Kolom Eko Kuntadhi: SUATU SIANG DI DEPOK

Pasangan itu duduk ngegelesot sambil memijit kakinya. Udara panas dan kering. Mereka memilih emperan sebuah toko untuk melepas lelah. Berteduh dari sengatan matahari yang garang. Seorang bayi, mungkin usianya 1 atau 2 tahun, diturunkan dari gendongan. Matanya keliatan sayu. Di pundak ibunya yang masih muda itu terselempang kain batik lusuh yang tadi digunakan untuk menggendong.

Kebetulan saya berdekatan dari tempat mereka istirahat, mencoba menghampiri. Sekedar membuka obrolan di siang yang terik. Tatapan bocah kurus yang lunglai menarik perhatian saya. Sayang, komunikasi kami tidak berjalan baik. Ternyata pasangan ini menderita bisu-tuli. Saya tidak dapat menangkap sama sekali makna suara yang keluar dari mulut yang lelaki. Sedangkan istrinya masih bisa bicara meski sengau dan kacau.




Dengan tambahan bahasa isyarat sekenanya kami pun terlibat obrolan. Dua botol air mineral, susu dalam kemasan, beberapa potong roti dan kue kering saya pesankan untuk mereka. Untung saja ada orang yang bisa dimintakan tolong membeli nasi bungkus, jadi saya bisa makan siang bersama mereka, ikut ngegelesot di emperan toko. Untuk si bocah saya juga mengusahakan dibuatkan bubur susu.

Sambil mengunyah nasi bungkus Warung Tegal pasangan suami istri ini berkisah. Mereka tinggal di rumah kontrakan di daerah Cilodong. Dari pagi berjalan kaki karena bingung jika naik kendaraan umum. Juga untuk menghemat ongkos, katanya. Tujuannya ke Cibubur. Saya sendiri bertemu mereka di daerah Depok.

Jadi, kira-kira, mereka sudah menempuh perjanalanan sekitar 15 kilometer. Kepada saya ditunjukan secarik kertas berisikan sebuah alamat. Saya cuma tersenyum. Dalam soal pengetahuan nama jalan saya memang tergolong payah.

Di Cilodong mereka bekerja sebagai pengumpul barang bekas. Botol bekas dan gelas air mineral, kardus, kertas, atau barang apapun yang masih dianggap berharga. Mendorong gerobak mengais sisa-sisa.

Penghasilannya sekitar Rp 40 ribu sehari. Kalau nasib lagi bagus bisa dapat Rp 70 ribu. Sementara istrinya membantu memilah barang-barang rongsokan. Dengan biaya kontrak rumah Rp 250 sebulan, kebutuhan makan dan biaya lainnya, selama ini mereka merasa cukup-cukup saja.

Masalah terjadi saat anaknya sakit. Bocah kecil itu menderita batuk disertai diare. Bahkan diarenya sampai mengeluarkan darah. Penghasilan mereka yang secuil itupun habis untuk berobat. Karena anaknya sakit, sementara istrinya masih belia dan penderita bisu-tuli, si bapak jadi tidak fokus mencari uang. Pekerjaannya terbengkalai. Hasil pencarian barang bekas jauh berkurang. Saya jadi ingat beberapa teman pasangan muda ketika anaknya pilek sedikit langsung ijin dari kantornya. Kira-kira begitulah kondisi mereka saat anaknya sakit.

Di Cibubur tinggal seorang famili dekatnya. Mereka kesana untuk menitipkan anaknya yang kuyu itu. Mungkin karena familinya itu normal, maksudnya tidak bisu-tuli seperti mereka. Jadi lebih mudah jika membawa bocah itu berobat. Barangkali, pikirnya, dokter tidak bisa menyembuhkan anaknya karena keterbatasan cara komunikasi mereka. Setelah itu mereka akan kembali ke Cilodong. Kembali berkeliling kampung dengan gerobak. Mengais sisa kertas, sampah air mineral dan kardus.

Kepada saya si bapak menunjukan bungkus plastik kecil berisi puyer. Kata mereka, sengaja obat-obat dari Puskesmas itu tidak dihabiskan agar lebih hemat. Jadi jika anaknya sudah agak baikan, mereka memberhentikan pemberian obat. Lalu kalau sakitnya kambuh, masih ada persediaan obat. Padahal biasanya dokter memberikan obat untuk dihabiskan dengan pola minum sesuai aturan. Pikiran yang begitu lugu di tengah himpitan ekonomi, bathin saya.

Siang terus beranjak. Nasi bungkus sudah tandas. Saya menawarkan rokok kepada si bapak. Kemudian bersama menikmatinya sambil memperhatikan lalu-lintas yang berseliweran. Sementara sang istri masih membujuk bocah mungil itu untuk menyuap sedikit lagi sisa bubur susunya.




Sesudah obrolan singkat itu mereka pamit. Melanjutkan perjalanannya. Bocah kecil itu diikatkan ke tubuh si ibu menggunakan kain gendongan. Anak itu seperti pasrah menelungkup di ketiak ibunya. Sisa kain yang menjuntai digunakan untuk menutup bagian kepala anaknya.

Tas dan kantong plastik kembali diangkat. Lantas, setelah bersalaman, mereka meninggalkan saya. Saya memandingi mereka, anak beranak yang berjalan kaki menembus siang. Saya masih sempat melihat tatapan mata bocah itu dari sela-sela kain gendongan.

Untuk sampai ke Cibubur, mungkin mereka harus menempuh jarak 20 kilometer lagi. Cukup jauh. Tawaran saya untuk naik kendaraan umum tidak ditanggapi. Saya paham, mereka kuatir tidak tahu harus berhenti dimana. Sebab untuk kesana harus beberapa kali naik kendaraan.

Siang itu, saya melihat perjuangan pasangan muda demi kesehatan anak yang dicintainya. Membayangkan keresahannya sebagai orangtua. Saya berdoa untuk mereka, sebisanya. Untuk pasangan penderita bisu-tuli itu. Untuk anak yang lunglai dalam kain gendongan.







Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.