Kolom Sanji Ono: ANIS MENGGALI KUBURNYA SENDIRI

Isi Inpres No 26 Tahun 1998: Menghentikan penggunakan istilah “Pribumi’ dan “Non Pribumi” dalam perumusan dan penyelengaraan kebijakan, perencanaan program ataupun pelaksanaan kegiataan penyelenggaraan pemerintah.

Pelantikan Gubernur adalah salah satu contoh pelaksanaan kegiatan penyelengaraan Pemerintah. Tapi aneh bin ajaibnya ada Gubernur yang baru dilantik, yang dulunya hoby ngomong manis soal ‘Tenun kebangsaan’ yang ingin menyatukan warga DKI yang sekarang sedang terkotak-kotak karena isu SARA, dengan entengnya di pidato perdananya sebagai Gubernur mengatakan: “Dulu kita pribumi ditindas dan dikalahkan. Kita telah merdeka. Kini saatnya pribumi jadi tuan rumah di negeri sendiri.”




Untuk Pak Anies yang terhormat, timbul beberapa pertanyaan dalam benak saya :
1. Sebagai pejabat negara apakah anda paham dan mengerti soal ada aturan yang tidak boleh menggunakan istilah pribumi dan non pribumi? Kalau tidak mengerti, aturan apa yang anda pahami? Aturan Saracen kah?
2. Bapak bilang rakyat Jakarta saat ini baru merdeka? Boleh tahu, pak, Jakarta sebelum anda dijajah oleh siapa?
3. Apakah mugkin menyatukan hati rakyat DKI yang terkotak-kota karena terjangan isu SARA dengan model komunikasi rasis seperti kemarin?

Pengertian dan pemahaman saya Pribumi adalah penghuni asli, orang yang berasal dari tempat yang bersangkutan. Sedangkan non-pribumi berarti yang bukan pribumi atau penduduk yang bukan penduduk asli suatu negara. Dari makna tersebut, pribumi berarti penduduk yang asli (lahir, tumbuh, dan berkembang) berasal dari tempat negara tersebut berada. Jadi, anak dari orangtua yang lahir dan berkembang di Indonesia adalah orang pribumi, meskipun sang kakek-nenek adalah orang asing.




Para founding father Bangsa Indonesia menyadari bahwa selama adanya diskriminasi antar golongan rakyat, maka persatuan negara ini menjadi rentan, mudah diobok-obok oleh kepentingan neo-imperialisme. Bung Karno telah meneliti hal tersebut melalui tulisan beliau di majalah “Suluh Indonesia” yang diterbitkan tahun 1926. Ia berpendapat bahwa, untuk memperjuangkan kemerdekaan bangsa dan membangun bangsa yang kuat, dibutuhkan semua elemen/ golongan. Untuk itu, beliau mengajukan menyatukan kekuatan dari golongan Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme sebagai kekuatan superpower. Hal inilah yang ditakuti oleh Amerika dan sekutunya serta para pemberontak (penghianat, separatis) di negeri ini dengan berbagai alibi.

Entahlah, siapa yang anda maksud Pribumi dan Non Pribumi. Kalau yang anda maksud Non Pribumi adalah mereka-mereka keturunan Tioghoa dan Pribumi adalah mereka Keturunan Arab itu seperti 2 bocah yang berdebat di depan kandang sapi. Yang satu bilang “ini kandang sapi jadi yang di dalam itu pasti Gorila..” dan yang satu lagi bilang “kamu goblok banget sih, udah jelas kakinya empat, makannya rumput, itu pasti ikan hiu..”.

Perkataan kita adalah cermin siapa diri kita, dari pidato anda tercermin bagaima jiwa kenegarawanan anda. Saya kok jadi kefikiran apa mungkin yah Pak Jokowi mecat orang yang sama dalam waktu yang tidak lama? Upss….





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.