Kolom Joni H. Tarigan: SIGMOID CURVE JERUK

Tahun 2014, dari Bandung saya berdiskusi dengan ibu saya di kampung (Paribun, Kecamatan Dolok Silau, Kabupaten Simalungun). Ketika itu, hasil jeruk masih bisa diandalkan. Biaya produksi masih bisa tertutupi dengan hasil produksi, bahkan masih sangat menguntungkan. Akan tetapi, saya sendiri melihat peluang jeruk ini tidak akan lama lagi, dan inilah menjadi pembahasan kami yang sangat serius.

Saya menyampaikan bahwa, dalam pertanian melawan hama, harus memperhitungkan keseimbangan ekosistem. Jika hanya mengandalkan racun atau pestisida untuk mengendalikan hama, maka tidak lama setelahnya akan ada hama baru. Lalat buah merupakan hama yang paling dikawatirkan.







Dari yang saya ketahui, lalat buah ini pada dasarnya tinggal di hutan. Karena lahan pertanian yang semakin luas, maka lalat buah tidak punya banyak pilihan untuk bertahan hidup. Di sinilah saya melihat keseimbangan ekosistem perlu dijaga untuk pengendalian hama.

Keseimbangan eksosistem sangat sulit terwujud karena masing-masing petani punya pemahaman, dan target berbeda dalam ekonominya. Sehingga saya yakin, pengendalian dengan cara keseimbangan sulit dilakukan. Ini artinya, serangan hama tidak akan bisa dihindari sekalipun dengan pestisida yang mahal. Ongkos produksi akan terlalu mahal.

Saya menawarkan solusi untuk orangtua saya agar menghadapi masalah ini di masa depan. Solusi ini sebenarnya saya peroleh ketika membaca tentang SIGMOID CURVE atau KURVA S yang pertama kali saya baca dalam tulisan-tulisan Rheinald Kasali tentang perubahan. Saya akan coba menjabarkan kurva tersebut seperti yang saya pahami.

Bayangkan kita sedang menuju puncak bukit, kita akan menyusuri  dari kaki bukit, menapakinya dengan tujuan agar sampai ke puncak bukit. Tentu  kita akan  memerlukan usaha yang lebih besar ketika sedang menanjak. Ketika kita sampai di atas bukit, tujuan tercapai. Kita bisa melihat pemandangan yang lebih luas, dan juga tentu kita tidak ingin melepas keindahan itu. Kita harus tetap berjalan, tetapi kita tidak ingin kehilangan pemandangan dari atas bukit bukan? Jika kita terus menyusuri bukit yang sama, maka kita tidak akan bisa bertahan di puncak, kita akan menuruni bukit dan ketika sampai di kaki bukit, kita ingin melihat lagi pemandangan dari atas bukit, tentu sangat melelahkan jika kita memulai pendakian dari awal.

Jika sejak awal kita tidak ingin kehilangan pemandangan itu, maka sebelum mencapai puncak bukit kita sudah merencanakan pendakian berikutnya, agar kita bisa melihat keindahan dari tempat yang lebih tinggi lagi. Tenaga yang kita perlukan juga tentu tidak sebanyak jika kita memulai pendakian lagi dari titik nol. Ketika hendak mencapai puncak berikutnya, maka saat itulah kita merencanakan pendakian berikutnya, demikianlah terus menerus harus kita lakukan jika kita ingin terus merasakan indahnya ketinggian.




Analogi pendakian inilah yang saya sampaikan kepada orantua saya. Saat itu, 2014 ketika jeruk masih bisa diandalkan, saya menyarankan kepada mereka untuk segera membuat tanaman pendamping selain jeruk. Cepat atau lambat masa jeruk ini akan selesai, karena sudah tidak menguntungkan lagi. Segala sesuatu ada masanya. Saya sangat menekankan bahwa tanaman pendamping itu sangat perlu, bahkan untuk meyakinkan mereka saya memberikan perumpamaan tim sepak bola. Sekalipun tim sepak bola memainkan 11 pemain, tetap saja  mereka memiliki pemain cadangan. Hal ini penting untuk antisipasi adanya resiko pemain yang tidak bisa bermain karena cedera atau karena pelanggaran.

Saya menyarankan untuk membudidayakan kopi sebagai tanaman pendamping. Saran ini saya sampaikan karena hasil kopi merupakan komiditi ekspor, sehingga ke depan harganya akan terus stabil. Perawatan kopi tidak serumit jeruk, demikian juga biaya perawatannya jauh lebih murah. Ketika nanti jeruk sudah tidak layak diteruskan, maka ekonomi tetap bertahan ditopang perkebunan kopi.

Saat itu orangtua saya memahami apa yang inigin saya sampaikan. Akan tetapi mereka tidak pernah membuat tanaman pendamping seperti yang saya anjurkan. Pemahaman saya, mereka melihat hasil kopi tidak sebesar hasil jeruk yang bisa menghasilkan ratusan juta salam setahun.

 

 

Dua bulan yang lalu, saya menanyakan kabar orangtua saya lewat telephone.  Saya menanyakan kabar mereka dan kabar ekonomi mereka. Mereka mengatakan bahwa mereka sekarang sangat kesusahan. Jeruk gagal panen, sehingga utang bank dan utang ke toko pupuk akan sulit dilunasi. Saya terdiam, dan kembali teringat anjuran saya  untuk menanam kopi di tahun 2014. Kegagalan inilah yang saya antisipasi.

Kopi tidak pernah ditanam sampai ahirnya 2017 ini panen jeruk gagal total. Tidak ada dana lagi untuk merawat jeruk yang sudah sangat mahal biaya perawatannya. Jika diumpamakan dengan mendaki bukit, orangtua saya ini ingin mendaki bukit lagi ketika sudah berada di kaki bukit atau di lembah. Tentu masih ada kemungkinan, akan tetapi perlu kekuatan yang tidak sedikit untuk melakukannya.




Mengetehui kondisi ekonomi orangtua saya yang hampir bangkrut, saya tidak ingin  membuat mereka semakin terpuruk. Saya katakan bahwa sejak awal saya ingin mengantisipasi hal ini terjadi, akan tetapi kita tidak bisa mengulanginya lagi. Saya juga mengatakan bahwa kita masih punya kesempatan. Akan tetapi kita harus memulainya dengan sesuatu yang bisa berhasil paling lambat dalam  dua tahun.

Saya kembali menyarankan untk menanam kopi. Alasan saya sama, kopi merupakan komoditi unggulan ekspor, dan jumlah kebutuhan kopi menunjukkan kecenderungan semakin bertumbuh. Pasar kopi juga tidak hanya mengandalkan Amerika dan Eropa, akan tetapi ASIA juga sudah menjadi market kopi yang sangat berkembang pesat.

Kali ini orangtua saya tidak memiliki argumen lagi untuk tidak melakukan anjuran saya. Mungkin juga karena mereka sudah tidak memiliki pilihan lain. Akhirnya kami sepakat untuk menanam kopi. Untuk menghindari kegagalan kopi ini, saya pun mengirimkan bibit kopi dari Pangalengan. Hal ini kami lakukan agar tidak jadi korban peredaran bibit kopi palsu atau tidak unggul. Saya mengirimkan bibit kopi biji lengkap dengan sertifikat  yang pernah dikeluarkan dari Kementrian Pertanian.

Orangtua kita di kampung tentu tidak memiliki kemampuan mengelola informasi sebanyak kita yang sudah menyelesaikan pendidikan tinggi. Maka sangat penting bagi kita generasi muda untuk membantu para petani dengan informasi-informasi yang kita kumpulkan dan memberi masukan bagi mereka di kampung sana.

Selain itu, SIGMOID CURVE ini sangat penting kita pahami dan kita terapkan, apapun profesi yang kita geluti, jika kita ingin tetap bertahan dan bertumbuh.










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.