Kolom Andi Safiah: PAKSAAN DALAM AGAMA

Mantra “tidak ada paksaan dalam agama” adalah penipuan yang maha kuasa. Coba anda perhatikan bagaimana terors Tuhan berlangsung sepanjang zaman ketika anda mencoba melanggar ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan dalam agama.

Misalkan dilarang mencuri, tapi kalau mencuri untuk kebaikan agama boleh. Bagi mereka yang otaknya waras mencuri jelas adalah kejahatan, namun dalam logika agama semua aktivitas illegal dalam masyarakat waras, bisa menjadi legal karena alasan yang memang dibuat-buat + sedikit dicampur mantra-mantra, hasilnya mengejutkan.

Mereka yang tadinya resisten menjadi ‘bungkam’.

Inilah bahaya agama dan masyarakat yang tadinya waras, bisa kembali tidak waras karena ancaman yang ada dalam agama itu nyata. Lihat saja korban pemaksaan atas hukum yang terjadi dalam negara yang rakyatnya mabok agama.

POKOK-nya AHOK harus diadili dan dihukum, karena telah menistakan agama. Padahal sesuatu yang nista memang akan tampil apa adanya. Cuman, apakah ada yang berani menyampaikan kabar berita, bahwa ini adalah nista?







Jika tidak ada, maka kenyataan itu akan terus tampil apa adanya dan bahkan bisa menjadi kebiasaan yang dianggap sebagai kebenaran. Mengapa? Karena semua orang berprilaku sama. Ketika ada satu manusia yang menolak untuk mempraktekkan kebodohan yang sama, maka ramai-ramai dicap ‘sang penista’.

Makanya saya sudah tidak mau percaya lagi pada “katanya”. Saya terlahir dan hidup di atas realitas yang menawarkan begitu banyak kemungkinan baru, bahkan pengetahuan-pengetahuan baru yang tidak pernah saya temukan sebelumnya.

Belajar menyampaikan pikiran secara terbuka apa adanya saja bisa dijerat pasal karet “penghinaan” atau “penistaan”, apalagi yang disinggung adalah soal agama. Makanya saya tidak heran jika ulama, ustad, adalah profesi yang seolah-olah “kebal hukum”. Mereka bisa berteriak dengan gaya bebas, lantang, dan bersemangat dalam menyampaikan “kebohongan” karena satu alasan. Mereka ‘merasa’ memegang stempel kebenaran langsung dari Tuhan. Padahal semua itu cuman akal-akalan dia saja.

Sebagai bangsa, kita mulai kehilangan orang-orang yang berani untuk tampil jujur apa adanya dalam konteks agama. Mereka yang berani secara lantang kemudian diperkarakan lalu mati secara perlahan dalam penjara, yang isisnya juga adalah manusia-manusia yang sudah membangkai kesadarannya.

Jika demikian, lalu untuk apa bangsa ini membanggakan dirinya sebagai salah satu bangsa yang menganut prinsip demokrasi. Padahal salah satu prinsip demokrasi adalah bebas dalam menyampaikan opini dan pendapatnya sesuai dengan hati nuraninya.

Tidak, bangsa ini tidak akan pernah menjadi bangsa yang bebas, apalagi merdeka. Selama masih ada agama yang membajak nilai-nilai kebenaran, maka selama itu pula kita akan selalu ‘terpaksa’ menjadi sebuah bangsa. Siapapun yang pernah dilahirkan oleh bangsa ini akan selalu nista di mata agama.

Lihat saja Sukarno yang dulu menjadi macan Asia, nista di mata agama. Soeharto yang menjadi coruptor of the century justru aman karena agama. Habibie yang dia adalah salah satu manusia cerdas di Indonesia, juga nista di mata politik agama. Megawati yang dia adalah perempuan pertama sebagai presiden juga nista karena dia tidak memenuhi standard sebagai muslimah kaffah. Gusdur yang dia adalah seorang ulama justru dinistakan oleh agamanya sendiri.

SBY lolos dari penistaan karena dia sukses tampil menjadi manusia munafik. Sebentar lagi Jokowi akan bernasib sama nistanya karena agama yang dia perjuangkan memang spiritnya adalah menistakan eksistensi manusia.

Ahok tidak usah disebutkan, karena sebaik apapun yang dia lakukan untuk Jkt dia tetap saja menjadi manusia nista dimata Islam.

Jadi bullshit saja jika masih percaya bahwa agama adalah jalan kebenaran, jalan kebaikan, jalan kehidupan, bagi saya agama adalah jalan terbaik dalam menyesatkan kesadaran manusia.

#Itusaja!








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.