Kolom Eko Kuntadhi: SAYA PERNAH BERTEPUK TANGAN UNTUK AMIEN RAIS

“Kita boleh menerima pemberian uang Rp 100 ribu. Tapi kalau diberi Rp 100 juta, kita harus bertanya dulu dari mana asalnya,” ujar Amien Rais dalam sebuah kesempatan.

Kata-kata itu tentu saja diucapkan sudah lama. Lama sekali. Ketika beliau masin moncreng namanya sebagai tokoh Reformasi.

Saya rasa itu adalah statemen yang gagah. Segagah Pak Amien saat menjadi salah satu pemimpin Gerakan Reformasi menumbangkan Soeharto. Dan saya, pada suatu masa, pernah bertepuk tangan untuk Amien Rais.

Saya bertepuk tangan untuk seorang tokoh yang berani juga anti korupsi. Sebab, korupsi memang kanker ganas yang menggerogoti bangsa ini. Tapi tepuk tangan saya kepada Amien Rais berhenti, begitu dia sebagai Ketua MPR terlihat sangat bernafsu melengserkan Gus Dur. Gus Dur dicopot dari kursi Presiden dengan tuduhan yang sampai sekarang tidak jelas kebenarannya.

Saya kini jadi menyesal pernah bertepuk tangan untuk Amien Rais. Ketika Jaksa KPK dalam persidangan membongkar aliran dana korupsi mantan Menteri Kesehatan. Ternyata, oh, ternyata. Ada aliran yang totalnya Rp 600 juta dari duit hasil korupsi ke rekening Amien Rais.

Apapun dalih yang dipakai oleh Pak Amien untuk menghalau tuduhan itu, mohon maaf, kini saya tidak lagi bertepuk tangan untuknya. Jangankan bertepuk dua tangan. Berrtepuk sebelah tangan saja saya malas.

Sekarang saya malah ingin mengingat sebuah kisah pada Mei 2016 lalu. Ini tentang Mulyadi, seorang petugas kebersihan di Mal Kota Kasablanka, Jakarta. Saat itu dia sedang piket, ketika menemukan seongok tas milik pengunjung yang tertinggal.

Mau tahu isi tas itu? Beberapa dokumen dengan uang kas Rp 100 juta di dalamnya. Tapi Mulyadi tidak ngiler. Tas itu diberikan kepada petugas customer service yang langsung menggumumkan kepada pengunjung tentang tas yang ditemukan Mulyadi.

Padahal Mulyadi bisa saja membawa tas itu pulang. Atau mengambil isinya, lalu meninggalkan tas di tempat semula. Tapi itu tidak dilakukan.




Mulyadi barangkali tidak pernah mendengar kata-kata Amien Rais dulu, yang begitu heroik menjelaskan bagaimana mestinya bersikap jujur dan amanah.

Mulyadi hanya petugas kebersihan Mal, yang mencari nafkah halal untuk keluarganya.

Bahkan ketika atasannya bermaksud menaikkan pangkatnya menjadi supervisor, dia menolak.

“Saya belum siap saja, belum siap semuanya, mental. Belum siap megang amanah yang lebih tinggi. Saya juga nggak mikir ke situ,” tutur Mulyadi.

Nah, malam ini saya ingin bertepuk tangan untuk Mulyadi. Setidaknya bertepuk tangan untuk alasan indahnya ketika dia santai saja mengembalikan uang Rp 100 juta yang ditemukannya itu.

“Ya, kata orangtua, kalau menemukan sesuatu memang harus dikembaliin. Syukur alhamdulillah, buat saya yang penting halal, berkah.”

Lalu, apakah nanti saya akan kembali bertepuk tangan untuk Amien Rais, misalnya, jika dia mengembalikan uang Rp 600 juta yang pernah diterimanya?

Saya tidak tahu. Mungkin nanti, setelah Upin-Ipin masuk SMP, saya baru bisa bertepuk tangan untuk Amien Rais lagi.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.