Kolom M.U. Ginting: Antara Bali, Virginia, dan Somad

“Satpam itu tidak menghargai HAM (Hak Asasi Maling),” tulis Eko Kuntadhi di kolomnya kemarin (lihat di SINI).

Wow, ternyata HAMnya maling, yang biasa juga teriak ‘maling, maling, tangkap maling’ . . .

 

Saya jadi teringat soal tuduh menuduh dalam peristiwa demo berdarah Charlottesville Virginia pertengahan Agustus lalu. Kubu multikulti ‘antifa’ (anti fasis) kontra kubu ‘white supremacists’ orang putih AS. Bentrokan ini masih gelap mulanya. Tetapi, berkat informasi terbuka dan luas di internet, terbongkarlah semua siapa di belakang bentrokan itu. Ternyata diatur dari ‘dalam’ dan sudah dipersiapkan sejak bulan Mei, 3 bulan sebelumnya.

Ini buktinya dikatakan oleh seorang opsir polisi yang berjaga ketika itu dan jadi jengkel sama walikota karena tidak boleh mencampuri bentorokan, karena disuruh ‘stand down’ oleh wali kota ex teman Obama. Kegelisahan dan kejengkelan polisi ini bisa dilihat di sini: POLICE: CHARLOTTESVILLE WAS ‘INSIDE JOB’ TO IGNITE RACE WAR – EVIDENCE OF A STAGED EVENT.







Trump mengatakan bahwa kedua kubu bikin kesalahan. Betul memang bahwa kedua kubu ‘bikin kesalahan’ karena memang sudah diatur demikian, siapa yang akan bikin ‘kesalahan’ apa sudah diatur jauh sebelum terjadi. Seperti sebuah sandiwara yang akan dipentaskan pada  hari demo itu. Trump jelas tidak mengetahui asal usul pementasan sandiwara ini, karena dia adalah seorang Presiden AS resmi terpilih secara demokratis. Tetapi, ada pemerintah tak resmi di belakang layar, seperti dikatakan oleh seorang Prof dari Tufts University Michael Glennon bahwa dalam Pilpres AS berlaku:

“Vote all you want. The secret government won’t change. The people we elect aren’t the ones calling the shots.

Yang sangat menarik juga untuk diperhatikan ialah bahwa koran-koran the establishment (MSM-main stream media) tidak ada yang memberitakan sandiwara itu secara jelas. Kalaupun ada, samar-samar saja. Atau beritanya sengaja mengaburkan yang sebenarnya.
Kegelapan, kegelapan atau menggelapkan, ha ha ha sudah payahlah taktik ini.

Jadi, ya hampir sama situasinya ketika Obama memerintah. Bedanya dengan Obama ialah bahwa dia ‘Pak Turut’ terhadap deep state the secret government sehingga sangat meringankan tugas the secret goverment itu. Sedangkan Trump menjadi musuh bebuyutan kaum globalist ini. Dia tidak mau menjadi Pak Turut. Trump seorang nasionalis. Dia sangat memusuhi the establishment, penguasa globalist neolib di belakang layar itu, the secret government atau deep state.

Dari berita dan informasi yang sudah dikenal oleh semua orang di AS, bahkan ke seluruh dunia, sandiwara bentorokan itu diatur oleh walikota Charlottesville. Di belakangnya tentu ‘the secret goverment’ itu, tidak perlu diragukan.




Taktik divide and conquer ini sudah sering kita dengar di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Contoh paling spesifik ialah taktik Saracen. Tentunya juga 411, 212, Saracen, Reuni 212, dan jauh sebelumnya PRRI/ Permesta dan juga Premature coup d’etat Untung 1965. Bedanya yang terutama ialah bahwa di AS dulu tidak pernah terbongkar sehingga menjadi pengetahuan umum, seperti di Charlottesville itu.

Sekiranya ini terjadi abad lalu, tentu juga akan tertutup terus, tidak akan ada polisi yang mengakui terus terang. Sekarang, semua jadi terang. Taktik divide and conquer jadi taktik yang tidak bisa lagi disembunyikan. Jadi, kekuatan the secret government ini sangat jauh berkurang, karena kekuatannya selama ini berada dalam KERAHASIAAN/ KETERTUTUPAN.

Apakah ‘HAM’ Bali itu ada kaitannya dengan ‘the secret government’? Sepertinya tidak perlu diragukan, karena sumber ‘divide and conquer’ dunia hanya yang satu itu saja. Tidak ada yang lain. Di Indonesia sudah terlalu banyak contohnya seperti tetulis di atas itu.








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.