Kolom Joni H. Tarigan: ADIL DARI RUMAH

Dua hari yang lalu, mungkin karena agak letih sehingga kurang fokus, saya tidak sengaja menjatuhkan gelas keramik dari sebuah dispenser. Saya sendiri kaget, karena suara dentuman gelas menghantam lantai dengan sangat keras. Anak dan istri saya juga terkejut, dan bahkn spontan menunjukkan muka yang ingin marah, melihat gelas tersebut pecah dan berserakan di lantai.

“Aduh. Maaf, ma,” ucap saya secara spontan.

Saya juga langsung minta maaf ke anak saya, dan menyampaikan bahwa saya tidak sengaja.







“Pa, lain kali hati-hati loh, ya,” jawab anak saya setelah permintaan maaf saya.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada anak saya karena memaafkan ketidaksengajaan saya.

Kami kemudian melanjutkan bermain bersama, sedangkan ibunya masih menunggu pasien yang membeli obat di apotek yang sudah kami mulai satu tahun lalu. Tidak terasa waktu sudah menunjukkan 21.20 WIB, yang artinya kami harus segera berkemas untuk menutup apotek dan kembali ke rumah. Saat sedang sibuk siap-siap untuk menutup, anak kami menarik laci uang sampai semuanya keluar. Laci tersebut pun tidak bisa dikembalikan seperti semula. Laci tersebut pun tidak bisa digunakan lagi sebelum diperbaiki.

Istri saya dengan muka yang sangat kecewa menasehati anak kami.

“Makanya, jangan terlalu sembarangan memegang peralatan di apotek. Lihat, tidak bisa dipakai lagi, kan?” kata istri saya.

Spontan anak saya membela diri  dengan mengatakan: “Papa juga tadi pecahin gelas, kok!”

Saya terdiam, dan kemudian mengatakan: “Nak, papa kan sudah minta maaf.”

Anak saya juga kembali membela diri bahwa dia juga sudah meminta maaf.

Aku menyadari anak kami ini tidak salah, dan ketika ia dinyatakan bersalah maka ia akan otomatis ingin meminta keadilan. Usaya mendapatkan keadilan dalam kondisi ini adalah bahwa bapaknya juga melakukan kesalahan. Kesalahan saya bagi anak ini justru lebih parah, yakni memecahkan gelas. Anak itu berfikir, pecah berarti sudah tidak bisa dipakai lagi. Kalaupun anak ini dipersalahkan, maka ia secara logis berfikir bahwa bapaknya harus lebih disalahkan lagi.

Saya ahirnya memeluk dan menggendong anak kami pulang ke rumah. Saya mencoba menghilangkan trauma dipersalahkan karena mencoba hal-hal yang baru. Karena tanpa keberanian mencoba bagaimana mungkin seorang anak mampu menjadi dirinya sendiri yang terlahir pasti punya talenta untuk dikembangkan. Di pihak lain, saya juga tidak menyalahkan ibunya yang kesal dan menunjukkan sikap marah terhadap anak kami. Seharian ibunya sibuk mengurus persiapan sekolah anak kami, mulai dari bangun pagi, berangkat ke sekolah dan kemudian menjemput lagi ketika pulang sekolah. Ibunya 100 persen, dan 24 jam sehari selalu untuk anak kami.




Menjelang tidur, anak kami kemudian datang ke ibunya dan berkata: “Maaf yang tadi ya ma.” Saya dan ibunya bergantian juga meminta maaf. Kami berpesan ke anak kami untuk tidak takut melakukan sesuatu, akan tetapi kami minta tolong untuk dibertahu dulu agar kami bisa bantu sehingga tidak terjadi celaka. Kami bertiga berdamai sebelum tidur.

Saya dan ibunya tidak bisa menghindari marah, akan tetapi ibunya memang punya porsi lebih banyak marah. Saya, bapaknya, ada juga lebih banyak dimarahi anak saya. Saya memang berusaha berdiskusi dengan anak jika ada masalah. Jika saya dimarahi anak, saya akan ambil waktu dan berfikir kenapa ia marah. Sayapun kemudian menanyakan kenapa anak saya marah. Ketika saya menemukan kalau saya yang salah, maka dengan sangat sungguh-sungguh meminta maaf. Kadang kala tidak mudah bagi anak untuk memaafkan saya karena ia merasa tidak adil disalahkan padahal memang ia tidak salah.

Pernah juga ketika anak kami marah, dan setelah mencoba berdiskusi ternyata anak kami memang salah. Kesalahan tersebut misalnya mainannya yang rusak karena perbuatannya sendiri, atau ia tersandung karena ia sendiri yang tidak merapikan mainannya. Kami berusaha untuk menunjukkan letak kesalahan anak kami, dan ketika ia pahami akan kesalahan itu, ia dengan sungguh-sungguh meminta maaf.  Kadang kala saya meminta istri saya untuk meminta maaf kepada anak kami, karena ibunya tidak sengaja melakukan kesalahan. Saya juga tidak jarang diminta untuk minta maaf kepada anak kami. Begitulah kami bertiga berusaha sebisa mungkin untuk adil.

Saya bersyukur, karena semakin hari kami semakin saling memahami dan saling mendukung untuk kemudian semakin berkembang dalam keluarga. Apa yang menjadi landasan kami adalah, kami menyadari kami bukanlah pribadi yang sempurna, pasti ada kekurangan dibalik talenta yang kami punya. Akan tetapi kami juga merasakan bahwa kami saling menyayangi. Dengan rasa kasih yang kami punya, maka kekurangan itulah yang semakin membuat kami semakin bersatu. Saya punya kesabaran yang lebih dibanding istri saya, akan tetapi perlu juga ketegasan bagi anak kami, maka ibunyalah yang berperan. Sehingga kemudian saya melihat anak kami semakin berkembang dalam kecerdasan sosial, kecerdasan logika, dan kecerdasan imaginasi.




Saya pun melihat anak kami menjadi sosok yang punya prinsip, kemauan dan kegigihan yang kuat, dan juga ia memiliki rasa sosial yang sangat baik. . Kami selalu berusaha memfasilitasi kebebasan berfikirnya dengan sebijak mungkin.

Saya pun tersenyum mengingat-ingat itu semua. Saya merasa bahagia karena kami bisa berlaku adil, tidak pendendam. Kami jadi semkain mengerti apa itu memaafkan karena kami saling menyayangi. Saya pun termenung, dan membayangkan bahwa jika semakin banyak keluarga yang mampu memupuk keadilan di rumah masing-masing, tentu inilah yang akan merubah keadaan menjadi adil. Kesalahan tentu tidak akan pernah lenyap, akan tetapi jika kita semua sudah melakukan rasa kasih sayang yang adil di setiap keluarga, maka tentu tidak sulit untuk memperbaikina.

Jika hari ini kita kawatir dengan keadaan yang saling mencaci maki,  kita kawatir akan rasa dendam di masyarakat, maka sebelum  kita menunjuk kepada LEGESLATIF, EKSEKUTIF, YUDIKATIF, dan MEDIA, maka pajanglah cermin di setiap dinding rumah kita, dan lihat SUDAH ADILKAH KITA DI RUMAH? Apa yang terjadi di masyarakat adalah cerminan bagaimana keluarga Indonesia secara umum.










2 thoughts on “Kolom Joni H. Tarigan: ADIL DARI RUMAH

  1. “Kesalahan tentu tidak akan pernah lenyap, akan tetapi jika kita semua sudah melakukan rasa kasih sayang yang adil di setiap keluarga, maka tentu tidak sulit untuk memperbaikina.”
    Betul memang, dasarnya harus selalu KEADILAN dan rasa KASIH SAYANG.
    Artikel pencerahan soal keluarga, sangat bermanfaat.

    Dalam dunia nyata, ada grup manusia ‘the dung of devil’ yang dasar tindakannya sebaliknya, yaitu KETIDAKADILAN, KETIDAKJUJURAN dan KESERAKAHAN akan DUIT. Dalam taktik dan strateginya untuk menguasai dan mengontrol manusia atau kehidupan manusia, dan menguasai dunia. Grup ini pakai DIVIDE AND CONQUER termasuk bikin perang dunia 1 dan 2. Dalam era kegelapan abad lalu, grup ini aman dan semakin berkembang sukses. Pada era keterbukaan sejak era internet dengan informasi yang luas dan partisipasi publik yang luas, grup ini semakin tertelanjangi, dan semakin lemah, karena kekuatannya memang terletak dalam kerahasiaan dan kegelapan. Kekuatan kegelapan ini masih bisa bertahan, tetapi sudah jelas arah masa depannya dalam dunia KETERBUKAAN DAN PARTISIPASI PUBLIK YANG LUAS.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.