Kolom Eko Kuntadhi: DILARANG MENGUTIP TERE LIYE

Hahahahahaha… Tere Liye marah-marah. Karena ada orang menampilkan foto selfie, di bawah fotonya ditulis kutipan darinya. Meski tetap dicantumkan nama penulisnya, dia tetap marah.

Kenapa dia marah? Saya tidak tahu. Saya baru tahu ada penulis yang marah ketika kata-katanya dikutip, dengan dicantumkan sumbernya. Ini baru pertama saya alami.

Apakah orang-orang itu harus membayar royalti kepada Darwis saat memanfaatkan kutipannya? Mungkin juga. Oh iya, nama aslinya Darwis, tapi dia menggunakan nama Tere Liye? Tere Liye sendiri diambil dari nama pena sebuah film India. Orang India, slow aja …




Menulis di media sosial itu, seperti menawarkan pikiran. Tidak ada yang membayar Anda menulis. Tidak juga ada yang memerintahkan. Tidak juga ada yang melarang. Setiap tulisan, merupakan pijakan ide bagi lahirnya tulisan lain. Jadi, sebetulnya penulis, sehebat apapun, tidak ada yang benar-benar orisinil. Dia mendapatkan ide, pasti dari membaca atau mengamati karya-karya orang lain.

Jadi, betapa sombongnya seorang penulis, apalagi menulis di media sosial, ketika orang lain sama sekali tidak boleh mengutip kata-katanya. Betapa angkuhnya dia, seolah dia mendapat illham semua tulisannya langsung dari langit, tanpa ada proses pergelutan dengan karya-karya orang lain.




Meminta orang menyertakan sumber tulisan boleh saja. Tapi meminta orang lain sama sekali tidak boleh mengutip omongannya, adalah kesombongan yang absurd.

Mendingan gak usah dipublikasi kalau kuatir tulisannya itu dipakai orang lain. Tulis saja dibuku diary, lalu digembok. Nikmati sendiri tulisan itu.

Untung saja saya penganut copyleft ekstrim. Kalo ada orang mau mencomot tulisan saya, bahkan tanpa perlu menyebut nama, saya mah, santai-santai saja. Gak ada pengaruhnya apa-apa. Gak rugi juga.

Kita menulis untuk menyebarkan pikiran. Yang penting pikirannya tersebar. Soal orang tahu atau tidak itu pikiran orisinil siapa, gak penting lagi.

Saya juga, dan semua penulis lain, pasti berdiri di pundak penulis-penulis lainnya. Kami saling belajar.

“Saya jualan bubur juga niru dari tetangga saya, mas,” ujar Bambang Kusnadi. “Tapi cakwenya, saya bikin sendiri…”

FOTO HEADER: Kathrine Kaif.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.