Kolom Juara R. Ginting: DALAM DJAROT MEMASUKI GELANGGANG SUMUT

Tidakkah PDIP punya kader setempat yang bisa diandalkan sehingga menurunkan Djarot Saiful Hidayat memasuki Gelanggang Pilkada Sumatera Utara, mengingat Djarot sama sekali tidak ada hubungan apa-apa dengan Sumut? Demikian sesekali terdengar celoteh di sela-sela gegap gempita penuh harapan dari sebagian warga Sumut atas ketetapan PDIP mengusung Djarot sebagai Calon Gubernur Sumatera Utara di Pilkada Serentak 2018 ini, sebagaimana diumumkan oleh Megawati kemarin [Kamis 4/1],

Atas pertanyaan itu, saya jadi teringat berita di salah satu media hari ini, tapi lupa nama medianya dan juga lupa apakah itu Bu Megawati atau tokoh PDIP lainnya yang menyatakan seperti ini: “Memang kemenangan harus diraih, tapi pilihan PDIP terhadap Djarot orientasinya bukan hanya kemenangan, tapi juga adalah demi bersihnya Sumatera Utara di masa depan dan kepentingan nasional.”







Saya cukup mengerti penjelasan itu karena saya adalah salah seorang yang ikut mengusulkan, di sebuah grup facebook skala nasional, agar PDIP menurunkan Djarot, bukan salah satu dari nama-nama ini yang sudah santer seperti halnya Efendi Simbolon dan Maruar Sirait.

Saya katakan pada saat itu, peta politik di Sumut itu bukan kompetisi antara suku meski banyak suku di sini (Karo, Pakpak, Simalungun, Batak, Mandailing, Angkola, Nias, Melayu Pantai Barat, Melayu Pantai Timur, Jawa, Minangkabau, dan Aceh ditambah Tionghoa, Tamil, Pakistan, dan Arab). Bukan juga antara agama-agama meskipun ada banyak pemilih yang tetap pikirannya tak lepas dari kerangka agama.

Di titik inilah menurut saya PDIP sudah mulai terang pikirannya untuk tidak melanjutkan kerangka lama mengusung seorang Batak yang beragama Kristen seperti halnya Efendi Simbolon atau Maruar Sirait karena memang kelompok Batak Kristen cukup dominan di PDIP Sumut maupun tingkat nasional dibandingkan suku-suku lain dari Sumut.

Dari apa yang telah terjadi hingga saat ini, pihak-pihak tertentu sepertinya hendak mengulangi permainan lama sehingga issuenya menjadi pertarungan antara Islam dengan Kristen. Dengan issue ini, konsekwensi logisnya suku-suku berikut akan berkoalisi memenangkan calon tertentu: Melayu (Pantai Timur dan Barat), Jawa, Mandailing, Minangkabau, Aceh, dan beberapa dari suku-suku lain yang beragama Islam meski sukunya mayoritas Kristen. Adapun kandidat PDIP yang di 2 periode Pilkada yang terakhir mengusung kandidat dari Suku Batak dan Kristen, berusaha menggalang persatuan Batak tapi kental sekali missi Kristennya.

Dengan kerangka berpikir seperti itu, maka tetap saja “permainan” berlangsung antara Islam dengan Kristen, bukan antara Batak dengan Islam sebagaimana didengungkan dari pihak Batak. Ini sudah terjadi selama 2 periode Pilkada Sumut.

Sepertinya kali ini sudah ada laporan peta yang sesungguhnya ke pentolan-pentolan dan pengatur strategi PDIP di Pusat bahwa “pemainan” seperti itu tidak perlu lagi dipaksakan. Soalnya begini, ketika warga pemilih tidak punya harapan apa-apa terhadap semua kandidat, maka unsur kedekatan/ keakraban dan money politics sangat menentukan pilihan mereka. Dari segi itu, para pengamat dan pemain politik dari kalangan Pantai Timur sudah lama mengetahui bahwa solidaritas Batak hanya terbatas pada kelompok-kelompok Toba, Samosir, Humbang, dan Silindung.







Suku Mandailing yang didegung-dengungkan sebagai bagian Batak sudah sejak Jaman Belanda hingga sekarang merupakan saingan politik dari Suku Batak, bukannya sebagai sobat politik. Persaingan antara 2 suku ini bahkan disebut sebagai persaingan antara Islam (Mandailing) dengan Kristen (Batak) atau sering juga disebut antara Utara (Tapanuli Utara) dengan Selatan (Tapanuli Selatan).

Di bagian lain, Suku Karo yang sejak Jaman Pre Kolonial lebih banyak berhubungan dengan Melayu, Simalungun, Pakpak dan Aceh (Alas, Gayo, dan Singkel) tidak merasakan adanya solidaritas Batak. Sangat naif mengklaim Karo sebagai Batak hanya karena nama Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) tanpa mengetahui bahwa dulu gereja ini bernama Karo Kerk (Gereja Karo) yang setelah dikelola oleh HKBP (karena Belanda kalah perang dari Jerman) namanya diubah menjadi GBKP di tahun 1941.

Faktanya, walaupun Karo adalah lumbung PDIP (terutama untuk Pilpres), ternyata 2 periode Pilkada Sumut mereka memilih Syamsul Arifin (Melayu/ Islam) dan nantinya Gatot (Jawa/ Islam). Padahal kedua calon ini diusung oleh PKS. Demikian juga untuk Pilkada Kota Medan yang terakhir, suara Karo di Medan lebih banyak ke calon dari PKS karena calon wakilnya adalah Nurlisa beru Ginting, seorang Karo yang beragama Islam.

Bahan analisa kita buat sederhana sekarang. Kita coba ikuti pikiran pemain-pemain Batak (Toba, Samosir, Humbang, Silindung), dengan menggalang persatuan Batak ditambah kelompok-kelompok non Islam lainnya, maka suara Kristen mampu mengalahkan suara Islam. Pikiran ini cukup benar bila saja Suku Karo merasa dirinya adalah Batak.

Suku Karo bisa “menggila” untuk membela Soekarno dan Megawati, tapi mengapa mereka tidak tertarik memilih calon-calon PDIP dari Suku Batak? Tidak lain adalah karena: 1. Karo merasa sama sekali bukan Batak sehingga tidak mengenal solidaritas Batak, 2. meski Karo mayoritas Kristen (Protestan dan Katolik ditambah Advent, Pantekosta, Dll.), pilihan politiknya tidak pernah berdasarkan agama, tapi berdasarkan kedekatan dengan calon atau akibat money politics.




Di situlah jelinya para pengamat dan pengatur strategi PDIP Pusat. Permainan lama tak lagi mereka ikuti. Mereka “giring” permainan ke Apartheid Agama vs Nasionalisme. Djarot adalah dari Suku Jawa dan beragama Islam. Banyak yang tidak mengetahui bahwa Jawa adalah suku terbesar jumlah warganya di Sumut. Djarot dari Jawa Timur dan suku Jawa di Sumut asalnya sebagian besar dari Jawa Timur (Baca novel Lulof: Berpacu Peluh di Kebun Karet atau dalam Bahasa Belanda berjudul RUBER).

Dengan cara itu, bisa dibayangkan bahwa orang-orang Jawa yang selama 2 periode sebelumnya condong ke calon Islam, maka kini darah ethno-nationalism mereka bergejolak ke arah Djarot. Demikian juga dengan orang-orang Karo, Batak, Simalungun, Pakpak, Angkola, Nias serta Tionghoa, Tamil, dan Bali.

Di tulisan berikutnya saya akan membahas bagaimana kehadiran Djarot sebagai Gubernur Sumatra Utara akan merevolusi PDIP Sumut dari dalam sehingga pola pikir lama terbuang ke tong sampah semua.










Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.