Upaya Hukum Putusan Bebas (Vrijspraak)

Oleh: Uratta Ginting SH

 

KUHAP lahir masih berusia muda (dua tahun setelah 1981), putusan (vonis) bebas telah menjadi polemik, karena dalam KUHAP ada larangan pasal 244 KUHAP tidak dibenarkan melakukan upaya hukum kasasi oleh siapapun. Tertutup untuk vonis bebas (vrijspraak). Akan tetapi, dalam prakteknya putusan bebas ternyata belum final. Mahkamah Agung sendiri sebagai peradilan tertinggi di negeri ini telah menerobos larangan KUHAP tersebut.

Dalam kasus korupsi Bank Bumi Daya dengan terdakwa Raden Sanson Natalegawa, adalah merupakan kasus pertama di Indonesia yang diputus bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 10 Pebruari 1982. MA atas permohonan kasasi jaksa, membatalkan putusan bebas PN Jakarta Pusat dan menjatuhkan pidana 2 tahun 6 bulan terhadap terdakwa. Masih Banyak lagi kasus serupa, diantaranya Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamuddin, Walikota Bekasi Mochtar Muhammad yang semula telah divonis bebas oleh pengadilan tingkat pertama, MA kemudian menjatuhkan putusan 6 tahun penjara.

Berkaitan dengan larangan pasal 244 KUHAP, larangan dalam pasal 67 KUHAP adalah lebih tegas dan pasti, bahwa terhadap putusan bebas adalah mutlak dengan dalil apapun tidak dibenarkan melakukan upaya hukum banding ke pengadilan tinggi.




Apa yang sebenarnya terjadi dengan putusan bebas, sedang pasal 244 KUHAP telah memberi rumusan yang tegas, berbunyi, “Terhadap putusan perkara pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung, terdakwa atau penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas.”

Dari satu sisi memang terlihat seperti tidak ada jaminan kepastian hukum yang adil bagi terdakwa karena awalnya telah dibebaskan pengadilan (judex facti) dari jerat hukum, kemudian MA pada akhirnya menjatuhkan pidana terhadap terdakwa.

Apa Dasar Pemikiran MA?

MA mengambil sikap menerobos larangan pasal 244 KUHAP atas permohonan kasasi jaksa tentu tidak pula dilakukan secara gegabah, tanpa dasar dan argumen hukum yang jelas. Terobosan dimaksud jika dimaknai sebagai upaya memberantas korupsi yang semakin merebak di negeri ini patut disambut positif oleh semua kalangan.

Demikian juga MA dalam merespon pesan Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 28 Maret 2013 No. 114/PUU-X/2012 perlu juga menjadi renungan para hakim agar tidak terlalu gampang menjatuhkan vonis bebas karena telah membatalkan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam pasal 244 KUHAP dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.”

Dengan demikian, vonis bebas kini leluasa dikoreksi oleh MA. Lagi pula, jika vonis bebas adalah final sebagai putusan pertama dan terakhir, dikhawatirkan putusan bebas tersebut akan berlaku sebagai amunisi bagi terdakwa sehingga cara apapun ditempuh agar dirinya bebas dari jerat hukum.

Oleh karena itu, Pemerintah (ketika itu Menteri Kehakiman RI) dalam keputusannya No. M.14 PW.07.03 Tahun 1983, tgl. 10 Desember 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP (TPP KUHAP) pada butir 19 dicantumkan : “Terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, demi hukum, keadilan dan kebenaran, terhadap putusan bebas dapat mintakan kasasi. Hal ini akan dijadikan yurisprudensi.”

Berdasarkan surat keputusan tersebut di atas, Pemerintah menyerahkan sepenuhnya persoalan putusan bebas itu kepada Mahkamah Agung untuk menciptakan yurisprudensi. Yurisprudensi pertama khusus putusan bebas adalah putusan MA No. 275 K/Pid/1983, tgl. 15 Desember 1983 An. Raden Sason Natalegawa terdakwa dalam kasus korupsi Bank Bumi Daya dijatuhi pidana 2 tahun 6 bulan yang semula divonis bebas oleh PN Jakarta Pusat.

Sejak putusan Mahkamah Agung itu pula dalam praktek dikenal dua istilah putusan bebas murni dan tidak murni yang selalu mewarnai irah-irah putusan MA. Terhadap semua putusan bebas produk pengadilan negeri apabila jaksa dapat membuktikan putusan tidak murni, maka terbuka kesempatan untuk melakukan upaya hukum kasasi, kecuali terhadap putusan yang sifatnya bebas murni. Untuk menilai suatu putusan bebas murni atau tidak murni, jika terlalu mengedepankan unsur subjektif, rasanya untuk mengejar kebenaran materil masih terlalu rumit dan membutuhkan waktu yang panjang.

Putusan Bebas

Putusan bebas pasal 191 ayat (1) KUHAP menegaskan, “Jika pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan terdakwa atas pebuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, maka terdakwa diputus bebas.”

Tampaknya apa yang ditegaskan oleh pasal 191 ayat (1) KUHAP seolah-olah terdakwa bebas hanya karena kesalahannya tidak terbukti di persidangan. Dengan melihat penjelasan resmi pasal tersebut baru dapat dipahami secara pasti bahwa yang dimaksud dengan “perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti sah dan menyakinkan” adalah tidak cukup terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti yang sah.

Jadi, baik kesalahan terdakwa atau perbuatan yang didakwakan tidak terbukti berdasarkan alat bukti pasal 184 KUHAP sesuai dengan keyakinan hakim atau hakim dalam hal ini misalnya ragu, maka terdakwa wajib diputus bebas (pasal 183 KUHAP).

Hal demikian inilah disebut pembebasan yang murni sifatnya (vrijspraak) sesuai dengan bunyi pasal 244 KUHAP, sehingga permohonan kasasi jaksa harus dinyatakan tidak dapat diterima. Berbeda halnya, apabila pembebasan itu didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana yang disebutkan dalam dakwaan, bukan didasarkan tidak terbuktinya unsur-nsur pasal yang didakwakan jaksa; bahkan hakim telah melampaui batas kewenangannya (menurut kompentensi absolut dan relatif) dan unsur-unsur nonjuridis misalnya turut dibuat menjadi pertimbangan dalam putusannya. Hal demikian disebut putusan bebas tidak murni dan dapat dilakukan upaya hukum kasasi.




Menurut Harun M. Husein SH (1991:116) secara formal bunyi putusan adalah pembebasan tapi secara material sesungguhnya putusan itu berisi pelepasan dari segala tuntutan hukum.

Oleh karena itu, meskipun jaksa menempuh upaya hukum dengan alasan putusan bebas tidak murni, terdakwa bila berada dalam tahanan wajib dikeluarkan dari tahanan sejak putusan diucapkan tanpa harus menunggu putusan Mahkamah Agung (Varia Peradilan, No. 345 Agustus 2014, hl.171).

Persoalan penting yang perlu menjadi renungan kita adalah, apakah sudah tepat dijadikan dasar hukum TPP KUHAP yang diterbitkan oleh Menteri Kehakiman dan yurisprudensi sebagai sumber hukum untuk tidak mematuhi larangan pasal 244 KUHAP?

Ini penting mengingat TAP MPR RI No. III Tahun 2000 telah menentukan sumber hukum yang berlaku di Indonesia, yaitu : 1. UUD 1945, 2. Ketetapan MPR, 3. UU, 4. Perpu, 5. PP, 6. Keppres yang bersifat mengatur, dan 7. Perda. Sedangkan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak termasuk dalam TAP MPR tersebut. Apalagi menurut hakim agung Artidjo Alkostar di Jakarta, 20 Oktober 2014 lalu mengatakan, bebas murni atau tidak murni sudah tidak relevan lagi dipertimbangkan karena semua vonis bebas dikatakan boleh kasasi. Tidak ada lagi perbedaan putusan bebas murni atau tidak murni. Format upaya hukum jaksa tidak ada lagi permohonan kasasi dinyatakan tidak dapat diterima (Hukum Online.com).

Penjelasan Artidjo tentang perubahan format kasasi atas vonis bebas barangkali adalah suatu bentuk respon dari Putusan Mahkamah Konstitusi tanggal 28 Maret 2013 No. 114/PUU-X/2012 yang telah membatalkan frasa “kecuali terhadap putusan bebas” dalam pasal 244 KUHAP bertentangan dengan UUD 1945. Kalau terobosan demi terobosan harus dilakukan juga untuk melawan kejahatan korupsi di tanah air, patut disambut baik oleh semua kalangan. Namun, penegakan hukum yang bagaimana hendak dituju kalau semua kasus pidana yang divonis bebas seperti sudah menjadi suatu kewajiban melakukan upaya hukum kasasi ke MA.

Seandainya, seorang ibu rumah tangga ditangkap, ditahan penyidik Polri karena suaminya diduga kuat seorang agen togel. Karena sang suami terkesan sangat licin menghindar dari sergapan polisi. Isteri yang tak tahu apa-apa malah diadili di pengadilan sebagai terdakwa agen togel, setelah beberapa kali menjalani pemeriksaan sidang akhirnya pengadilan memutus bebas karena hal-hal yang terbukti dipersidangan hanya bukti rekayasa saja.

Putusan bebas dalam perkara a quo jika jaksa melakukan upaya hukum kasasi. Terdakwa sudah tentu merasa tidak ada jaminan kepastian hukum yang adil, apalagi harus menunggu putusan MA terdakwa dibiarkan masih tetap mendekam dalam tahanan.

Penulis adalah Advokat, tinggal di Medan.
E-Mail: [email protected]





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.