Kolom Eko Kuntadhi: INDONESIA SEMAKIN TERANG. HORE!

Bagaimana jika listrik kita menggunakan energi terbarukan, dengan harga yang jauh lebih murah dari sekarang?

Semalam pertanyaan itu disampaikan Ignatius Jonan. Saya dan beberapa teman berkesempatan diundang Menteri ESDM ini makan malam sambil ngobrol santai. Temanya ngalor ngidul.

Mendengar pertanyaan itu saya terganga. Selama ini saya memahami jika menggunakan sumber energi yang baru, apalagi sifat energi terbarukan, harga jual listrik akan jauh lebih mahal. Tapi, kok, menteri yang satu ini yakin bisa membuat harga jual listrik kita jauh lebih murah?

“Kita punya banyak sumber energi panas bumi,” katanya.

Memang proses eksplorasinya mahal. Tapi jika sudah jalan, biaya produksinya jauh lebih murah dibanding menggunakan batubara atau migas.

Ke dua, energi ini bisa murah kalau rantai mengambil rentenya diputus. Jadi, tidak banyak biaya terbuang untuk mengongkosi kepentingan banyak orang.

“Saya akan serius mengembangkannya. Mungkin nanti 23% pembangkit listrik kita akan menggunakan sumber energi baru. Ini kerja besar untuk rakyat,” ujarnya meyakinkan.




“Anda akan dukung jika pemerintah serius mewujudkan ini?” tanyanya lagi.

Fikiran saya simpel. Sebetulnya rakyat awam tidak terlalu masalah pembangkit listrik menggunakan energi dari mana. Asal listrik tersedia dan murah, itu jauh lebih penting. Soal penggunaan energi terbarukan yang akan membuat lingkungan lebih sehat, kesadaran itu memang masih perlu dibangkitkan.

“Tapi yakin bisa lebih murah ya, pak?” seorang rekan bertanya.

“Indonesia ini kaya energi. Asal dimanfaatkan dengan baik dan dalam prosesnya efisien, pasti bisa lebih murah biaya produksinya dibanding menggunakan minyak.”

Itu intinya. Bisakah memutus rantai inefisiensi itu.

Bicara soal listrik masih ada 250 ribu lebih manusia Indonesia yang saat ini hidupnya dalam gelap gulita. Mereka tersebar di 2.500 desa lebih. Saya membayangkan jika listrik terputus 2 jam saja, kehidupan rasanya berhenti. Produktifitas jadi nol. Lalu bagaimana seorang anak usia 17 tahun yang sejak dia lahir tidak pernah merasakan terangnya bola lampu. Bagaimanakah hidup mereka?

Iya, mereka adalah bagian dari rakyat yang negaranya telah merdeka selama 72 tahun. Boro-boro nonton TV atau kenal medsos. Wong bohlam saja mungkin belum ada dalam kosa kata keseharian mereka.

Tahun ini pemerintah berencana akan membagikan pembangkit listrik mini tenaga surya kepada setiap rumah tangga di wilayah terpencil itu. Memang sih, energi yang dihasilkan tidak besar. Hanya cukup menyalakan empat lampu pijar dan men-charger HP.

 

 

“Tapi dengan adanya lampu waktu produktif mereka akan bertambah. Anak-anak juga bisa belajar lebih baik,” ujar Jonan.

Menurut hitungan Jonan seluruh instalasi listrik tenaga surya itu membutuhkan dana Rp 3 juta per rumah.

“Kita siapkan dari APBN,” ujarnya.

Apa yang difikirkan warga di pelosok itu ketika nanti di rumahnya menempel bola lampu yang menyinari malam yang biasanya gulita? Semoga mereka bersyukur dan tetap bangga menjadi bagian dari Indonesia.

Sementara ada orang yang sejak dulu menikmati listrik dengan biaya disubsidi setiap bulan. Eh, begitu subsidinya dikurangi secuil saja dunia dirasa sudah mau kiamat. Mungkin yang marah bukan mereka yang benar-benar ngalami.

“Mas, kapan ya pemerintah mensubsidi minyak telon?” Abu Kumkum bertanya.

“Nanti, kang. Tunggu Presidennya tembem,” Bambang Kusnadi yang tidak ditanya langsung menyambar.

Saya sih, diam saja sambil memperhatikan laron yang mengitari neon.









Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.