Kolom Eko Kuntadhi: SITI HAJAR

Langit memerah. Pasir seperti terbakar. Di tengah gurun seorang perempuan, budak, berkulit gelap, mendekap bayinya. Bibirnya kering. Suara tangis anak dalam gendongannya terdengar parau kehausan. Mereka hanya berdua di gurun tandus itu, terpisah jauh dari kaumnya. Menapaki ganasnya padang pasir di bawah langit purba Arabia.

Suaminya, Ibrahim, meninggalkan mereka di padang gersang itu untuk melaksanakan perintah Tuhannya. Siti Hajar, istri yang meyakini keimanan sang suami melepas kepergian Ibrahim. Dia yakin, meski ditinggalkan dalam gurun tandus, Allah –-Tuhannya dan Tuhan Ibrahim– akan melindunginya. Dalam keyakinannya Allah akan mengurus segala keperluannya.




Tapi, Siti Hajar tidak hanya berpangku tangan mengharap datangnya keajaiban. Dia meyakini kekuasaan Tuhan, meyakini bahwa Allah tidak akan menelantarkan hambanya. Tetapi, dia sekaligus juga menyadari bahwa faktor ikhtiar manusia tetap memegang peranan. Keyakinannya pada kekuasaan Tuhan tidak lantas menjadikanya diam pasrah. Siti Hajar tidak menunggu, dia berbuat sesuatu. Siti Hajar tidak pasif, dia bertindak sebagai subyek yang aktif.

Sebagai ibu yang mencintai anaknya dia bangkit. Menjalankan syarat alamiah untuk berjuang demi hidup. Perempuan itu bergerak mencari air. Mencari sumber kehidupan. Berjalan antara bukit Shafa dan Marwah. Meski peluang untuk mendapatkan air begitu kecil, di tengah gurun dan panas yang membakar, dia terus berusaha.

Sebab baginya justru kepasrahan pada Tuhan itulah yang direfleksikan dalam semangat kerja keras. Kita tahu kemudian dari bawah pasir, di sela-sela kaki mungil anaknya Ismail, air memancar. Memberi kehidupan pada ibu beranak itu. Air Zamzam tetap mengalir sampai sekarang, setelah ribuan tahun dari peristiwa itu.

Allah memberikan pelajaran dengan sangat indah. Sebuah gambaran tentang gairah kerja, berfikir positif, jauh dari putus asa, kasih sayang sempurna, sekaligus juga keyakinan pada Yang Maha Memiliki. Semangat kerja keras untuk kehidupan yang lebih baik justru dicontohkan oleh seorang perempuan. Berkulit hitam. Seorang ibu. Dan, budak!

Siti Hajar seolah ingin memberikan cermin: Bagaimana mungkin kita putus asa padahal pepohonan masih tumbuh di sekeliling, air berlimpah, posisi sosial lebih bagus, jauh lebih tampan atau cantik, hidup sebagai mahluk merdeka, lebih muda, atau pendidikan tidak juga kurang. Bagaimana mungkin kita putus asa, padahal peluang untuk berhasil jauh lebih besar dibanding kemungkinan mendapatkan air di padang tandus.

Ribuan tahun kemudian, jutaan orang mengikuti jejak Siti Hajar. Orang-orang dari segala bangsa, semua warna kulit, segala status sosial, kembali menjalankan ritual Sa’i itu untuk menggenapkan ibadah haji mereka. Berlari kecil bolak-balik antara bukit Shafa dan Marwah.




Sambil mengenang bahwa ribuan tahun yang lalu, di tanah yang tadinya tandus itu, ada seorang perempuan, budak kulit hitam, dan seorang ibu yang dijadikan Allah sebagai contoh manusia terbaik yang berlari kehausan mencari air. Sai adalah sebuah episode perjuangan manusia untuk kehidupan.

Wanita inilah yang dianugerahkan sejarah sebagai ibunda para Nabi.

Ya Allah, sempurnakahlah ibadah para jemaah Haji dan Umroh. Sambut dan muliakanlah mereka sebagai tamu di rumah-Mu.

Sumber : Para Penyembah Petromaks











Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.