Kolom Eko Kuntadhi: ANTEK ASING, ASENG, ASBUN

Adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya. Apabila keadilan dilanggar, yang ada adalah kekacauan. Misalnya, menjadikan jalan sebagai sarana transportasi. Menjadikan trotoar sebagai sarana pejalan kaki. Dan membuat pasar sebagai tempat jual-beli. Jika kebolak-balik, maka konsekuensinya akan banyak masalah yang mengikuti.

Gubernur Jakarta yang baru pasti paham dengan UU soal jalan raya dan trotoar. Tapi, tampaknya, UU bukan hal penting bagi mereka. Program yang populis jauh lebih penting.

Apa program populis itu? Yaitu seakan-akan kebijakan itu pro kepada pedagang kaki lima. Maka di Tanah Abang, ditutuplah jalan, lalu diberikan kepada pedagang kaki lima. Dengan ditutupnya sebagian jalan itu, memang sepertinya Tanah Abang tidak lagi macet, wong jalannya ditutup. Tapi dampak kemacetannya mengular di sekitar Tanah Abang.







Dengan diberikannya sebagian jalan kepada pedagang kaki lima, maka para pedagang di wilayah lain merasa mendapat angin untuk juga menggunakan jalan sebagai lahan jualan. Alasannya simpel. Masakan pedagang Tanah Abang saja yang boleh. Kemarin, pedagang di Pasar Senen demontrasi meminta perlakuan serupa. Mampus gak, lho?!

Apakah nanti pedagang di Pasar Senen, Pasar Cipulir, Pasar Minggu dan di berbagai kawasan lain akan bisa mengokupasi jalan seperti yang dilakukan Gubernurnya? Apakah mereka melanggar peraturan? Apakah yang istimewa di Jakarta ini hanya pedagang kaki lima di Tanah Abang?

Tapi tunggu dulu, yang ditempatkan Pemda DKI berjualan di jalanan Tanah Abang itu bukan pedagang kaki lima (PKL). Sandiaga Uno mengganti namanya menjadi Pengusaha Kecil Mandiri (PMK). Nah, jadi kamu salah jika menuduh Pemda menempatkan PKL untuk mengokupasi jalan. Sekali lagi, bukan PKL, tapi PKM.

Jika kamu tidak setuju jalan digunakan untuk dagang para penguasha kecil, apakah kamu sebenarnya pro pengusaha besar? Apakah kamu anti ekonomi kerakyatan? Apakah kamu antek asing dan aseng?

Bagi Pemda, menganti sebutan memang sebuah jalan keluar yang jitu. Sama seperti menggenati gusur dengan geser.

Tapi rakyat Jakarta bukan hanya segelintir pedagang di Tanah Abang itu. Rakyat Jakarta adalah juga warga yang tinggal di Tanah Abang yang kesulitan mengakses jalan dari rumahnya karena jalan ditutup buat dagang. Warga Jakarta adalah juga pejalan kaki yang terganggu karena trotoar diokupasi. Warga Jakarta adalah juga supir mikrolet dan angkot yang jadi kehilangan penumpang.

Rakyat Jakarta adalah juga pedagang di kios-kios pasar Tanah Abang yang kini omsetnya menurun drastis karena ada pesaing yag berdagang di jalanan tanpa harus menyewa toko. Bahkan rakyat Jakarta adalah juga pedagang-pedagang di pasar-pasar lain yang meminta kebijakan serupa untuk menjadi pedagang di jalanan. Dan, rakyat Jakarta adalah juga mereka yang menandatangani petisi, untuk memprotes penggunaan jalan tidak sebagaimana mestinya.

Tapi, apa komentar Sandi soal petisi itu?

“Yang menandatangani petisi, diminta memberi masukan untuk mencari solusi Tanah Abang,” katanya.

Aduh, solusinya ya, simpel. Pasar untuk dagang, jalan untuk transportasi dan trotoar untuk pejalan kaki. Itu saja dulu ditegakkan. Gak usaha mikir ke mana-mana. Jika melanggar, ada konsekuensi pidananya.




Nah, fungsi pemerintah adalah penegakkan aturan berdasarkan UU itu. Jika memang mau membantu pedagang kecil, sediakan lapak yang layak di pasar. Bantu promosinya, agar banyak pengunjung mau datang. Hadirkan program-program menarik. Bantu permodalannya seperti yang dijanjikan OK-OCE dulu.

Dari mana dananya? Lho, program Ok-OCE itu dianggarkan puluhan miliar cuma untuk membuat pelatihan doang. Ambil saja dari situ sedikit untuk membantu pedagang. Tempatkan di kios-kios resmi. Kurangi biaya sewanya agar lebih murah. kalau perlu gratiskan, toh kios-kios itu milik PD Pasar Jaya sebagai BUMD pemda DKI. Jadi biasakanlah membantu pedagang yang tertib aturan. Bukan malah memfasilitasi pedagang yang melanggar aturan berjualan di jalanan.

Kadang saya bertanya, apa segitu hebatnya para PKL di Tanah Abang hingga Pemda DKI berani melanggar aturan mengenai jalan dan trotoar? Seberapa besar prosentasi pedagang kaki lima di sana dibanding dengan kepentingan seluruh rakyat Jakarta?

Atau sebetulnya ini hanyalah pencitraan untuk menaikkan isu, yang pro rakyat kecil dan pro pengusaha besar? Ini bukan soal Tanah Abang saja, tapi sebuah narasai politik yang sedang dimainkan. Dengan aturan ini, mereka ingin menampilkan sebagai pro pengusaha kecil. Dan, logikanya, pasti pemerintah pusat menolak kebijakan ngaco ini. Namanya juga melanggar UU. Maka dengan gampang mereka akan menuding pemerintah pusat dan Jokowi sebagi pro Asing dan Aseng.

Jadi jejeran tenda di Tanah Abang itu hanya sebuah cara berkampanye. Cara membenturkan opini publik.

Soal dampak keputusan ini menyusahkan banyak orang, bukan itu initinya. Toh, sebagai sebuah jargon politik, populisme perlu dibangun dan dibentuk. Membantu pedagang dengan melanggar aturan jalan, jadi syah. Justru malah penting. Agar mereka yang protes jalanan terganggu, bisa dituding sebagai antek asing dan aseng!

“Sebetulnya mereka-mereka itu gak sadar, sudah jadi antek Asbun, ya mas?” tanya Bambang Kusnadi.

“Asbun apaan, Mbang?”

“Asal bunyi…”










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.