Kolom Asaaro Lahagu: Taktik Tito Tidak Tangkap Rizieq di Arab, Mengapa?

Rizieq mati-matian membela diri. Ia terus unjuk gigi. Nostalagianya saat menjadi pusat perhatian di atas mobil komando pada aksi 212, terpatri hangat dalam jiwanya. Ia menjadi manusia tersanjung kala itu. AA Gym, Amin Rais, Ahmad Dhani mengekor kemasyurannya. Anies Baswedan, Hary Tanoe dan bahkan tokoh sekelas Prabowo memuji keberaniannya. Hebat.

Sampai kini, Rizieq masih melihat dirinya tinggi, setinggi angkasa. Ia memimpikan dirinya suatu hari disambut jutaan orang. Ayatollah Khomeini, pencetus revolusi Iran, menjadi idolanya. Kata revolusi kerap meluncur dari mulutnya. Ia memimpikan republik Islam di negeri ini. Segala cara pun ia tempuh.

Demi tujuan itu, Rizieq terus menerus menentang pemerintah yang sah. Rizieq merasa kebal hukum. Ia terus melabrak hukum. Ia menista Pancasila, menghina agama lain, suku lain dan bahkan hansip tak berdosa pun dinistakannya. Bukan hanya itu, urusan bawah disenggol Rizieq. Ia ketahuan terlibat chatting pornografi dengan Firza Husein. Kata cabul yang selama ini diserangnya, kini justru menguliti jati dirinya. Ia pun ditetapkan sebagai tersangka. Polisi ternyata tidak silau atas kebesarannya.

Rizieq yang sebelumnya melayang ke angkasa, tiba-tiba terjun menghujam bumi. Rizieq berusaha menghempas badai. Ia dengan licik menyingkir ke Arab. Para pengikutnya mencoba mati-matian membersihkan namanya. Para pendukung, simpatisan, dan pengacara mencoba membelokkan isu. Rizieq adalah korban kriminalisasi. Namun gagal. Malahan bagai air bah, Rizieq semakin dikenal sebagai ulama yang berbuat kriminal.

Lalu ada upaya rekonsiliasi, tetapi tak ada sambutan. Terakhir ada ancaman revolusi, tetapi tak ada gaung. Gatot, Panglima ABRI, ikut menyengat namanya.




“Kalau ada orang bersorban, mengaku ulama atau kiai, tetapi memecah-belah bangsa, merusak Pancasila, itu ulama palsu”. Lalu pengacara Rizieq meminta SP3 yang langsung dijawab polisi: beritahu caranya. SP3 bisa dikeluarkan jika ada alasan logis. Misalnya orang yang telah menjadi tersangka telah meninggal dunia.

Jelas Rizieq dilanda kebingungan. Ia sengaja memancing polisi Indonesia dan kepolisian Arab agar menangkapnya. Rizieq ingin ditangkap di Arab dan dibawa ke Indonesia. Lewat penangkapannya, Rizieq ingin memicu kegaduhan, demo dan amarah para pengikut serta simpatisannya.

Rizieq ingin menjadi pahlawan dengan ribuan papan bunga seperti Ahok.

Itulah sebabnya Rizieq mengumbar fotonya bersama Amin Rais dan para petinggi PKS. Tujuannya agar polisi terpancing. Amin Rais saja yang tidak bisa jalan kaki dari Jakarta ke Yogya bisa bertemu Rizieq dengan mudahnya di Arab. Pun petinggi PKS yang miskin naluri intelijen, bisa berfoto ria dengan Rizieq. Rizieq seolah melecehkan polisi. Namun strategi Rizieq itu sangat mudah dibaca Tito.

Tito tidak terpancing akan strategi Rizieq. Tito hingga kini enggan menangkap Rizieq di Arab sana. Itu buang-buang waktu dan biaya. Malahan polisi mengeluarkan pernyataan: menunda sementara proses kasus Rizieq. Mantap. Bahkan Rizieq justru sebaliknya dipancing untuk pulang sendiri. Kapolda Metro Jaya mengatakan: “Angkat topi bila Rizieq pulang sendiri ke Tanah Air”. Artinya Rizieq akan dibiarkan di Arab. Lalu kalau pulang, baru akan ditangkap.

Agar Rizieq terpancing pulang sendiri, Rizieq diiming-iming permen dari polisi lewat pernyataan terkait berkas Firza.

“Jika tidak cukup bukti, ya SP3,” kata Kapolda Metro Jaya, Irjen M. Iriawan.

Akankah Rizieq terpancing pulang? Atau masuk dalam strategi simalakama Tito? Jika Rizieq pulang ke Tanah Air, Rizieq akan langsung digebuk dengan seabrek kasus hukum. Pintu penjara yang ketigakalinya pun siap menggerogoti semangatnya. Jika bertahan di Arab, maka Rizieq akan pelan-pelan busuk di sana. Berapa lama bertahan di Arab? Berapa lama menyewa hotel? Buah simalakama.

Jika Rizieq bertahan di Arab dan tak segera pulang, Rizieq tidak bisa membersihkan dirinya dari berbagai tuduhan hukum. Dan inilah buah simalakamanya. Pulang takut dipenjara, tidak pulang nama semakin busuk, pengikut semakin lunglai dan resah. Test demo 9 Juni 2017 lalu yang direncanakan dihadiri satu juta orang, ternyata hanya diikuti oleh segelintir orang saja. Dengan dukungan demo seupil itu, jelas membuat Rizieq tak bertaring untuk pulang ke Tanah Air. Jargon Rizieq bahwa ulama sedang dikriminalisasi tak disambut oleh masyarakat dengan turun ke jalan membela ulama.

Senjata persekusi yang menjadi andalan para pengikut Rizieq membungkam pembusukan nama Rizieq, sudah ditumpulkan oleh polisi. Para pelaku persekusi sudah ditindak tegas oleh polisi. Pun senjata Rizieq  terkait bangkitnya PKI di era pemerintahan Jokowi mulai terbukti hanya bualan belaka. Bahkan isu ini pun berangsur-angsur hilang ketika Jokowi dengan tegas menggebuk siapa saja yang ingin membangkitkan PKI.

Jadi, jelas Tito sengaja membuat Rizieq mabuk kebingungan di Arab. Ia dibiarkan untuk putar otak bak mainan spinner di tengah pelariannya di Arab. Sementara itu, pemerintah bersama aparat kepolisian mempunyai waktu untuk menguatkan peran Ormas NU. Banser dan Ansor terlihat terus mengkonsolidasi kekuatan dengan dukungan masyarakat dan pemerintah. Sementara itu ormas FPI dan HTI yang hanya bisa menunggu apa langkah-langkah dari pemerintah, termasuk pembubaran HTI lewat Perpu.

Ketika Banser dan Ansor sudah menguat, maka pemerintah tinggal menunggu waktu yang tepat menggebuk HTI dan FPI hingga tak berkutik. Inilah yang kurang dipahami oleh Rizieq. Rizieq terlihat selain telah makan buah simalakama, ia juga kalah strategi. Rizieq yang baru pulang jika pemerintahan telah berganti pada tahun 2019 mendatang, adalah strategi bunuh diri. Dua tahun menjelang 2019, adalah waktu yang cukup untuk melemahkan moril para pengikut Rizieq. Itupun jika Jokowi kalah pada Pilpres 2019 mendatang. Lalu bagaimana kalau menang lagi?

Rizieq harus menunggu tujuh tahun. Jelas dalam kurun waktu tersebut sudah banyak terobosan yang telah dilakukan pemerintah. Lalu gerakan revolusi yang dicanangkan oleh Rizieq meniru Ayatollah Khomeini untuk mengancam Jokowi, tak mendapat sambutan apapun dari kebanyakan masyarakat selain dari pengikutnya sendiri. Sementara aksi licik PDIP, berhasil membuat DPR hancur lebur ketika berani membuat Pansus angket kepada KPK.




Jadi DPR semakin sulit dipercayai oleh masyarakat jika suatu saat melakukan impeachment kepada pemerintahan Jokowi karena telah busuk oleh hak angket yang dipaksakan oleh Fahri Hamzah. Itulah sebabnya PKB, Demokrat dan PKS tidak ikut-ikutan manufer PDIP yang getol membuat hak angket itu. PDIP pun berhasil membuat Gerinda mulai busuk ketika pada awalnya walk out dari Rapat Paripurna Hak Angket namun kemudian terpaksa menjilat ludah sendiri melalui bergabung dengan panitia hak angket.

Maka, bisa dipastikan, revolusi ala Rizieq adalah mimpi di siang bolong. Pun rekonsiliasi yang dimediasi oleh Yusril Ihra Mahenda hanyalah utopi. Karena Polisi dan pemerintah tidak mundur selangkah pun untuk memproses Rizieq di pengadilan. Sementara jika Rizieq tidak mau pulang, maka besar kemungkinan Rizieq dibiarkan di Arab sana agar pelan-pelan busuk. Dan inilah yang dikehendaki oleh Tito.

Sebetulnya pilihan terbaik bagi Rizieq adalah pulang secepat mungkin ke Indonesia dan menghadapi proses hukum dengan jantan. Tidak ada pilihan terbaik selain itu. Artinya Rizieq harus fight seperti Ahok untuk bertarung di pengadilan dan bukan sibuk mengumbar kata kriminalisasi, rekonsiliasi dan ancaman revolusi.






One thought on “Kolom Asaaro Lahagu: Taktik Tito Tidak Tangkap Rizieq di Arab, Mengapa?

  1. “Kalau ada orang bersorban, mengaku ulama atau kiai, tetapi memecah-belah bangsa, merusak Pancasila, itu ulama palsu”.

    Sudah palsu jadi buron pula. Ulama palsu ini dijuluki pemberani oleh ketum Gerindra Prabowo. Seorang ‘pemberani’ yang takut menghadapi hukum. Beraninya dimana ya?

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.