Kolom Eko Kuntadhi: FADLI NGAJAK KITA KEJEBLOS

Kalau Pimpinan DPR kirim surat ke KPK agar pemeriksaan pada Setya Novanto ditunda, kamu mau apa? Bahasa kerennya, “Ape loh, ape, loh?!”

Bagi Fadli, DPR adalah posisi yang bisa melakukan apa saja. Sebab DPR adalah lembaga perwakilan rakyat. Jadi, apapun tindakannya tinggal bilang, ini adalah aspirasi rakyat. Beres. Bukankah vox populy vox dei –suara rakyat adalah suara Tuhan?

Tapi, dalam konteks ini, rakyat mana yang dimaksud Fadli? Atau suara Tuhan yang mana?

Langkah Fadli membuat hukum menjadi tidak lagi penting di Republik ini. Fadli atas nama pimpinan DPR mengirimkan surat kepada KPK, di atas kop surat berlogo Garuda sebagai lembaga tinggi negara agar KPK menunda pemeriksaan pada Setya Novanto. Setya sendiri ditangkap karena keterkaitan pada kasus E-KTP. Saya membacanya ini semacam intervensi politik pada usaha penegakkan hukum.




Di saat lain, belum lama ini, Fadli juga mengunjungi Rizieq Shihab di Saudi Arabia. Foto-fotonya tersebar di medsos. Padahal Rizieq adalah buronan kepolisian Indonesia. Dia disangkakan dengan berbagai kasus kriminal.

Biar bagaimanapun Fadli adalah pejabat negara. Mekanisme dia duduk sebagai anggota DPR memang dipilih oleh rakyat, tetapi sebagai pejabat negara dia juga wajib menghargai hukum di negara yang memberikan gaji dan fasilitas. Dia wajib menjunjung tinggi hukum di Indonesia. Begitulah bunyi sumpah jabatan yang pernah diucapkannya saat pelantikan menjadi anggota DPR.

Ketika bertemu seorang buronan kasus kriminal lalu fotonya sengaja disebarkan, padahal Fadli adalah pejabat negara. Dia seperti menghinakan jabatannya sendiri. Dia terang-terangan melecehkan kepolisian sebagai institusi negara yang tugasnya menegakkan hukum.

Dua langkah Fadli ini seperti ingin mengambalikan Indonesia ke masa lalu, dimana politik berdiri sebagai panglima. Hukum bisa ditelikung atas nama politik.

Padahal, kita sepakat untuk menjaga balancing of power agar selalu ada kekuatan korektif di semua lini kekuasaan. Caranya dengan memisahkan kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif, hingga ketiganya diharamkan saling mengintervensi. Ketiganya harus berdiri independen. Sebagai perwakilan wajah negara, ketiga lembaga ini harus saling menghormati.

Sebagai politisi wajar saja jika Fadli berpolitik. Tapi ya, gak gitu-gitu juga kale. Meskipun Fadli seorang politisi, dia tetap harus menjaga marwahnya sebagai pejabat negara. Dia tetap harus menempatkan hukum dari negara yang diwakilinya sebagai panduan berkehidupan. Jika pejabat negara saja terang-terangan melecehkan hukum, mau jadi apa bangsa ini?

Soal posisi Novanto sebagai Ketua DPR, ya sudah. Biarkan saja. Menteri juga bisa dicopot kalau ketahuan korupsi. Gak usah ribet membelanya mati-matian.




Bukankah rakyat jadi bertanya-tanya, sebetulnya Fadli ini ada apa sih dengan Novanto? Motivasi apa yang melatarinya sehingga dia ngotot banget membela tersangka kasus korupsi e-KTP?

Indonesia sudah pernah mengalami suasana politik sebagai panglima pada Orde Lama. Di majan Orde Baru hukum bisa sembarangan diintervensi kekuasaan dan hanya jadi aksesoris. Dan kehidupan kita babak belur. Sebagai rakyat yang waras masa kita mau dibetot ke suasana itu lagi sama Fadli?

Harusnya Fadli ingat pepatah lama, “Hanya FPI yang mau kejeblos di lubang yang sama berkali-kali.”

“Menjebloskan diri di kandang kambing mah, niat mas,” celetuk Bambang Kusnadi.






Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.