Kolom Eko Kuntadhi: EMANG SALAH SOMAD APA?

Siapa bilang masyarakat Bali tidak toleran?

 

Ada Abdul Somad, pembicara keagamaan dari Riau. Diundang ceramah di Bali. Selama ini ceramah Somad terindikasi sering menjajakan khilafah. Tujuan besarnya mau mengganti Pancasila dan merombak sistem negara.

Warga Bali yang mencintai NKRI ingin memastikan bahwa virus khilafah tidak menyebar, yang justru pada akhirnya merusak nilai toleransi yang selama ini tumbuh di Bali. Sebab, bagi warga Bali, tidak akan ada Indonesia jika toleransi terancam.







Sebelum ceramah, Somad diminta oleh warga untuk bersumpah setia pada NKRI. Mulanya Somad menolak. Tentu warga marah. Masa ada orang Indonesia yang bentuk hidungnya asli Melayu, tidak mau menyatakan setia pada negaranya?

Tapi setelah itu, Somad akhirnya mau menunjukan sumpah setia pada NKRI. Diapun dipersilakan melanjutkan acaranya.

Selesai? Ternyata tidak. Justru setelah itu Somad teriak-teriak telah dipersekusi. Bahkan menuduh masyarakat Bali intoleran.

Tersebar tulisan yang mengecam masyarakat Bali sebagai intoleran. Ini tuduhan yang luar biasa. Mana mungkin masyarakat yang hidupnya dari kunjungan turis bersikap anti pada perbedaan? Jika turis yang datang dari seluruh dunia saja, dengan segala perbedaannya, bisa nyaman di Bali, masa cuma seorang Somad yang menuduh warga Bali intoleran?

Tapi apa narasi yang kemudian dijajakan Felix? Banser menolak pengajian. Hal yang sama juga dilakukan Somad yang menuduh masyarakat Bali menolak pengajian. Narasi ini biasa, tujuannya untuk membenturkan umat dan memancing kemarahan.

Bahkan Somad melaporkan ke polisi beberapa warga Bali.

Belakangan tersebar dokumen bahwa Somad sejatinya adalah pengurus HTI. Ada bantahan soal ini, tapi dari isi ceramahnya di YouTube kita saksikan Somad adalah salah satu pendukung paham khilafah .

Inilah keanehan Indonesia. Ada orang yang mendukung organisasi terlarang melaporkan anggota masyarakat ke polisi karena masyarakat Bali menolak aktivitasnya menyebarkan paham yang dilarang UU?

Itu sama saja ada maling melaporkan seorang Satpam ke polisi karena menghalanginya mencuri. Alasannya, Satpam tersebut tidak toleran terhadap profesi maling. Atau Satpam itu tidak menghargai HAM (Hak Asasi Maling)

Saya jadi ingat kisah dua orang pemabuk yang suka memalak orang di jalan. Yang satu ceking, satunya lagi pesek.




“Tuh, ada orang lewat. Lu minta duit ceban, buat nambah-nambah. Kalo dia gak ngasih, kita gebukin aja.”

“Lu gak liat. Dia itu TNI. Masih pake seragam. Bertiga lagi.”

“Lho, kalau TNI emang kenapa? Lu takut?”

“Bukan gitu, bro. Kalau nanti dia ngelawan terus malah kita yang digebukin, gimana?”

“Lho, kok malah kita yang digebukin? Emang salah kita apa? Jangan mentang-mentang TNI dia bisa sembarangan gebukin orang, dong. Ini negara hukum, bro. Gak boleh melanggar hak asasi manusia.”

Nah, sekarang Somad mengadukan masyarakat Bali ke polisi. Dia memasang muka polos, mungkin bertanya seperti dua pemuda tadi, Emang salah Somad apa, Pak Polisi?








One thought on “Kolom Eko Kuntadhi: EMANG SALAH SOMAD APA?

  1. “Satpam itu tidak menghargai HAM (Hak Asasi Maling)”.
    Wow, ternyata HAMnya maling, yang biasa juga teriak ‘maling, maling, tangkap maling’ . . .

    Saya jadi teringat soal tuduh menuduh dalam peristiwa demo berdarah Charlottesville Virginia pertengahan Agustus lalu, dimana dua kubu bentrokan yaitu kubu multikulti ‘antifa’ (anti fasis) kontra kubu ‘white supremacists’ orang putih AS. Bentrokan ini masih gelap mulanya. Tetapi berkat informasi terbuka dan luas di internet, terbongkarlah semua siapa dibelakang bentrokan itu. Bentorokan ini ternyata diatur dari ‘dalam’ dan sudah dipersiapkan sejak bulan Mei, jadi 3 bulan sebelumnya. Ini buktinya dikatakan oleh seorang opsir polisi yang berjaga ketika itu dan jadi jengkel sama walikota karena tidak boleh mencampuri bentorokan, karena disuruh ‘stand down’ oleh wali kota ex teman Obama. Kegelisahan dan kejengkelan polisi ini bisa dilihat disini:
    POLICE: CHARLOTTESVILLE WAS ‘INSIDE JOB’ TO IGNITE RACE WAR – EVIDENCE OF A STAGED EVENT

    Trump mengatakan bahwa kedua kubu bikin kesalahan. Betul memang bahwa kedua kubu ‘bikin kesalahan’ karena memang sudah diatur demikian, siapa yang akan bikin ‘kesalahan’ apa sudah diatur jauh sebelum terjadi. Seperti sebuah sandiwara yang akan dipentaskan pada hari demo itu. Trump jelas tidak mengetahui asal usul pementasan sandiwara ini, karena Trump adalah seorang presiden AS resmi terpilih secara demokratis. Tetapi ada pemerintah tak resmi dibelakang layar, seperti dikatakan oleh seorang prof dari Tufts University Michael Glennon bilang bahwa dalam pilpres AS berlaku: ‘Vote all you want. The secret government won’t change. The people we elect aren’t the ones calling the shots’.

    Yang sangat menarik juga untuk diperhatikan ialah bahwa koran-koran the establishment (MSM-main stream media) tidak ada yang memberitakan sandiwara itu secara jelas, kalaupun ada samar-samar saja. Atau beritanya sengaja mengaburkan yang sebenarnya.
    Kegelapan, kegelapan atau menggelapkan, ha ha ha sudah payahlah taktik ini.

    Jadi ya hampir sama halnya situasinya ketika Obama memerintah. Bedanya dengan Obama ialah bahwa dia ‘pak turut’ terhadap deep state the secret government sehingga sangat meringankan tugas the secret goverment itu, sedangkan Trump menjadi musuh bebuyutan kaum globalist ini, dia tidak mau pak turut. Trump seorang nasionalist, sangat memusuhi the establishment, penguasa globalist neolib dibelakang layar itu, the secret government atau deep state.

    Dari berita dan informasi yang sudah dikenal seluruh AS, bahkan keseluruh dunia, sandiwara bentorokan itu diatur oleh walikota Charlottesville. Dibelakangnya tentu ‘the secret goverment’ itu, tidak perlu diragukan.

    Taktik divide and conquer ini sudah sering kita dengar diseluruh dunia, termasuk di Indonesia, contoh paling spesifik ialah taktik Saracen. Tentunya juga 411, 212, Saracen, Reuni 212, dan jauh sebelumnya PRRI/Permesta dan juga Premature coup d’etat Untung 1965. Bedanya yang terutama ialah bahwa di AS dulu tidak pernah terbongkar sehingga menjadi pengetahuan umum, seperti di Charlottesville itu. Sekiranya ini terjadi abad lalu, tentu juga akan tertutup terus, tidak akan ada polisi yang mengakui terus terang. Sekarang semua jadi terang. Taktik divide and conquer jadi taktik yang tidak bisa lagi disembunyikan. Jadi, kekuatan the secret government ini sangat jauh berkurang, karena kekuatannya selama ini berada dalam KERAHASIAAN/KETERTUTUPAN.

    Apakah ‘HAM’ Bali itu ada kaitannya dengan ‘the secret government’, sepertinya tidak perlu diragukan, karena sumber ‘divide and conquer’ dunia hanya satu itu saja. Di Indonesia sudah terlalu banyak contohnya seperti tetulis diatas itu.

    MUG

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.