Kolom Daud Ginting: BIKINI

Dengar kata “Bikini” apa terlintas di benak anda? Menurut eksiklopedia bebas, Wikipedia bebas Bahasa Indonesia, bikini dua potong pakaian renang wanita. Satu rangkaian dua bulatan untuk menutup buah dada, dan satu lagi celana dalam untuk menutupi bagian bawah wanita.

Apapun yang terlintas di benak anda saat mendengar kata bikini (bukan melihat bikini), terserah anda, karena kebebasan yang kiita miliki hanya berkhayal, imaginasi liar anda jadi domain lingkaran kekuasaan privat tidak bisa diganggu pihak lain.

Lagi pula, yang ingin saya sampaikan dalam hal ini bukan tentang bikini pakaian renang wanita. Bisa saja anda masih ingat, atau sama sekali tidak pernah dengar, Tahun 2016 lalu di Indonesia sempat heboh atas kemunculan mie instan merek “BIKINI”, dengan tag line “REMAS AKU”.




Sudah bisa diprediksi produk makanan ringan Bikini singkatan dari “Bihun Kekinian” di protes dan ditarik dari peredaran karena dianggap tidak edukatif serta rada seksual karena lebel kemasan gambar ilustrasi seorang wanita mengenakan bra dan celana dalam.

Lembaga Konsumen Indonesia getol memprotes agar produk tersebut ditarik dari peredaran. Akhirnya mie instan Bikini hilang dari penjualan online maupun outlet pasar mainstream.

Tanpa niat mendukung apalagi membenarkan, lahirnya produk mie Bikini jadi salah satu contoh trik pemasaran kreatif buah hasil berpikir lateral, atau berpikir lain dari yang lain untuk melakukan diferensiasi produk serta ingin membangun merek (branding) mudah melekat di benak konsumen (top of mind).

Suatu produk unik dan gampang tertancap di bawah alam sadar otak manusia akan booming di pasar, karena memiliki keunggulan komperatif dalam persepsi konsumen. Tetapi, kreatifitas produsen mie instan Bikini dianggap melanggar tata susila, tidak sesuai dengan ajaran moral padahal belum tentu tidak diminati komsumen.

Manusia memang unik dan memiliki dualitas pribadi. Satu sisi sepakat menerima aturan tertentu sebagai ajaran moral untuk ditaati, namun di sisi lain justru paling senang dan tertantang menikmati barang haram.

Atmosfir kehidupan politik bangsa Indonesia saat ini juga sarat dengan manuver maupun intrik unik, lain dari yang lain, suka mengadopsi pikiran aneh dan gampang percaya terhadap suatu keburukan yang dikemas oleh kebohongan. Ironisnya, kebiasaan buruk terpelihara baik dengan cara memutarbalikkan fakta kebenaram hakiki. Segala sesuatu yang dikemas dengan keyakinan bersama menjadi asupan tak terbantahkan, serta didukung secara fundamentalis.

 

Pimred SORA SIRULO (Ita Apulina Tarigan) di tepi sebuah danau tak jauh dari Kantor SORA SIRULO Nederland Mei 2017 barusan (Foto: JUARA R. GINTING)

 

KPK lembaga anti rasuah, diakui memiliki kinerja baik memberantas korupsi tetapi dijadikan musuh. Sepakat Ahok bagus sebagai Gubernur Jakarta tetapi memilih yang penting jangan Ahok jadi Gubernur lagi. Jokowi sejak awal terpilih jadi Presiden Indonesia dijuluki “The Hope” tetapi banyak juga “Hopless”.

Secara historis, orang sukses atau negara maju secara kronologis hanya dapat terwujud bila muncul kemampuan berpikir kreatif, lateral dan inovatif, mampu menciptakan hal baru lain dari yang lain sebagai keunggulan komperatif sehingga mampu leading dalam pertarungan mekanisme pasar.

Namun, entah apa yang salah, di negeri tercinta Indonesia justru perbedaan itu dijadikan musuh bersama, tidak siap menerima keunggulan pihak lain hanya karena terganggu kepentingannya. Tidak terbiasa sepakat untuk tidak sepakat, segala sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya di enyah kan.

Atas nama demokrasi, mengeliminir atau menghancurkan musuh politik dilakukan dengan segala cara tanpa merasa berdosa memanipulasi kebenaran menjadi kebohongan membajak persepsi masyarakat.

Sekali lagi
“Selamat Berpikir Merdeka…!!!”
Taneh Karo Simalem, Juni 2017

Foto header: Di sebuah sungai dekat Kantor SORA SIRULO Nederland (Foto: ITA APULINA TARIGAN)








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.