Kolom Sada Arih Sinulingga: KOPTASI DAN MOBILISASI MASSA ISLAM MARJINAL TERHADAP TIONGHOA

Sebuah analisis pidato pelantikan Anies Baswedan sebagai Gubernur Jakarta.

 

Coba kam dengarkan seksama pidatonya Anies itu yang beliau awali dengan bernarasi menceritakan zaman kolonialisme. Katanya, di depan mata rakyat Jakarta merasakan kolonialisme. Sampai di situ masih datar dan hal yang biasa ketika beliau berusaha mengingatkan sejarah bangsa ini yang memang pernah dan lama dijajah kolonialisme. Namun, ketika beliau berhenti sejenak dan memulai berkata lagi dengan memberi penekanan pada kata “kini kita sudah merdeka” dan menyebut pribumi bla bla bla maka, menurut analisis saya, berdasarkan mimik dan gestur tubuhnya dia nyenyir dan nyeleneh bahwa yang ia maksud penjajahan itu adalah non pribumi (Tionghoa/ Cina).

Saat ini tidak ada Belanda di depan mata rakyat Jakarta. Ia menekankan, jika tiap hari di depan rakyat Jakarta ada kolonialisme, menurut saya yang beliau maksud adalah Tionghoa yang mapan yang memang bersileweran di mall-mall dan pemukiman mewah di seputaran Jakarta.




Kemudian ia berkata pribumi itu maksudnya adalah beliau hendak mengatakan pribumi dengan kata Islam bukan pribumi yang sebagaimana yang pernah diklasifikasi oleh Belanda dulu. Pegawai kolonial membagi masyarakat Hindia Belanda menjadi 3 golongan hukum yakni:1. Golongan Eropah (Belanda dan orang-orang Eropah lainnya). 2.Golongan Timur Asing (Tionghoa, Arab dan India), 3. Golongan Bumi putra atau pribumi.

Jakarta dikuasai Tionghoa dalam bidang ekonomi dan Jakarta sempat dipimpin oleh Tionghoa dalam hal ini Ahok. Kini telah beliau rebut dalam Pilkada DKI yang penuh dengan intrik dan issu SARA. Bukan saja direbut namun berhasil memenjarakan Ahok.

Sebuah analogi yang logis, dan kata-kata Belanda itu hanyalah alat untuk kambing hitam, seperti biasa, karena orang Belanda pun mungkin sudah lupa kalau dulu ada VOC. Dengan analogi ini maka dia menarik situasi itu ke ‘hari ini’ saatnya ‘bangkit’.  Kalau semua ini adalah sebuah skenario, sungguh mengerikan, karena jaman telah berubah, orang pasti akan bereaksi, kalau yang disampaikan itu adalah target.

Akibatnya? Jangan heran kalau Pertiwi ini robek… koyak…. Jangan sepelekan kalimat jahat yang ada di dalam hati pemimpin. Massa cenderung buta, dapat dituntun kemana saja.

 

 

Memang jahat jika issue SARA dijadikan issue politik dalam Pilkada dan punya agenda politik dalam pertarungan Pilpres yang akan datang. Mempermainkan issue kebencian etnis dan agama yang menjadi jargon kampanye mereka pada Pilkada DKI seperti mengatakan Cina dan kafir adalah dua kata yang selalu keluar dari mulut mereka. Bahkan Singapura di jadikan contoh bahwa Tanah Melayu/ Islam dikuasai Cina. Atas dasar itu pula maka Ahok dijadikan musuh Islam terutama Pribumi Islam yang marjinal.




Ini mudah dimobilisasi sehingga kerusuhan Mei 1998 bisa terulang lagi. Spanduk mereka pada pelantikan kemaren sudah jelas jika Anis disebutnya sebagai kebangkitan pribumi Islam. Ini sangat berkait dengan pidato Anis yang mengatakan kini kita sudah merdeka…. bla bla bla…

Koptasi seperti ini sangat riskan dan berisiko terhadap masa depan negara. Ini sangat sensiif menyulut massa. Ibarat api dalam sekam. Jika ada yang menyulutnya api menjadi besar. Soalnya, kesenjangan sosial, keadilan sosial adalah sebuah issu besar dalam negara ini namun menjadi berbahaya ketika dikemas menjadi adanya koptasi dan mobilisasi kelompok marjinal melawan kelompok etnis yang mapan seperti umumnya etnis Tionghoa ini.

Anies sebagai seorang akademisi sebenarnya menurut saya benar-benar mampu melihat kesenjangan ini. Hanya saja, caranya mengungkapkan dan bersingungan dengan politik praktis yang kini ia lakoni, terlebih beliau bukanlah seorang pribumi asli Indonesia, maka menjadi tidak enak kedengarannya apalagi masih terasa aura pertentangan Pilkada DKI kemaren yang memang sudah terkoptasi sedemikian rupa. Sebaiknya Anies mampu mengurai persoalan DKI satu per satu dengan merajut yang terkoyak mengajak semua elemen bersatu untuk melakukan terobosan-terobosan bermanfaat untuk kemajuan DKI sebagai barometer Indonesia.










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.