Kolom Panji Asmoro Edan: YANG MISKIN YANG CELAKA

Ramadan telah berlangsung setengah jalan. Bulan puasa pun semakin mendekati masa akhirnya. Di bulan yang dikatakan penuh berkah dan kemuliaan ini mestinya selalu ada harapan terjadi perubahan mentalitas dan perilaku dari insan yang menjalaninya.

Saat hasrat dan nafsu dikendalikan, saat amal kebajikan ditingkatkan dan keberkahan diharapkan, mestinya di bulan penuh rahmat ini mampu memberikan suasana yang lebih tenteram baik kepada diri, tenteram kepada lingkungan dan secara keseluruhan memberi kententeraman kepada negeri.

Tapi mengapa kini di bulan nan suci ini ‘kekeramatannya’ seakan hilang?

Saat saya berjalan ke beberapa tempat masih banyak saya jumpai orang-orang yang gampang marah. Saat saya melihat berita masih banyak kejahatan yang seakan tak sirna dan dilakukan di bulan mulia. Saat saya ‘berada’ di dunia maya masih banyak medsos bercaci maki dan saling hujat di beranda-berandanya yang mengusung platform agama.




Mengapa bisa begitu? Entahlah, saya bukan ahli yang mampu menjawab bagaimana cara mereka menghayati keyakinan spiritualitasnya. Tadinya bulan puasa di tahun ini saya berharap akan dijadikan saat untuk melakukan intropeksi diri bagi umat. Memang intropeksi diri tak harus dilakukan di bulan puasa, tetapi bisa dilakukan setiap saat. Namun, ada satu fenomena tatkala saya dapati semakin banyak anak negeri yang ingin pindah dari negeri ini.

Beberapa kali saya membaca postingan teman-teman Fb yang berdomisili di luar negeri mengekspresikan rasa cintanya kepada Tanah Air. Berbanding terbalik, tak satu-dua pula saya baca orang yang adalah asli anak negeri justru berharap segera pindah dan meninggalkan Tanah Airnya.

Mengapa?

Bisa jadi yang dikhawatirkan mereka, seandainya tidak segera pergi, mereka khawatir dirinya akan berada dalam bahaya. Pertanyaan selanjutnya, bahaya apa yang ditakutkan? Apa bahaya karena terjadinya konflik agama?

Menurut saya, adalah hal yang manusiawi jika orang berupaya menyelamatkan diri dari segala situasi yang dipandang dapat membahayakan jiwa dan raganya. Hanya dalam hati saya bertanya, sudah sebegitu rawankah hidup di negeri ini? Begitu menakutkankah cara orang-orang melaksanakan ibadah agamanya di bumi pertiwi ini, sehingga membuat ada anak bangsa yang ingin pergi meninggalkan tanah tumpah darahnya?

Pengungsi Suriah yang kapalnya mengalami kecelakaan saat menyeludup ke Italy.

Tentu setiap orang berhak memutuskan untuk hidup dimana. Terlebih lagi bagi yang mapan secara finansial. Mereka bisa menuju ke negara mana yang mereka mau. Bagi saya pribadi hidup di daerah atau negara mana pun pasti tetap ada kelebihan dan kekurangan. Karena menurut saya tidak ada satu pun tempat di bumi ini yang utopia. Baik-buruk pasti akan ada. Hanya barangkali intensitas baik-buruknya yang berbeda-beda.

Nah, jika di negeri ini terjadi tragedi, siapakah yang terlebih dahulu mampu menyelamatkan diri meninggalkannya? Yang jelas tentu peluang mencari selamat lebih besar pada kaum berada.

Kita bisa melihat contoh dan membaca kisah orang-orang yang hidup di negara-negara yang dilanda tragedi antar sesama seperti di Suriah, Irak dan Libya. Mereka melepas habis harta bendanya demi selamat dan mengadu peruntungan ke negara-negara pengungsian.

Lalu bagaimana dengan nasib si miskin yang tak berpunya? Hendak lari ke mana? Karena tanpa tragedi pun tetap saja kaum miskin menjadi pihak yang selalu bisa dipaksa. Bukankah ini membuat yang miskin akan menjadi semakin celaka?

Mungkin saya berpikir terlalu jauh. Tapi jika secara jujur memperhatikan situasi semenjak ‘euforia’ keagamaan melanda Indonesia dan ketika agama dijadikan komoditas politik transaksional, kita sebagai saudara sebangsa seperti dimasukkan pada lubang disharmonisasi yang gelap tanpa cahaya. Kita seperti berada dalam kesemuan suasana yang suatu saat ditakutkan akan menjadi prahara.

Kita tentu benci korupsi, kita tentu benci ketidakadilan, tetapi alangkah ironisnya jika kemudian orang juga benci pada suatu ajaran keagamaan karena dianggap membuat orang kehilangan rasionalitas dan logika. Alangkah baiknya kita terus membangun negeri ini. Bukan terpaksa lari karena sebuah tragedi.

Prasangka pribadi ini mungkin timbul karena saya bukan termasuk kaum berada yang melihat segelintir anak bangsa tak lagi merasa nyaman hidup di negaranya. Sedangkan mereka mampu kapan saja ‘lari’ jika di negaranya terjadi bencana. Terlebih bencana karena nafsu angkara manusia.

Semoga hikmah Ramadan senantiasa memberi berkah kesejahteraan dan keselamatan bagi bangsa Indonesia. Negara yang dulu dikenal sebagai surganya toleransi dan keberagaman, serta penduduknya yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.