Kolom Edi Sembiring: TAK ADA KEBUDAYAAN BATAK DI KARO

Orang Belanda atau Eropah yang kawin mawin dengan pribumi jadilah mereka Kaum Indies. Lahirlah Kebudayaan Indies seperti makan di meja tapi berlauk lokal. Mejapun berukir ukiran Jawa.

Pakaian, rumah, dll bergaya campuran Eropah dan lokal. Sinyo dan noni berbahasa Petjoek. Lahir Muziek Tanjidor, teater Komedi Stamboel, bangunan Indische stijl, perabotan meubilair, makanan rijstaffel, sastera Indo sampai peranan jongos dan babu di dapur, botol cebok di kamar mandi, serta Dutch wife (nama awal guling) di kamar tidur.




Saat lahirnya, Kebudayaan Indis ini dicap rendah, tapi ditiru di Kalangan Priyayi dan pejabat tinggi kolonial. Kebudayaan Indies ini lahir akibat kebiasaan hidup membujang para prajurit dan pejabat Belanda di Hindia Belanda.

Setelah Terusan Suez dibuka dan wanita Belanda banyak datang, ada upaya totokisasi terhadap orang kulit putih di Hindia Belanda. Tapi GAGAL. Malahan kebudayaan percampuran semakin merajalela. Semua ini bisa dibaca dari buku Kebudayaan Indies disertasi Djoko Soekiman (Penerbit Komunitas Bambu, 2011).

 

Melihat ke Karo

Suku Karo bersahabat dan hidup rukun dengan suku-suku lainnya. Bahkan puluhan tahun bersekutu dengan Alas, Gayo dan Suku Pakpak dalam melawan Belanda.

Suku Karo terbuka pada pendatang. Masuknya Orang Tamil memberi warna pada kebudayaan dan keyakinan orang Karo. Ada anggapan merekalah yang mengembangkan Agama Pemena.

Seperti upacara menghanyutkan abu jenazah, yang di India dilakukan di Sungai Gangga, juga dilakukan di Lau Biang. Contoh lain yang memberi petunjuk adalah instrumen musik. Suara serunai di Karo bernada tinggi. Ini tak terdapat pada peralatan musik Batak lainnya.

Ada pemotongan gigi dan menghitamkannya, serta mandi air limau (erpangir ku lau) juga dijadikan bukti. bahkan kebiasaan bagi wanita Tamil yang membikin titik merah di keningnya juga dilakukan wanita pemeluk Pemena. Dan berbagai contoh lainnya yang bisa ditambahkan.

Bagaimana dengan pengaruh para pendatang dari suku tetangga, misalnya Toba? Apakah ada kebudayaan Toba yang masuk di Karo akibat perkawinan antar suku? Tidak ada.

Dari apa yang saya sampaikan, apakah ada kebudayaan percampuran Toba dengan Karo? Tidak ada. Para pendatang lebur menjadi orang Karo dan wajib menjadi orang Karo sesungguhnya.

Lalu, apa itu kebudayaan Batak? Kebudayaan yang lahir akibat saling mewarnai? Tidak adakah kebudayaan baru seperti Kebudayaan Indies yang saya sebut di awal tulisan?

Ternyata tidak ada. Pendatang tidak mewarnai. Bahkan tidak berubah hingga kini walau ada perkawinan antar suku. Karo tetap Karo sejak dulu.

Tak ada Bahasa Batak dengan ragam dialek. Tak ada penjelasan posisi Batak dalam kebudayaan Karo. Jadi Batak “bukan perekat adat” antar suku, karena pesta pernikahan pun harus dilakukan 2 kali bila ada perkawinan antar suku. Juga Batak bukan hasil persilangan budaya antar suku, karena belum diketemukan kebudayaan baru dari perkawinan antar suku.

Jadi Batak sebagai apa?

Lebih tepat melihat Karo sebagai Karo dan Bukan sebagai Batak.








One thought on “Kolom Edi Sembiring: TAK ADA KEBUDAYAAN BATAK DI KARO

  1. Wow, ini pencerahan yang bagus dan sangat masuk akal.

    “Para pendatang lebur menjadi orang Karo dan wajib menjadi orang Karo sesungguhnya.”
    Kesimpulan ini juga kenyataan di Karo. Bandingkan dengan pendatang Toba di Simalungun, umumnya orang Simalungun yang ‘berubah’ jadi Toba, begitu juga di Pakpak. Mantan menteri Bungaran Saragih pernah juga mengatakan soal ini, bagaimana pendatang Toba (Batak) di Simalungun dan di Karo. Pada permulaan reformasi banyak sekali anak-anak muda Simalungun mengkdedepankan identitas Simalungun. Sekarang sepi lagi. Tetapi bukan berarti bahwa Simalungun atau Pakpak ‘sukarela’ melepaskan identitasnya.
    MUG

Leave a Reply to MUG Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.