Kolom Panji Asmoro Edan: LAUT KITA TAK ASIN LAGI?

Garam (berIodium dan berNatrium) masuk ke dalam jenis kebutuhan 9 Bahan Pokok (Sembako) berdasarkan Keputusan Menteri Industri dan Perdagangan No. 115/MPP/Kep/2/1998 tanggal 27 Februari 1998. Mineral yang satu ini juga menjadi bagian dari salah satu sektor ketahanan pangan nasional. Langkanya garam beberapa waktu belakangan membuat Pemerintah Indonesia memutuskan mengimport garam.

Melalui PT. Garam (Persero) milik negara, pemerintah RI menugaskan perusahaan tersebut mendatangkan 75 ribu ton garam konsumsi dari Australia.

Import garam dilakukan demi memenuhi kebutuhan garam dalam negeri sekaligus menstabilkan harganya. Diperkirakan pada 10 Agustus mendatang, garam impor tersebut akan tiba di Indonesia melalui 3 pelabuhan besar yaitu Pelabuhan-pelabuhan Ciwandan (Banten), Tanjung Priok (Jakarta), dan Belawan (Medan).

Sepertinya, langkah yang ditempuh pemerintah demi mengatasi kebutuhan garam dalam negeri tak luput menuai kritik. Sejumlah kalangan menganggap import garam yang dilakukan pemerintah sebagai bentuk ketidakmampuan dalam menangani persoalan garam di Tanah Air. Padahal, Indonesia memiliki bentang pantai kurang lebih 54.716 km.




Para pengkritik pemerintah di media sosial (Medsos) pun turut bereaksi atas import garam tersebut.

“Laut kita tidak lagi asin,” demikianlah sebuah sindiran dari ‘warga net’ yang doyan mengkritik pemerintahan Presiden Joko Widodo.

Tapi, benarkah problematika garam adalah sebuah persoalan sederhana yang harusnya mudah ditangani pemerintah? Mengapa sebuah negara yang dikelilingi laut tidak dapat memenuhi permintaan garamnya sendiri? Padahal usaha pertambakan garam merupakan usaha dengan proses yang relatif cepat dan mudah dalam produksinya.

Begitulah mungkin gambaran pertanyaan secara umum dari para pengkritik. Pertanyaan ini idealnya tentu harus dijawab oleh pemerintah.

Sebagai warga negara yang berusaha mencari tahu sebisanya apa yang menjadi problematika garam nasional dari berbagai sumber, saya ingin sedikit memberi informasi mengenai beberapa hal yang menjadi masalah di sektor ‘pergaraman’ kita.

Dilansir katadata.co.id, Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan mengatakan, harga garam melonjak lantaran produksi garam terganggu akibat curah hujan yang cukup tinggi.

“Ini situasi khusus,” kata dia saat Konferensi Pers di kantornya, Jakarta [Jumat 28/7].

Menurut Nurwan, pemerintah tidak akan melakukan impor lagi bila produksi garam di dalam negeri sudah kembali normal.

Lantas, apakah hanya faktor cuaca yang menyebabkan terganggunya pasokan garam nasional? Dari catatan Indonesia Economic Forum 2016, kebutuhan garam nasional berkisar 3,3 juta ton per tahun, atau hampir dua kali lipat dari jumlah yang dihasilkan oleh pemasok lokal.

Sementara PT Garam baru mampu memproduksi 350.000 ton per tahun garam berkualitas tinggi dari area seluas lebih dari 5.400 hektar. Ini masih jauh dari kemampuan memenuhi permintaan pasar.

Sedangkan produksi garam rakyat normalnya sekitar 1,9 ton per tahun. Itu sebabnya indonesia masih mengimpor garam berkisar 1,6 juta ton setiap tahunnya.

Meski memiliki bentang pantai yang panjang, menurut survey British Geological Survey (BGS) hingga 2012, Indonesia menempati peringkat 37 dari 93 negara produsen garam di dunia.

Kita masih jauh tertinggal dari India yang menempati urutan ke-3. Urutan pertama dan ke dua ditempati masing-masing oleh China dan Amerika Serikat.

Sedangkan menurut data U.S. Geological Survey (USGS), Indonesia belum masuk kategori negara produsen garam karena produksinya masih berada di bawah 1% kebutuhan garam dunia dari total produksi negara-negara penghasil garam.

Pemerintah sendiri terus berupaya mendukung industri garam lokal, yang terakhir dengan peraturan yang melarang impor garam konsumsi melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58/M-DAG/PER/9/2012 . Dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri tersebut pemerintah berharap mendorong permintaan garam dapat diproduksi secara lokal.

Di Indonesia sendiri terdapat beberapa daerah penghasil garam. Daerah penghasil garam umumnya masih didominasi daerah di Pulau Jawa dengan Madura sebagai penghasil garam terbesar.

Terlepas dari masalah teknis dan regulasi birokratis, satu hal yang sering terlupakan yakni dari sisi kultur masyarakat Indonesia sendiri. Meski Indonesia memilki garis pantai terpanjang ke-2 di dunia (setelah Kanada), pertanian garam bukanlah menjadi sektor utama yang digeluti sebagian besar masyarakat pesisir pantai Indonesia. Menjadi nelayan tangkapan dan berusaha di sektor perkebunan masih merupakan profesi utama.

Padahal, menurut Indonesia Economic Forum, Indonesia memiliki luas area yang tersedia untuk ladang garam meliputi: Jawa Barat (3.986 ha), Jawa Tengah (5.658 ha), Jawa Timur (12.197 ha), Nusa Tenggara Barat (1.861 ha), Nusa Tenggara Timur (241 ha), Sulawesi (1.247 ha), dan lainnya (900 ha).

Dengan ketersediaan area yang cukup luas, tentunya kita harus terus mendorong agar pemerintah pusat dan daerah-daerah yang berpotensi menghasilkan garam menggarap sektor tersebut dengan serius dan semaksimal mungkin. Masyarakat yang berprofesi nelayan atau perkebunan yang berada di bantaran pantai dengan potensi garam juga perlu dimotivasi dan dibangun mindsetnya agar mau memversifikasi usahanya sebagai petani/ petambak garam.

Versifikasi yang dilakukan tentu harus didukung dengan pemberian insentif, perlindungan usaha dan dukungan lain kepada ‘calon-calon’ petani garam tersebut. Dengan semakin luasnya sektor pertanian garam rakyat maka tentu akan dapat melengkapi kemampuan produksi perusahaan garam milik pemerintah, sehingga suatu saat kita berharap Indonesia mampu memenuhi kebutuhan garamnya secara mandiri, dan tidak lagi bergantung kepada import.

Jadi, persoalan garam nasional bukanlah persoalan sederhana sebagaimana yang ‘dituduhkan’ para penentang kebijakan pemerintah atas import garam yang dilakukan. Memang benar setiap persoalan yang menyangkut hajat hidup orang banyak beban utamanya ada pada pemerintah. Tetapi, kita juga harus fair menilai bahwa persolan garam bukanlah persolan yang dihadapi oleh pemerintah di masa Presiden Jokowi saat sekarang.

Persoalan garam adalah sebuah persoalan yang dari era pemimpin nasional terdahulu juga masih belum berhasil dituntaskan. Langkah import garam yang dilakukan pemerintah dalam situasi kelangkaan garam rasanya cukup tepat karena dilakukan untuk memenuhi kebutuhan garam bagi masyarakat serta dapat menstabilkan harga garam.

Jika kita mengkritik pemerintah tentu sebaiknya disertakan juga solusi agar pemerintah terbantu lebih cepat mengatasi persolan yang ada. Bukan sekedar pandai mengkritik tapi tiada solusi.

Jadi, siapa bilang laut kita tak asin lagi?

FOTO HEADER: Foto model di pantai. Foto-foto lainnya adalah petani garam di Bali karya Rudi Wisnawa (Dokumentasi SORA SIRULO)











Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.