkan hukuman atas Ahok atas dasar ‘putusan Tuhan’ itu.
    Sekarang sudah waktunya mengingkatkan putusan Tuhan’ itu menjadi keputusan yang ILMIAH, artinya keputusan Benar. Hakim harus berani dan bisa mempertanggung jawabkan keadilannya, diuji kebenarannya. Tidak mungkin dunia meneruskan tradisi keadilan ribuan tahun lalu. Tiap manusia harus bisa mempertanggung-jawabkan keputusannya, jangan ada pengecualian karena dari dulu dianggap wakil Tuhan. Perubahan sudah waktunya.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.