Kolom Daud Ginting: DASAR MEMANG PENABUR KEBENCIAN

Arief Poyuono yang sebelumnya menyebut PDI Perjuangan identik dengan PKI tiba-tiba mengaku ada kedekatan bathin dengan PDI Perjuangan karena ayahnya merupakan kader PNI. Nah, ketahuan lagi “bloon”nya, kan? Apa yang diucapkannya menunjukkan betapa dangkalnya pengetahuan Arief Poyuono Wakil Ketua Umum Partai Gerindra ini.

Kalau memang Arif Poyuono mengaku bahwa bapaknya kader PNI, justru Poyuono sedikit banyaknya mesti paham sejarah kepartaian di Indonesia terutama sebagai anak seorang kader PNI Poyuono seharusnya paham bahwa PDI Perjuangan merupakan partai yang mengusung idiologi Pancasila 1 Juni 1945, dan mesti paham bagaimana sikap nasionalisme yang di usung PDI Perjuangan.

PDI Perjuangan sebagai partai yang nasionalis sangat menjungjung tinggi nilai-nilai pluralisme serta sangat menghargai jasa para founding father bangsa Indonesia.

Jika Arif Poyuono mengaku sebagai anak seorang kader PNI, dia tau bahwa orangtuanya paham persis idiologi perjuangan PNI maupun PDI Perjuangan, tapi nyatanya Poyuono memiliki mulut latah, asal ucap yang kemudian menunjukkan ke publik bagaimana sebenarnya kualitasnya, yaitu “Tak Bermutu”.

Kenapa bisa sejeblok ini mutu Arif Poyuono padahal memiliki jabatan sebagai wakil ketua umum salah satu partai politik? Itu bisa terjadi karena Poyuono tidak lagi mengandalkan logika, kerangka berpikirnya (mindset) telah lumpuh atau tercemar oleh rasa dengki berlebihan serta sudah terbiasa menabur rasa kebencian karena dia selama ini hidup di lingkungan orang yang memang senang melakukan kebohongan untuk mendeskreditkan orang lain.

Fenomena senang memutarbalikkan fakta dan mempublikasikan kebohongan untuk menjelekkan pihak lain merupakan salah satu cara berpolitik sedang digemari sebagian pihak di negeri ini. Kebohongan itu disampaikan berulang-ulang ke publik dengan harapan lama-lama hal itu akan dianggap suatu kebenaran oleh pendengarnya, baik melalui cara provokasi maupun agitasi. Metode seperti itulah yang tidak memdukung proses pendidikan politik yang baik buat masyarakat karena penun dengan intrik penipuan dan ketidakjujuran, tidak etis serta menjerumuskan.

Keikutsertaan Arif Poyuono dalam metode berpolitik kotor seperti ini yang mesti dienyahkan dan dilenyapkan, sehingga permintaan maaf Poyuono tidak cukup sebagai alasan menghentikan kecerobohannya. Sebagai manusia sosial permohonan maaf Poyuono boleh diterima, tetapi proses pemberian ganjaran yang sepadan untuk menghentikan gaya berpolitik kotor dan keji yang sedang berkembang biak harus menjadi tujuan utama dalam menyelesaikan masalah ini agar kedepannya tidak ada lagi pihak yang gampang menyampaikan berita bohong untuk menghancurkan pihak lain.

Masih segar dalam ingatan kita bagaimana dalam berbagai Pilkada yang pernah dilakukan di Indonesia cara menebar berita bohong seperti ini sudah sering dilakukan secara masif, bahkan penuh unsur intimidasi. Hal seperti ini yang perlu dihindarkan jauh-jauh menjelang Pemilu 2019 terutama dalam rangka Pemilihan Presiden 2019.



Sikap menghalalkan segala cara, terutama menebar berita bohong tidak berdasarkan fakta merupakan gambaran para politisi itu sedang dalam kondisi “Kalut” atau tidak rasional dan takut berlebihan berkompetisi secara fair play. Politisi pembohong seperti ini sebagai indikator mereka sedang kalab, tidak mau memberi pengakuan terhadap kinerja pemimpin saat ini yang sedang bekerja dengan baik. Mereka tidak mampu adu program yang lebih baik sehingga memilih mencari-cari keburukan pemerintah, ironisnya keburukan itu di buat-buat sesuai selera mereka, bahkan kejelekan yang diungkit hanya berdasarkan khayalan mereka, mereka membayangkan kebohongan mereka tak ubahnya sebuah kenyataan, itulah namanya “Ilusi”.

Kesukaan ber-ilusi oleh sebagian tokoh politik ini yang mesti diredam untuk menjaga proses demokratisasi di negeri ini berjalan sebagaimana mestinya. Kekonyolan Arif ini harus menjadi entry point membasmi tingkah laku para politisi yang suka “ngoceh” dan bicara tanpa fakta karena akan menjadi contoh buruk bagi generasi yang akan datang serta menghambat kematangan berdemokrasi.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.