Kolom Andi Safiah: MENGAPA SAYA MEMILIH JALAN MURTAD

Mungkin karena terlahir di negara yang mayoritas muslim sehingga mau atau tidak mau, suka atau tidak suka istilah Islami menjadi makanan setiap saat. Mulai dari hal yang paling umum seperti cerita surga dan neraka, cerita nabi-nabi, hingga vonis mengerikan bagi mereka yang keluar dari Islam (murtad).

Pada awalnya, jelas bahwa Islam adalah pedoman hidup terbaik dalam kesadaran saya, karena islam mengajarkan hampir semuanya. Mulai dari berdoa sebelum makan, mengucapkan salam pada sesama muslim, hingga soal-soal sepele seperti masuk toilet sekalipun ada aturannya.

Artinya, sebagai seorang muslim yang baik, wajib taat pada apapun yang diatur dalam ajaran Islam. Bagi mereka yang tidak taat jelas akan mendapatkan vonis kelak, baik di dunia maupun di akhirat. Inilah yang membuat saya secara pribadi mencoba sekuat tenaga menjalankan hukum dan rukun yang ada dalam Islam, walaupun rasanya begitu berat secara alamiah.

Satu contoh sederhana yang masih melekat kuat dalam kesadaran saya adalah soal sholat. Bagi ajaran Islam, sholat adalah tiang agama yang tidak bisa ditinggalkan oleh alasan apapun. Sholat adalah simbol kesalehan dalam Islam. Mereka yang rajin sholat secara umum bisa dilihat dari warna jidatnya yang berbeda dari jidat muslim biasa. Semakin berwarna semakin terlihat alim, begitu pendapat umum yang biasa saya dengarkan.

Namun, bagi saya, menghitamkan jidat bukanlah tujuan utama. Saya rajin sholat justru bukan karena itu, tapi karena alasan-alasan “terpaksa” itu yang utama, alasannya sederhana agar orang-orang di sekitar saya melihat bahwa saya adalah muslim yang “taat”. Padahal ketaatan itu jelas saya sadari sebagai “keterpaksaan yang menyiksa diri sendiri”.

Apalah daya karena masyarakat kita memang terbiasa dengan hal-hal yang sifatnya simbolis seremonial. Mereka doyan menipu diri sendiri untuk sesuatu yang mereka sebut “iman”. Jika mau jujur, bahwa kebohongan yang saya kerjakan selama hampir separuh hidup saya adalah kebohongan yang saya sadari, cuman karena alasan-alasan “takut” “tidak enak” “gengsi” dan berbagai turunan dari penyakit mental serius.

Maka sekali lagi saya harus tampil seperti manusia beriman (fake) pada umumnya. Hanya dengan bergaya fake seperti itu maka kamu akan bisa diterima dalam komunitas, atau lingkungan dimana kamu hidup. Jika tidak, maka hasilnya akan sebaliknya.

Inilah salah satu alasan mendasar mengapa menjadi murtad bagi saya adalah pilihan rasional yang penuh dengan resiko sosial. Mulai dari kehilangan keluarga, hingga kehilangan identitas kemanusiaan yang paling asasi. Tapi, satu hal yang saya rasakan sebagai manusia adalah kebebasan yang paling alamiah. Akar-akar penyakit mental utama yaitu kebohongan menjadi musuh utama mereka-mereka yang telah murtad secara total. Dari semua itu, saya punya definisi murtad secara personal, bahwa murtad adalah jalan pencerahan dan hanya mereka yang berani meninggalkan semuanya yang bisa bertemu dengan kemurtadan.

Karena ini adalah awal dari semuanya. Realitas bagi kesadaran saya menjadi sangat sederhana, bahwa secara alamiah manusia akan selalu melakukan hal-hal yang keliru. Juga secara alamiah melakukan hal-hal yang baik, namun untuk melihat orang-orang yang tampak baik melakukan kejahatan serius, memang dibutuhkan satu element mematikan.

Apa itu? Keimanan buta dalam agama.

Terakhir, agar catatan sederhana ini tidak disalahpahami sebagai propaganda yang biasa dialamatkan pada mereka yang sudah tercerahkan secara alamiah maka dengan ini saya akan menjelaskan dengan argument yang sederhana; bahwa manusia siapapun dia memiliki yang namanya “Hak Asasi”. Artinya, dia bebas untuk “percaya” atau “tidak percaya” sesuai dengan pikiran dan kesadaran nuraninya pada apapun yang hendak dia percaya.

Ingat, siapapun tidak punya hak untuk mengatur wilayah privasi itu. Jangankan negara, Tuhan pun tidak punya hak. Untuk itulah, manusia murtad atau manusia yang beriman punya hak yang sama untuk menyampaikan opininya dalam ruang-ruang demokrasi yang sehat seperti Facebook karena, sekali lagi, beriman dan murtad adalah soal level kesadaran manusia. Ada yang bisa hidup dengan sederhana, ada pula yang hidup dengan berbagai “umbul-umbul”. Tapi, inti dari semua itu adalah sebagai manusia yang hidup dalam sebuah wilayah hukum bernama Indonesia.

Maka, tunduk pada konstitusi adalah sebuah kewajiban asasi manusia, namun jika konstitusinya menindas manusia. Manusia waras yang dasar wajib juga untuk melakukan perlawanan. Pnjajahan di atas dunia dalam bentuk apapun harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan, secara kebetulan pula, bangsa Indonesia menganut paham itu secara terbuka.




Jadi, murtadlah dengan cara yang elegant. Jelaskan kepada dunia bahwa murtad bukanlah sebuah kejahatan, karena mereka yang murtad biasanya sadar bahwa membunuh adalah pekerjaan nista lagi hina dina. Murtadin elegant bagi saya adalah mereka yang selalu membawa berita gembira pada seluruh umat manusia. Salah satu contoh murtadin elegant yang menjadi sumber inspirasi saya adalah Albert Einstein. Dia tidak pernah mau disebut sebagai seorang yang beriman Jahudi, karena dia sadar bahwa manusia pada dasarnya sama saja.

Jahudi, Islam, Kristen, Buddha, Hindu bukanlah identitas alamiah manusia, tapi identitas yang diciptakan oleh manusia sendiri. Jadi, prinsipnya tidak alamiah. Dari sinilah menjadi seorang murtadin menjadi menemukan esensinya, dan dalam Islam seorang murtadin jelas akan mendapatkan vonis mengerikan baik di dunia maupun di akhirat. Tapi, ancaman itu tidak membuat saya takut untuk menjadi murtadin elegant.

#Itusaja!








One thought on “Kolom Andi Safiah: MENGAPA SAYA MEMILIH JALAN MURTAD

  1. Mereka doyan menipu diri sendiri untuk sesuatu yang mereka sebut “iman”. Jika mau jujur, bahwa kebohongan yang saya kerjakan selama hampir separuh hidup saya adalah kebohongan yang saya sadari, cuman karena alasan-alasan “takut” “tidak enak” “gengsi” dan berbagai turunan dari penyakit mental serius.
    Sungguh betul memang kalau sholat dilakukan atas dasar ini terlalu munafiklah, walaupun terjadi secara umum tanpa disedari. Karena kepercayaan atau tidak percaya adalah hak azasi tiap orang maka, betul juga kalau murtad adalah hak azasi, sama halnya dengan mengganti atau mengubah kepercayaan dari kristen ke islam atau dari kristen/islam kembali ke pemena kepercayaan tradisional Karo yang sudah ada sejak 7000 tahun lalu, dimana disitu termasuk juga way of thinking dan way of life komuniti tua Karo terbentuk lewat proses waktu dan kehiupan yang sangat panjang jauh lebih lama dari munculnya kristen atau islam.
    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.