Kolom M.U. Ginting: KRIMINALISASI ULAMA vs ULAMA KRIMINAL

“Aksi 96 ini secara umum bertujuan untuk menolak kriminalisasi terhadap ulama,” demikian menurut berita.

Tindakan kriminal atau tidak, semuanya akan ditentukan oleh peraturan hukum yang berlaku. Dari segi hukum, semua punya hak dan kewajiban yang sama, tidak tergantung pada jabatan atau kedudukan seseorang di masyarakat. Menteri, presiden atau ulama, sama di hadapan hukum.

Kalau seorang ulama menghina agama lain dengan mengatakan ‘mana bidan Tuhan Jesus’ atau ‘bakar kuil-kuil Hindu’ atau ‘panca sila Soekarno ketuhanan di pantat’ dsb, tentu tidak patut dibiarkan begitu saja. Publik akan merasa sangat keterlaluan kalau negara atau petugas hukum membiarkan saja hal-hal seperti itu beredar di kalangan publik yang luas.




Lagipula, masyarakat akan gelisah dan merasa tidak aman kalau di dalam satu negeri yang bhinneka ini orang bisa bebas saling menghina kepercayaan lain atau adat istiadat lain atau daerah lain. Kalau menganggap kepercayaan atau adat/ tradisi sendiri selalu lebih benar dari yang lain, munculnya perasaan sovinis yang berlebihan sehingga mengganggu ketentraman dan ketenangan pemeluk agama lain atau adat lain.

Negara patut ambil tindakan tegas untuk menjaga dan memelihara kerukunan dalam masyarakat bhineka ini. Kalau dibiarkan akan terjadi kekacauan atau pecah belah yang memang diinginkan oleh orang luar itu atau pemrakarsa divide and conquer yang umumnya sumbernya ialah pemrakarsa world hegemony itu atau neolib internasional yang mau menjadikan seluruh dunia jadi daerah kolonialnya.

Dalam memperjuangkan Kemerdekaan republik ini, semua suku dan daerah di Indonesia telah berjasa dalam usaha kemerdekaan itu dengan pengorbanan yang sangat tinggi, dengan jiwa raga tanpa pamrih. Setelah kita dapatkan Kemerdekaan, marilah kita nikmati bersama dan bekerja keras bersama bergotongroyong demi membangun ketinggalan kita dari negeri-negeri lain yang sudah jauh meninggalkan kita.




Saling menghina sesama kita jelas adalah usaha pecah belah yang sepertinya dibakar oleh orang luar untuk sekali lagi bisa menaklukkan dan menguasai bangsa ini kembali jadi koloni penguasa luar (sekarang dikenal dengan ‘world hegemony’ neolib internasional). Prof. Chossudovsky dalam analisanya soal global hegemony ini bilang kalau terorisme adalah salah satu senjatanya untuk mencapai cita-cita world hegemony itu. Dua senjata lainnya seperti umum sudah ketahui ialah narkoba dan korupsi.

Untuk apa ‘world hegemony’ itu? Menguasai negeri-negeri lain terutama yang kaya SDA, demi duit, duit . . Duit untuk Power, kembali ke duit lagi . . . Greed and Power.

Berapa dolar mengalir ke dompet neolib yang dihasilkan oleh ISIS? Berapa yang sudah mengalir ke dompet neolib dari tambang Papua yang disedot selama 50 tahun tanpa suara dengan pengalihan isunya pakai teror 3 juta orang pada tahun 1965? Bayangkan 50 tahun!

Masih maukah kita dipecah-belah untuk melapangkan jalan bagi pemrakarsa Greed and Power ini? Cukuplah pengalaman 50 tahun pengerukan SDA!

“Iya, yang pertama negara kita sudah waktunya untuk fokus meningkatkan kesejahteraan bagi semuanya,” kata Pramono di Istana Negara, Jakarta Pusat [Jumat 9/6].

Foto header: Ivo Aurora Widya (vokalis band Left Wing Bali)






Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.