Kolom Daud Ginting: DASAR OTAK BOHONG

Arief Poyuono wakil ketua Umum Partai Gerindra, setelah dari mulutnya meluncur kalimat “Wajar PDI P sering disamakan dengan PKI” kemudian dengan kesadaran diri sendiri memohon maaf kepada keluarga besar PDI Perjuangan, merupakan salah satu contoh konkrit ketololan seorang tokoh elit politik.

Suka tidak suka, mengucapkan sendiri kemudian meminta maaf sendiri merupakan ekspresi diri sendiri yang dipertontonkan ke ranah publik bahwa dirinya sendiri tidak mampu mengontrol cara berpikirnya, karena rasionalitasnya telah lumpuh dibajak oleh rasa dengki dan benci.

Apa yang terjadi ini, secara kasat mata menjadi salah satu indikator bahwa masih ada elit politik, wakil ketua umum partai lebih mengandalkan sikap menabur rasa benci dan mengundang permusuhan untuk lampiaskan libido politiknya, tidak berpikir dan bertindak berdasarkan data atau fakta, asal ngomong dan ngoceh semau dengkulnya.

Akibatnya, kemudian memohon maaf sebagai bukti paling akurat bahwa memang dia melakukan kesalahan fatal. Tanpa niat mengagitasi tidak mengabulkan permohonan maaf yang disampaikan, sebenarnya bukan permohonan maaf ini yang teramat penting untuk disampaikan.




Walau sudah dimaafkan, tidak ada artinya jika yang meminta maaf itu tidak melakukan perubahan secara sadar (bertobat) terhadap cara berpikirnya (mindset change). Karena apa yang diucapkannya dan apa yang dilakukannya itu merupakan produk pemikirannya.

Cara berpikirnya yang telah mapan itu bukan serta merta begitu saja terjadi, tetapi cara berpikirnya itu tertempa mapan akibat asupan pengetahuan atau indoktrinasi yang diterimanya. Otak manusia itu ibarat gudang pengetahuan dimana berlaku “GIGO” = “Gerbage In Gerbage Out”, apa yang masuk itulah yang keluar.

Otak Arief Puyuono dapat memproduksi ujaran kebencian terhadap PDI Perjuangan memang karena selama ini asupan otaknya memang informasi yang negatif, salah dan tidak berdasarkan fakta, bahkan boleh jadi yang diterima otaknya selama ini melulu berita bohong sehingga kemudian fasih berbuat kebohongan.

Artinya, kesalahan Arief Puyuono ini tidak bisa dinilai hanya kesalahan pribadi atau dirinya sendiri, karena dia bukan masyarakat biasa, dia salah seorang tokoh besar dengan jabatan wakil ketua umum partai politik, sehingga ucapannya itu sudah merupakan wacana buruk yang terpelihara dengan baik di lingkungannya.

Apa yang diucapkan dan dilakukan Arief Poyuono sebagai tokoh politik yang melekat dalam dirinya sudah barang tentu tidak terlepas dari manuver politik.

Kelancangan Arief Puyuono saat ini, menjadi salah satu indikator dan perspektif tingkah laku beberapa politisi pembohong publik, yang sudah terbiasa memutarbalikkan fakta, mengelola kebohongan seakan menjadi sebuah kebenaran demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Kelakuan buruk seperti ini mengidentikkan PDI Perjuangan sama dengan PKI sudah lama terjadi dan diprediksi akan semakin gencar dilakukan sampai menuju Pileg dan Pilpres 2019. Jika masih ada bertanya siapa pihak paling getol menebar kebohongan itu maka dengan mengemukanya kelancangan Arief Poyuono ini maka semakin terang menderang lah dari mana sumber penyebar wacana bohong itu, dan semakin jelas motif terselubung yang ingin diraihnya.

Sikap buruk seperti ini merupakan sebuah ironi karena dilakukan oleh seorang pengurus pusat partai politik nasional yang semestinya lebih memiliki pengetahuan mumpuni, paham konstelasi politik nasional dan paham sejarah politik nasional. Tetapi munculnya masalah ini menjadi bukti nyata masih ada tokoh politik nasional dangkal pengetahuannya tentang partai politik dewasa ini dan minim pengetahuannya tentang bagaimana sesungguhnya PKI itu untuk saat ini.

Kasus minta maaf Arief Puyuono selain dianggap sebagai kecelakaan ceroboh, patut juga disyukuri kemunculannya sebagai sebuah momentum yang tepat membuka tabir kebohongan selama ini. Peristiwa ini kiranya membuka cakrawala publik terhadap sikap dan tindakan kotor tak bermoral seperti ini.




Perlu juga disadari bahwa orang yang suka menebar wacana bohong seperti ini merupakan ekspresi sikap orang yang sebenarnya pecundang, tidak mampu berkompetisi secara sehat maka memili cara dan jalan tidak sehat. Kompetisi Pileg dan Pilpres 2019 ditenggarai akan sengit karena PDI Perjuangan diprediksi akan masih leading plus Kepemimpinan Presiden Jokowi yang lumayan baik akan menjadi akumulasi kekuatan yang dianggap berat untuk disaingi oleh kompetitornya sehingga muncul “Jurus Mabuk” menghalalkan segala cara dari pesaing yang mati akal dan lumpuh kemampuan kreativitasnya.

Kebohongan yang berulangkali dilakukan pihak tertentu ini menunjukkan siapa sebenarnya dirinya, yaitu tidak memiliki kemampuan berkompetisi secara “FAIR PLAY”.





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.