Kolom Eko Kuntadhi: JANGAN HARAP KESEMBUHAN DARI RUMAH SAKIT TANPA EMPATI

Malam ini, saya menyaksikan perjuangan seorang teman Birgaldo Sinaga atau dikenal sebagai Dirgaldon Singo. Di acara ILC Birgaldo setia mendampingi Henny Silalahi, ibu bayi Deborah. Kita tahu Debora tidak bisa diselamatkan nyawanya hanya karena subuh itu orangtuanya kekurangan uang Rp 6 juta untuk masuk ke ruang PICU (Ruang ICU khusus anak).

Pihak RS Mitra Keluarga Kalideres menolaknya untuk masuk ke ruang PICU karena uang tunai yang dibawa orangtua Debora tidak cukup. Itu satu fakta. Padahal, dokter merekomendasikan pasien harus secepatnya masuk ruang PICU.




Nyawa memang di tangan Tuhan. Tapi proses kematian Debora yang membuat kita geram.

Saya yakin Henny dan keluarga, termasuk juga Birgaldo bukan hendak menuntut macam-macam. Mereka sudah pasrah kehilangan Debora. Tapi, mestinya kasus seperti Debora tidak lagi terjadi di tempat lain. Di mana administrasi rumah sakit yang kaku lebih bermakna dari nyawa manusia. Alasan itulah yang membuat Birgaldo tampil mendampingi keluarga Debora.

Pihak rumah sakit kabarnya sudah meminta maaf kepada keluarga Debora atas kejadian tersebut. Sampai di sini mungkin orang bisa memaklumi (meski tetap jengkel). Permintaan maaf itu sendiri, sebetulnya adalah bentuk empati pada keluarga korban.

Tapi, ketika membaca sanggahan pihak rumah sakit yang menyalahkan orangtua Debora (dengan tuduhan bayi kurang gizi, padahal Debora lahir prematur dan karena itu berat badannya agak berbeda dengan anak normal) saya merasakan bahwa RS Mitra Keluarga benar-benar tidak menampakkan empatinya.

Bayangkan, RS Mitra Keluarga malah menuding ibu yang kehilangan anaknya ini sebagai pihak yang tertuduh. Siapa lagi yang bisa ditudingkan jika seorang bayi kurang gizi selain ibunya?

Ke dua, saat acara ILC pengacara Mitra Keluarga Hotman Paris Hutapea tampil membela kliennya juga dengan gaya yang tanpa empati. Berhadapan dengan orangtua yang baru kehilangan anaknya, dengan cara seperti itu, menurut saya justru malah merusak citra RS Mitra Keluarga, yang inti bisnisnya adalah jasa menyembuhkan orang sakit.

Kita tahu, selain sebagai institusi kesehatan, RS juga merupakan institusi bisnis. Dalam bisnis uang memegang peranan utama. Orang membayar mahal ke sebuah RS untuk layanan kesehatan. Jika mereka sakit, ya untuk sembuh dari penyakit. Layanan kesahatan bukan cuma cas-cis-cus tindakan medis. Proses itu semua juga sangat membutuhkan empati.

Empati pada pasien. Empati pada keluarganya. Empati pada orang yang hendak disembuhkan. Sebab manusia bukan hanya seonggok organ biologis. Manusia juga punya rasa, punya jiwa, punya fikiran. Dan menurut saya filosofi semua layanan kesehatan harus memandang manusia sebagai mahluk yang utuh, bukan hanya sekadar organ biologis.

Jika kita berhadapan dengan RS yang tidak bisa menunjukan empatinya, apa yang Anda fikirkan?

Kalau saya simpel. Bagaimana saya bisa mempercayai kesembuhan penyakit saya kepada sebuah rumah sakit yang membiarkan seorang bayi meninggal di depan hidungnya? Bayi itu meninggal hanya karena keluarga pasien tidak bisa menyiapkan tambahan uang Rp 6 juta di subuh buta.

Bagaimana saya mempercayai layanan kesehatan dari sebuah rumah sakit yang cara berkomunikasinya tidak menyisakan rasa empati sedikitpun?

Jika isi sanggahan pihak RS Mitra Keluarga dan pembelaan Hotman Paris di ILC dimaksudkan untuk mengembalikan kepercayaan publik pada Mitra Keluarga, mereka salah besar.

Sebab, sebuah rumah sakit yang tanpa empati tidak layak diharapkan untuk menyembuhkan orang sakit.















Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.