Kolom Joni H. Tarigan: MENYELEWENGKAN KEKUASAAN DAN MEMBOHONGI RAKYAT

Mohon maaf jika mengulas berkaitan hasil pertemuan antara Prabowo dan SBY di Puri Cikeas pada 27 July 2017. Seperti yang dimuat di media, umumnya online, ada pernyataan dari masing- masing tokoh. SBY mengatakan, seperti yang diberitakan di Kompas online: “Kita, kami, harus memastikan bahwa penggunaan kekuasaan oleh para pemegang kekuasaan itu tidak melampui batas, sehingga cross the line (melewati batas), sehingga masuk yang disebut abuse of power (penyimpangan kekuasaan).”

Sedangkan Prabowo, masih diberitakan di Kompas online mengatakan, Presidential Threshold 20% merupakan lelucon politik dan membohongi rakyat.

Kesimpulannya adalah bahwa kedua tokoh ini memandang pemerintahan sekarang ini sudah melampaui batas, alias sewenang-wenang. Pernyataan Prabowo bahkan lebih jelas menuduh pemerintah membohongi rakyat lewat Presidential Threshold yang ditetapkan dalam UU Pemilu yang terbaru.




Saya bukanlah ahli hukum, bukan ahli politik, bukan pula ahli tatanegara. Akan tetapi saya akan mencoba, sebagai pekerja swasta berlatarbelakang pendidikan teknik mesin, untuk melihat kesimpulan yang mengarah kepada pemerintah  yang melakukan penyimpangan kekuasaan bahkan sampai menipu rakyat.

Saya mengajak kita untuk melihat UU No. 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR,DPD, DPRD. Dalam UU tersebut, Pasal 82 tentang Pimpinan DPR dinyatakan bahwa; (1) Pimpinan DPR terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 4 (emmpat) orang wakil ketua yang berasal dari partai politik berdasarkan urutan peroleh kursi terbanyak di DPR; (2) Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak pertama di DPR; (3) Wakil Ketua DPR ialah anggota DPR yang berasal dari partai politik yang memperoleh kursi terbanyak ke dua, ketiga , ke empat, dan ke lima.

Setelah membaca UU tersebut, seakarang mari kita lihat lagi UU No. 17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, DPR. Pada Pasal 84, Tentang Pimpinan DPR, dinyatakan : (1) Pimipinan DPR terdiri atas 1 (satu) ketua dan 4 (empat) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPR; (2) Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat-1 dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap; (3) Bakal calon pimpinan  DPR berasal dari frkasi dan disampaikandalam rapat paripurna DPR.

Apa yang ingin saya sampaikan sangat jelas. Jelas sekali ada perubahan yang terjadi berkaitan dengan mekanisme pemilihan pimpinan di DPR. Tahun 2009 pimpinan DPR masih ditentukan berdasarkan urutan perolehan kursi. Akan tetapi, pada Pemilu 2014 mekanisme pemilihan tersebut berubah tidak lagi berdasarkan urutan perolehan kursi. Perubahan ini tentu dengan merubah undang-undang, sehingga UU No.27 Tahun 2009 dirubah menjadi UU No.17 Tahun 2014. Secara meknisme perubahan, pergantian UU ini tentu sesuai dengan prosedur, yakni disetujui oleh pemerintah dan legeslatif.

Faktanya adalah kedua UU tersebut dijalankan ketika SBY menjabat Presiden RI. Pertanyaanny, mengapa UU No.27 Tahun 2009 tidak direvisi pada tahun 2009?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat hasil Pemilu 2009 yang dimenangkan oleh Partai Demokrat, yang mengusung SBY-Boediono dengan perolehan suara ketika itu adalah 60.8% (Wikipedia). Kemudian kita lihat juga hasil Pemilu 2014 dimana pemenangnya adalah Koalisi Indonesia Hebat (PDIP, PKB, NasDem, Hanura, PKPI) yang mengusung Joko Widodo-Jusuf Kalla. Koalisi Indonesia Hebat memenangkan pemilihan dengan perolehan suara 53.12% (Wikipedia).  Koalisi Merah Putih adalah Gerindra, Golkar, PAN, PKS, PPP, PBB, dan Demokrat.

Data pemenang Pemilu pada tahun 2009 dan 2014 dapat kita jadikan bahan untuk menjawab pertanyaan mengapa revisi baru dilakukan pada tahun 2014.

Pada tahun 2009 tentu perubahan tidak diperlukan, karena Demokrat sebagai pemenang sangat memerlukan UU tersebut, sehingga Demokrat dapat memiliki kursi pimpinan DPR. Sekalipun oposisi ingin merevisi UU itu, tentu tidak akan berhasil karena tidak punya kekuatan di DPR apalagi di pemerintahan.



Pemilu 2014 yang mengejutkan membuat situasi berubah. KMP yang kalah tidak tinggal diam dalam kekalahan. Tidak terima dengan kekalahan itu, mereka dengan gerakan cepat merubah UU No.27 Tahun 2009 menjadi UU No.17 Tahun 2014.  Di sini, Partai Demokrat sangat berperan penting melalui SBY. Tanpa SBY, sebagai Presiden RI, revisi UU tersebut tidak akan terlaksana. Akibatnya PDIP dan mitranya dalam Koalisi Indonesia Hebat tidak bisa menduduki pimpinan DPR walau menjadi pemenang dari Pemilu 2014.

Apa yang bisa kita lihat adalah UU itu begitu mudahnya diotak-atik demi kepentingan partai atau bahkan kepentingan pribadi atau kelompok melalui partai. Dari fakta ini juga maka pertanyaanya kemudian adalah:

“SIAPA SEBENARNYA YANG TELAH MENYELEWENGKAN KEKUASAAN DAN MEMBOHONGI RAKYAT?!”








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.