Kolom Eko Kuntadhi: URANG BOGOR, MULAI MELAWAN!

Di Bogor kemarin pagi [Selasa 29/8], ribuan umat Islam melakukan demonstrasi. Mereka menuntut Walikota untuk mencabut IMB sebuah rumah ibadah.

Apakah mereka memprotes berdirinya gereja? Bukan. Mereka hadir untuk memprotes berdirinya Masjid Ahmad bin Hanbal di Bogor Utara. Masjid ini ditenggarai sebagai tempat berkumpulnya kelompok Wahabi.

Masyarakat yang memprotes rupanya sudah menahan emosi lama. Kita tahu selama ini kaum Wahabi memang terus memprovokasi cara beribadah umat Islam Indonesia yang kebanyakan beraliran Ahlul Sunnah Wal Jamaah.

Dalam banyak kesempatan para ustad Wahabi membid’ah-bid’ahkan keyakinan umat Islam Indonesia. Mereka menuduh ziarah ke makam sebagai syirik. Menuduh tahlilan sebagai bid’ah dan dosa besar. Menuduh banyak tradisi keagamaan khas NU sebagai sesat.

Bahkan kaum agama cingkrang seringkali menyerang kyai-kyai NU dengan tudahan tidak berdasar. Ada yang dengan kasar menistakan Kyai Said Aqil Siradj. Ada yang menuding Gus Mus. Ada yang melecehkan Habib Quraish Shihab.




Mulanya tudingan dan perdebatan itu dianggap biasa saja. Tapi ketika hal itu dilakukan terus menerus bahkan dengan melecehkan simbol-simbol yang dihormati masyarakat Islam tradisonal, pasti diam-diam dalam diri masyarakat akan menumpuk juga kekesalan mereka. Memuncak juga emosinya.

Apalagi di lokasi tempat masjid berdiri sudah ada dua masjid besar lainnya yang selama ini menampung jemaah dari berbagai kalangan.

“Berdirinya masjid ini akan membawa perpecahan umat,” ujar seorang demonstran.

Saya amat yakin isu demonstrasi ini akan digoreng bahwa yang demonstrasi itu anti Islam. Buktinya mereka tidak sepakat dengan berdirinya sebuah masjid. Gorengan ini akan dijadikan bahan provokasi untuk menajamkan konflik horisontal.

Padahal demo itu menurut saya adalah puncak dari kesebelan yang sekian lama dipendam umat Islam mayoritas Indonesia. Mereka selama ini sebel dengan ustad-ustad baru yang lagaknya petantang-petenteng, memberi tausiyah sambil teriak-teriak membid’ahkan tradisi agama yang sudah sekian lama diyakini dan dijalani masyarakat. Ustad-ustad itu dengan bacot nyinyir menuding berbagai amalan keagamaan yang biasa dijalankan rakyat sebagai sesat, syirik dan kurafat.

Mulanya kaum tradisional yang dituding selama ini diam saja. Mereka hanya memendam setiap penistaan pada keyakinannya. Tapi jika terus menerus disesat-sesatkan lama-lama gak tahan juga. Psikologi itulah yang akhirnya membangkitkan warga untuk melawan.

Apalagi ditambah kaum Wahabi ini biasanya sejalan dengan para pengusung khilafah. Jadi, selain menyinggung tradisi keagamaan lokal, perlawanan seperti ini makin dikuatkan dengan tekad bela negara. Semangat itulah yang menyatu.

Tapi, saya yakin, kasus ini akan digoreng ke sana ke mari. Seperti biasa, mereka akan menuding penolakan itu sebagai anti Islam.

Padahal, penolakan berdirinya masjid itu bukan karena faktor agama. Masyarakat kita sudah terbiasa dengan perbedaan. Cara-cara beribadah yang berbeda biasanya disikapi dengan ringan.

Tapi. kita memang paling gedeg dengan kaum yang merasa benar sendiri sambil mengkafir-kafirkan. Kita paling sebel dengan orang yang beragama dengan sikap tinggi hati. Itulah yang sepertinya membuat masyarakat Bogor akhirnya melawan.

“Makanya, Kang, kalau beragama jangan tinggi hati,” ledek Bambang Kusnadi kepada Abu Kumkum.

“Lha, gimana mau tinggi hati. Aku sendiri juga takut ketinggian kok, mas. Makanya badanku gak tinggi.”

Hmmm, kayaknya Abu Kumkum sedang mengenyek saya…











Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.