Kolom Eko Kuntadhi: KAJIAN KENCING DI PONDOK INDAH

Ini yang menarik dari Indonesia. Dulu warga NU dianggap kaum sarungan, dianggap muslim terkebelakang. Mereka diledek oleh muslim kota sebagai kolot, tradisional, kampungan dan mencampurkan agama dengan tradisi.

Kaum Islam kota yang sekolahnya serius, berusaha mencari identitas agama dari para ustad di kota. Awalnya belajar di kampus dari senior-seniornya. Melalui pengajian-pengajian kecil. Tentu saja agar tidak disamakan dengan kaum sarungan yang dianggap terkebelakang itu.

Tapi, belakangan anak-anak muda NU makin beradaptasi dengan perkembangan jaman. Dengan tetap memegang kearifan kultural, NU terus bergerak maju. Islam diwartakan dengan semangat kebangsaan. Ditampilkan dengan wajah rahmatan Lil alamin.




Sebaliknya kaum Islam yang mengaku Islam kota, makin bergerak puritan. Makin menarik agama ke arah makin aneh. Bahkan semakin menjauh dari ilmu pengetahuan. Cirinya mereka selalu ingin tampil beda. Perempuan yang pakai jilbab, gak cukup. Jilbabnya harus ngewer melambai-lambai. Itu juga gak cukup, harus berwarna hitam agar tidak menarik perhatian. Belum cukup juga, harus memakai cadar menutupi muka.

Gak cukup juga, pada bagian matanya harus dikasih jaring-jaring biar mirip jeruji penjara. Nah, kalau sudah keturunan begitu, baru dianggap paling Islam.

Yang lelaki juga tampil beda. Jenggot dan jidat yang makin hitam, makin menunjukan identitas keagamaannya. Kalau gak jenggotan dan jidatnya gak gosong, berarti kurang Islami. Model celananya juga 7/8. Pokoknya harus tampil beda.

Dalam politik, mereka memaksa orang Islam kembali hidup ke alam abad pertengahan. Adab dimana dunia masih sedikit barbar. Mereka teriak-teriak tegakkan sistem khilafah. Padahal itu cuma romantisme Jaman Turki Utsmaniyah saja. Bukan merupakan wujud perintah agama.

Di bidang medis, ada yang lebih seru. Ketika orang-orang NU yang dianggap kampungan itu, jijik dengan air kencing. Eh, kaum Islam perkotaan ini malah dengan asyiknya neguk kencing Onta. Iya sih, ada satu Mazhab dalam Islam yang menganggap kencing hewan yang dagingnya bisa dikonsumsi tidak termasuk najis. Mazhab ini berkembang di Saudi. Ok, gak najis. Itu terserah saja. Tapi masa harus diteguk? Ini kencing, loh, mas broh…

Asyiknya soal meneguk kencing Onta, sekali lagi soal kencing, malah dijadikan bahan kajian agama di sebuah masjid Pondok Indah. Masjid yang berlokasi di perumahan paling elit di Jakarta. Saya gak mau bahas dari sisi agama, boleh atau tidaknya. Saya cuma muak, masa beragama harus segitunya? Umat ditawari minum kencing Onta?

Alam dan Onta saja sudah membuang cairan itu sebagai sampah tubuhnya, lha atas nama agama ada yang meyakini meminumnya sebagai obat. Iya, agama boleh saja. Hanya jika sudah memporak-porandakan akal sehat, mbok ya, pasti ada yang ngaco. Sekali lagi, ini soal kencing. Yang mancur dari penis atau vagina Onta. Busyet…

Tapi begitulah. Orang-orang kota yang kering selalu ingin berbeda dalam menjalankan agama. Mereka mau lebih Islami lagi. Mereka mencela NU yang dianggap Islam tradisional, tapi justru menjajakan kebiasaan yang barbar. Jika umat Islam perkotaan sudah bisa diajak doyan kencing Onta, maka akan diekspor kencing-kencing dari Saudi. Meski jika sudah dikemas dalam botol, agak susah membedakan itu beneran kencing Onta apa kencing Ustad.

“Mudah-mudahan Onta di Saudi tidak terserang anyang-anyangan. Biar produksi air kencingnya banyak. Lalu diekspor ke Indonesia,” kata Bambang Kusnadi.

“Iya, Mbang. Mumpung ada ustad yang mau jadi bintang iklannya.”

Hooeekkk…








Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.