Kolom Eko Kuntadhi: STATUS

Ada inbox masuk. Isinya sebuah pertanyaan tentang status-status saya. Menurutnya sebagian isi tulisan saya sangat tidak masuk akal. Lebih tepatnya: ngaco. Dia juga bertanya, apakah yang saya ceritakan itu benar-benar terjadi?

Mungkin soal Bambang Kukus dan Abu Kumkum. Atau juga soal status-status saya yang lain yang kadang-kadang ditulis dengan semangat semau-maunya.

Dia menyarankan agar saya menuliskan sesuatu yang lebih bermanfaat untuk orang yang membaca. Bukan status ngasal yang isinya antah-berantah. Setidaknya, menurut dia, ketika orang membaca status saya, mereka bisa memetik pelajaran.




Tentu saja saya berterimakasih atas penilaiannya. Tapi mungkin harapannya rada ketinggian. Manfaat apa yang bisa dipetik dari tulisan orang iseng?

Jadi perlu juga dijelaskan. Pertama, saya bukannya orang yang cocok untuk bikin tulisan bagus-bagus yang isinya menasehati orang lain. Sebab, saya sendiri masih butuh banyak nasehat.

Ke dua, saya bukan guru yang suka memberi pelajaran. Apalagi ustad yang pantas memberi kutbah. Kalau sedang butuh nasehat, saya malah lebih suka membaca tulisan-tulisan orang lain. Atau membaca kisah-kisah inspiratif yang dibagikan via FB, dan setelah membacanya saya jadi seperti diguyur air es : brrrrrr.

Ke tiga, ketika saya menulis, saya hanya menuturkan apa yang lewat di pikiran. Lalu saya menuliskan begitu saja. Sreeet. Saya tidak memikirkan apa tanggapan orang terhadap tulisan itu nantinya. Mau bermanfaat kek, mau nggak kek, itu urusan dia. Bukan urusan saya lagi.

Kalau ada orang yang mengganggap tulisan saya benar dan penuh nasehat, segala resiko atas kesimpulannya itu menjadi tanggungjawab dia sendiri. Saya berlepas tangan dari isi kepalanya. Apalagi kalau ada orang nekad, lalu menganggap status-status saya perlu direnungkan lebih jauh untuk dipetik pelajaran. Percayalah, mereka itu kebangetan.




Sementara, kalau tulisan saya dianggap banyak salah dan banyak ngaconya, itu tandanya dia pembaca yang hati-hati. Pembaca yang membaca sambil berfikir.

Mungkin soal seperti ini juga yang dirasakan Afi. Dia menjadi tokoh tiba-tiba hasil kerja instan dunia maya. Memang, dunia maya membutuhkan tokoh untuk dipuja dan dibully.

Saat dipuja orang senang. Saat dibully ya pasti sakit. Ketika masuk ke dunia maya seperti ini mental pertama yang dibutuhkan adalah kemampuan mengelola segala rasa itu. Intinya jangan baper.

Sebab kita tidak pernah tahu siapa yang membaca status yang kita tuliskan. Dengan latar belakang apa mereka meresponnya.

Intinya ini adalah lokasi obrolan paling bebas dan terbuka. Hanya di sini seorang anak lulusan SMP bisa mendebat seorang profesor secara kurang ajar.

Terlepas dari soal plagiat atau tidak, saya rasa Afi butuh pelajaran gimana caranya biar gak baper. Itu akan sangat menolong mentalnya jika mau terus menulis di akun medsos.

Kalau saya sendiri berharap orang membaca status saya tanpa perlu berfikir panjang. Atau berharap dapat nasihat ini dan itu saat membacanya. Baca saja kalau berminat. Sama seperti ketika Anda mau buang hajat. Gak perlu mikir panjang. Tiba-tiba : plung! Legaaaaa.

Foto header: 2 mahasiswa menikmati cerahnya hari Musim Panas di tepi sebuah sungai yang mengaliri Kota Leiden, Nederland (Foto: ITA APULINA TARIGAN)





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.